Berdasarkan data yang dihimpun KPK melalui aplikasi Jaga Bansos per 5 Juni 2020, ada 118 keluhan terkait penyaluran bantuan sosial. KPK akan memantau tindak lanjut dari setiap laporan oleh pemda.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat masih mengeluhkan penyaluran bantuan sosial yang belum tepat sasaran. Karena itu, perlu ada perbaikan dalam penyaluran bantuan, yakni dengan perbaikan data dan pelibatan lembaga non-pemerintah untuk mengawasi.
Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi melalui aplikasi Jaga Bansos per 5 Juni 2020, ada 118 keluhan terkait dengan penyaluran bantuan sosial (bansos). Keluhan yang paling banyak disampaikan adalah pelapor tidak menerima bantuan, padahal sudah mendaftar.
Keluhan lain yang disampaikan pelapor antara lain jumlah bantuan dana yang diterima kurang dari yang seharusnya diberikan, bantuan tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, adanya penerima fiktif, dan laporan mengenai adanya warga yang mendapatkan bantuan lebih dari satu.
Selain itu, kualitas bantuan yang diterima buruk, dan yang seharusnya tidak menerima bantuan, tetapi memperoleh bantuan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, Jaga Bansos diluncurkan untuk mencegah korupsi. ”KPK mengambil inisiatif ini untuk memastikan bansos tepat guna dan tepat sasaran, khususnya bagi masyarakat yang terdampak Covid-19 menerima bansos yang menjadi haknya,” kata Ipi melalui pesan singkat, Minggu (7/6/2020).
Ia menjelaskan, data yang dihimpun akan diteruskan kepada unit Koordinasi dan Supervisi Pencegahan. Selanjutnya, tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan meneruskan kepada tiap-tiap pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti. Selain itu, KPK akan memantau langkah-langkah yang dilakukan pemda dalam menangani keluhan tersebut.
Sejumlah 118 keluhan itu ditujukan kepada 78 pemda yang terdiri atas 7 pemerintah provinsi dan 71 pemerintah kabupaten/kota. Institusi yang paling banyak menerima keluhan, ialah Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Indramayu, masing-masing lima laporan.
Ipi menegaskan, KPK mendorong pengawasan bersama untuk memastikan bansos diterima masyarakat yang membutuhkan. Sebab, data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) masih belum sempurna dan membutuhkan proses verifikasi serta validasi di lapangan untuk perluasan penerima manfaat atau non-DTKS.
”Verifikasi dan validasi dibutuhkan untuk mengoreksi exclusion error, yaitu mereka yang memenuhi kriteria sebagai penerima manfaat atau terdampak Covid-19 dan berhak menerima bantuan, tetapi tidak masuk dalam DTKS dan inclusion error, yaitu penerima manfaat, tetapi sesungguhnya tidak memenuhi kriteria sebagai penerima bansos pada DTKS,” kata Ipi.
Menteri Sosial Juliari P Batubara menyatakan, Kemensos akan ikut memantau pemda dalam menindaklanjuti laporan dari masyarakat apabila ada tembusan laporan kepada Kemensos. Ia mengakui Kemensos juga menerima laporan adanya keluhan masyarakat terkait dengan pembagian bansos.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, mengatakan, distribusi bansos selalu bermasalah karena lemahnya data pendukung. Karena itu, perlu ada perbaikan dan verifikasi data yang dilakukan berjenjang dari RT, RW, hingga provinsi.
”Tetapi, siapa yang bisa mengontrol ini semua? Begitu didata dan tahu bahwa itu untuk mendapatkan bansos, kecenderungan umum adalah menggelembungkan data. Kunci perbaikan ada pada integrasi data kependudukan dengan data sosial lain seperti kemiskinan,” kata Gabriel.
Selain itu, supervisi berjenjang dalam distribusi bansos juga masih lemah dan lebih berorientasi pada aspek administratif. Karena itu, perlu ada pelibatan lembaga atau agensi pengawasan non-pemerintah atau minimal ada transparansi dalam penyampaian bansos.