Selain Protokol Kesehatan, Akselerasi Teknologi Informasi Diperlukan
Pemerintah diharapkan memanfaatkan momentum saat ini untuk mengakselerasi penggunaan teknologi informasi dalam pemerintahan, termasuk dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak Jumat pekan lalu, sebagian aparatur sipil negara telah mulai bekerja di kantor meski tetap disesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19 di daerah masing-masing. Dengan kondisi tersebut, pemerintah diharapkan mempercepat penerapan teknologi informasi dalam berbagai pelayanan publik.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) Andi Rahadian, Senin (8/6/2020), mengatakan, dalam Surat Edaran Menteri PANRB No 58/2020, ditegaskan bahwa aparatur sipil negara (ASN) tetap menjalankan tugas dan fungsi secara produktif. Untuk itu, sistem kerja bagi ASN diatur dengan tujuan untuk menjaga keberlangsungan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
”Sejak Jumat, 5 Juni 2020, jumlah kehadiran pegawai yang masuk adalah 50 persen dengan jam kerja normal. Jadi, sesuai dengan SE Menteri PANRB No 58/2020 dan kebijakan perpanjangan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) DKI Jakarta, kehadiran pegawai di Kementerian PANRB dilakukan dengan kombinasi 50 persen bekerja di kantor dan 50 persen bekerja dari rumah,” ujar Andi.
Pada masa transisi, penerapan sistem kerja dari kantor pemerintah adalah maksimal 50 persen pegawai dalam satu kantor. Setiap ASN yang bekerja di kantor wajib mengenakan masker, menjaga jarak tempat duduk sejauh 1,5-2 meter, menjaga jarak saat melakukan pertemuan, dan mengurangi kunjungan kerja dengan melakukan rapat secara daring.
Andi mengatakan, pada masa transisi, penerapan sistem kerja dari kantor pemerintah adalah maksimal 50 persen pegawai dalam satu kantor. Setiap ASN yang bekerja di kantor wajib mengenakan masker, menjaga jarak tempat duduk sejauh 1,5-2 meter, menjaga jarak saat melakukan pertemuan, dan mengurangi kunjungan kerja dengan melakukan rapat secara daring. Selain itu, pegawai dengan usia di atas 50 tahun yang memiliki riwayat resehatan disarankan bekerja dari rumah.
Dalam keterangan tertulis, Menteri PANRB Tjahjo Kumolo menyebutkan, sistem kerja tatanan normal baru tersebut disesuaikan dengan status PSBB di daerah masing-masing. Jika suatu wilayah menerapkan PSBB secara penuh, instansi pemerintah juga diminta untuk melaksanakan penugasan dari rumah.
”Kami mengikuti apakah PSBB sudah diberhentikan atau belum. Kalau transisi, separuh kerja. Begitu daerah kembali (diberlakukan) PSBB, surat kami sifatnya fleksibel,” ucapnya.
Tjahjo mengatakan, perjalanan dinas bagi ASN selama masa PSBB diatur secara ketat sesuai dengan indikator kepentingan dan status zona wilayah. Secara umum, ASN belum diperbolehkan berdinas ke luar kota. Namun, apabila perjalanan dinas tersebut sifatnya mendesak, dilengkapi surat dinas, dan daerah yang dituju merupakan zona hijau, yang bersangkutan diperbolehkan melakukan perjalanan dinas.
Pelayanan publik diharapkan dapat dipercepat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Menurut Tjahjo, pelayanan publik diharapkan dapat dipercepat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Meski demikian, masyarakat diharapkan juga memberikan laporan jika menemukan ASN yang tidak disiplin dalam penerapan sistem kerja baru.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, kebijakan pemerintah yang mulai membolehkan sebagian ASN untuk bekerja dari kantor harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, jangan sampai kebijakan tersebut malah mengancam kesehatan dan keselamatan pegawai.
”Jadi, jangan hanya meminta orang masuk kerja, tetapi keselamatan dan kesehatan menjadi tanggung jawab pegawai masing-masing. Ini berlaku tidak hanya bagi kantor pemerintah, tetapi juga swasta,” ujar Robert.
Robert mengatakan, beberapa hari terakhir, banyak masyarakat yang mengakses layanan administrasi terkait BPJS Kesehatan, layanan kependudukan, layanan perizinan bagi usaha, serta layanan publik terkait mengemudi dan kendaraan bermotor.
Pemerintah diharapkan memastikan agar pegawai di garda terdepan dalam pelayanan publik tersebut harus diutamakan. Demikian juga sirkulasi orang yang datang untuk mendapatkan layanan publik tersebut harus diperhatikan dengan cermat. Sebagai contoh, jika biasanya sebuah kantor pelayanan publik mampu melayani 1.000 orang per hari, untuk kondisi saat ini maksimal 300 orang per hari.
Di sisi lain, Robert berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, memaksimalkan penggunaan teknologi informasi atau platform digital untuk membantu pelayanan publik. Sulitnya mengakses surat izin keluar masuk (SIKM) wilayah DKI Jakarta menjadi pembelajaran agar sistem teknologi informasi disiapkan dengan baik.
Menurut Robert, kondisi saat ini merupakan momentum bagi pemerintah untuk mempercepat reformasi birokrasi dan meningkatkan layanan publik berbasis digital. Sebab, ternyata banyak kegiatan, seperti pertemuan atau rapat, tetap berjalan efektif tanpa harus bertemu langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi.
”ASN harus sadar bahwa dengan situasi ini, sebagian besar layanan tidak lagi membutuhkan banyak orang. Yang dibutuhkan ke depan bukan lagi birokrasi padat karya. Cepat atau lambat, kita akan bergerak ke sana dan harus siap dengan berbagai perubahan mendasar, termasuk keberadaan ASN yang bisa jadi terancam,” tutur Robert.