Partisipasi Terancam Rendah, KPU: Kecemasan Masyarakat Harus Mampu Dijawab
Jajak pendapat Kompas menunjukkan 28,1 persen responden tidak bersedia hadir di TPS jika pemungutan suara dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini menjadi salah satu sinyal partisipasi pemilih terancam rendah.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kemungkinan anjloknya partisipasi pemilih pada Pilkada 2020, Komisi Pemilihan Umum menekankan pentingnya kecemasan masyarakat bisa dijawab dengan gamblang. Masyarakat harus bisa diyakinkan, dalam menjalankan tahapan Pilkada 2020, aspek demokrasi dan keselamatan masyarakat sungguh diupayakan.
Terkait dengan potensi relatif rendahnya jumlah pemilih dalam pilkada serentak 2020 menyusul kecemasan tertular Covid-19, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Senin (8/6/2020), menyebutkan kekhawatiran itu bentuk persepsi masyarakat berdasarkan hal yang mereka pahami.
Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas yang dipublikasikan, Senin (8/6/2020), diketahui ada 28,1 persen responden yang menyatakan tidak bersedia hadir di TPS jika pemungutan suara dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Adapun pada Pilkada 2018 rata-rata partisipasi pemilih 73 persen.
Raka mengatakan, untuk merespons hal itu, KPU berkewajiban memberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih agar bisa mendorong partisipasi masyarakat. Situasi pilkada di tengah pandemi Covid-19 merupakan hal baru yang masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di masyarakat. Hal itu, ujarnya, harus dijelaskan secara obyektif.
Oleh karena itu, diharapkan agar usulan-usulan KPU terkait pengadopsian sejumlah protokol kesehatan guna penanganan Covid-19 bisa diakomodasi oleh pemerintah dan juga DPR. Hal itu dinilai akan membuat masyarakat bisa melihat dan memahami bahwa aspek demokrasi dan aspek kesehatan serta keselamatan masyarakat sungguh-sungguh diupayakan dan dilakukan.
”(Dengan demikian), diharapkan ada kepercayaan dan partisipasi publik,” kata Raka.
Dia juga menuturkan, peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan, program, dan jadwal Pilkada 2020 diharapkan bisa diundangkan segera setelah rapat dengar pendapat lanjutan bersama DPR pada Rabu. Dengan target pemungutan suara berlangsung 9 Desember 2020, tahapan pilkada yang sempat ditunda akibat Covid-19 sudah harus dilanjutkan pada 15 Juni.
Raka mengatakan, PKPU tentang tahapan itu sudah ditindaklanjuti dengan harmonisasi setelah sebelumnya dibahas dalam uji publik. Ia mengatakan, Rabu (10/6), hasil harmonisasi itu akan disampaikan KPU dalam forum rapat dengar pendapat di DPR. ”Mudah-mudahan tak ada masukan lagi, dan setelah itu bisa diundangkan,” katanya.
Selain itu, PKPU lainnya tentang pelaksanaan pilkada di masa bencana non-alam Covid-19, yang sudah pula melalui tahapan uji publik, saat ini tengah dalam proses finalisasi oleh KPU. Sejumlah masukan dari berbagai lembaga tatkala uji publik menjadi pertimbangan. Setelah itu, prosesnya akan dilanjutkan dengan konsultasi bersama DPR.
Raka berharap agar pembahasan draf PKPU itu bisa dilakukan bersamaan dengan pembahasan anggaran sehingga pengesahannya bisa lebih cepat. Hal ini mengingat, dalam rancangan PKPU tahapan, kelanjutan tahapan pilkada yang ditunda direncanakan akan dimulai kembali 15 Juni. Penyelenggara pemilihan di daerah membutuhkan PKPU tersebut sebagai pedoman kembali melaksanakan tahapan pilkada yang sebelumnya ditunda.
Bawaslu menunggu
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, Bawaslu masih dalam posisi menunggu terbitnya PKPU tahapan, program, dan jadwal sebagai landasan hukum yang selanjutnya akan diturunkan sebagai Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Selain PKPU tahapan itu, Abhan mengatakan, Bawaslu juga masih menunggu pengesahan PKPU tentang pilkada di masa bencana non-alam Covid-19. Kedua PKPU itu dinantikan sebagai jaminan kepastian hukum pelaksanaan pilkada.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mengatakan, sehubungan dengan potensi tidak akan hadirnya sebagian pemilih ke TPS pada 9 Desember, pilkada bisa saja kembali ditunda. Peluang untuk itu terbuka sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2/2020 tentang Pilkada.
Pada Pasal 201A Ayat 3 Perppu No 2/2020 disebutkan, ”Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A”.
Ihsan mengatakan, penyelenggara dan pemerintah sama-sama tidak ada yang bisa menjamin bahwa hingga H-1 dan hari pemungutan suara tidak akan ada penyelenggara yang positif Covid-19. Jika ada penyelenggara yang kemudian positif Covid-19 di waktu tersebut, kata Ihsan, maka akan membuat para pemilih khawatir dan memutuskan tidak akan menggunakan hak memilih.
”Jika KPU, DPR, dan pemerintah setuju ditunda, pilkada bisa saja ditunda kembali,” kata Ihsan.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, mengemukakan, sebaiknya pilkada ditunda pada 2021. Jika tetap dilakukan pada 9 Desember 2020, ujar Radian, maka masih ada situasi darurat pandemi Covid-19 di sejumlah daerah. Selain itu, juga masih ada persoalan harmonisasi aturan, tantangan saat penghitungan suara, waktu penyelesaian perselisihan hasil pemilihan, kendala sumber daya manusia, keadaan alam pada akhir tahun, dan masalah anggaran.