Bekas Menpora Imam Nahrawi Dituntut Penjara 10 Tahun
Selain pidana penjara selama 10 tahun, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 19,15 miliar dan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dituntut pidana penjara selama 10 tahun dan denda sejumlah Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, Imam terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
Tuntutan tersebut dibacakan secara bergantian oleh Jaksa KPK, yakni Ronald Worotikan, Agus Prasetya, Budhi Sarumpaet, dan Andri Lesmana, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (12/6/2020). Sidang dipimpin oleh hakim Rosmina dan dihadiri penasihat hukum Imam. Sementara Imam mengikuti persidangan di Gedung KPK dengan didampingi penasihat hukumnya.
”Menpora yang dijabat oleh terdakwa Imam Nahrawi memiliki peran sangat penting dalam hal menentukan dapat atau tidaknya proposal yang diajukan oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Pusat dapat diproses dan disetujui oleh deputi, PPK (pejabat pembuat komitmen), dan tim verifikasi yang ditugaskan melalui disposisi oleh terdakwa selaku Menpora,” tutur jaksa.
Menpora yang dijabat oleh terdakwa Imam Nahrawi memiliki peran sangat penting dalam hal menentukan dapat atau tidaknya proposal yang diajukan oleh KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Pusat dapat diproses dan disetujui oleh deputi, PPK (pejabat pembuat komitmen), dan tim verifikasi yang ditugaskan melalui disposisi oleh terdakwa selaku Menpora.
Selain tuntutan penjara dan denda, jaksa juga menuntut agar Imam dijatuhi pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 19.154.203.882. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita untuk menutupi uang pengganti.
Jika harta benda tidak mencukupi, dipidana dengan pidana penjara tiga tahun. Selain itu, jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik selama lima tahun terhitung setelah Imam menjalani pidana pokok.
Jaksa berpendapat bahwa Imam memberikan disposisi kepada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi (aspri) untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak KONI Pusat, yaitu Ending Fuad Hamidy dan Jhony E Awuy. Pertemuan itu dilakukan untuk membicarakan besaran fee yang akan diberikan kepada Imam agar pengajuan proposal KONI Pusat dapat segera diproses dan disetujui pencairannya.
Imam bersama dengan Ulum melakukan penerimaan gratifikasi secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 8,648 miliar.
Imam bersama dengan Ulum melakukan penerimaan gratifikasi secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 8,648 miliar. Rinciannya, Rp 300 juta dari Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dan Rp 4,948 miliar sebagai uang tambahan operasional Menpora.
Mereka juga menerima Rp 2 miliar dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Lina Nurhasanah sebagai pembayaran jasa desain konsultan arsitek. Dana tersebut bersumber dari anggaran Satlak Prima.
Keduanya juga menerima uang Rp 1 miliar dari PPK pada Program Satlak Prima Kemenpora Edward Taufan Pandjaitan. Uang tersebut juga bersumber dari anggaran Satlak Prima. Mereka juga menerima uang Rp 400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PON) Supriyono yang berasal dari pinjaman KONI Pusat.
Selain itu, mereka juga dinilai terbukti menerima suap sejumlah Rp 11,5 miliar untuk mempercepat proses Proposal Dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Uang tersebut diperoleh secara bertahap dari Hamidy, yakni pada Januari 2018 sebesar Rp 500 juta dan Rp 2 miliar pada Maret 2018. Pada 8 Juni 2018, mereka menerima uang sejumlah Rp 9 miliar dari Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.
”Masing-masing memiliki peran yang saling mendukung. Diperlukan kerja sama antara terdakwa Menpora dan Ulum sebagai operator di lapangan meski tidak punya kewenangan,” kata jaksa.
Mereka juga dinilai terbukti menerima suap sejumlah Rp 11,5 miliar untuk mempercepat proses Proposal Dukungan KONI Pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.
Seusai pembacaan tuntutan, majelis hakim dengan ketua Rosmina mempersilakan Imam untuk menanggapi tuntutan jaksa. Imam mengaku memahaminya dan akan menyampaikan pleidoi.
”Kami akan menyampaikan pleidoi pribadi sekaligus pleidoi dari penasihat hukum untuk menyanggah sekaligus memberikan jawaban pembelaan. Kami sangat menghormati yang disampaikan jaksa penuntut umum dan kami pun akan memberikan pembelaan atas apa yang tidak pernah kami kerjakan seperti yang dituntut oleh jaksa,” kata Imam.
Majelis hakim memberikan waktu satu minggu bagi terdakwa untuk menyiapkan pembelaannya. Dengan demikian, sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Jumat, 19 Juni mendatang.
Pada sidang sebelumnya, asisten pribadi bekas Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, dituntut pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sejumlah Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum KPK menilai, Ulum terbukti aktif meminta sejumlah uang kepada beberapa pejabat Kemenpora untuk kepentingan Imam.