Pembahasan RUU Pemilu Jangan Lupakan Tujuan Pemilu
Perdebatan alot yang diyakini bakal terjadi dalam pembahasan sejumlah isu di RUU Pemilu diharapkan tidak melupakan tujuan pemilu. Tak hanya itu, partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya.
Oleh
Rini Kustiasih/Ingki Rinaldi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdebatan alot yang diyakini bakal terjadi pada pembahasan sejumlah isu dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu diharapkan tidak melupakan tujuan pemilu. Tak hanya itu, partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya oleh pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR, agar kelak lahir regulasi pemilu yang komprehensif.
Seperti diberitakan sebelumnya, tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR tuntas merampungkan draf RUU Pemilu seperti diminta oleh Komisi II. Draf menjadi bahan pembahasan oleh Komisi II dan fraksi-fraksi di DPR sebelum dibahas bersama dengan pembentuk undang-undang lainnya, yaitu pemerintah.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo, Jumat (5/6/2020), mengatakan, isu-isu RUU Pemilu yang pembahasannya diperkirakan bakal alot antara lain desain keserentakan pemilu, sistem pemilu, dan ambang batas parlemen.
Terkait desain keserentakan pemilu, misalnya, ada fraksi yang menginginkan desain keserentakan sama seperti Pemilu 2019, tetapi ada pula yang ingin pemilu legislatif digelar terlebih dulu baru menyusul pemilu presiden dan ada pula yang menginginkan sebaliknya. PDI-P mengusulkan pilpres digelar serentak dengan pemilihan anggota DPD. Alasannya, basisnya adalah perseorangan, bukan partai politik. Adapun pemilihan anggota DPR digelar serentak dengan anggota DPRD karena basisnya partai politik. Untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar tersendiri dan serentak di seluruh daerah.
Sementara dalam draf RUU Pemilu, keserentakan pemilu dibagi dua. Pemilu nasional mencakup pilpres, pemilu anggota DPR, dan anggota DPD. Sementara pemilu daerah mencakup pemilu kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Mengenai sistem pemilu, PDI-P menginginkan sistem proporsional tertutup atau sama seperti yang tertulis dalam draf RUU Pemilu. Alasannya, pemilu lebih sederhana, memudahkan pemilih, berbiaya murah, mudah diawasi, dan minim kecurangan serta manipulasi suara. Sistem itu juga diyakini dapat mendorong penguatan kelembagaan parpol dan sistem kaderisasi partai. Namun, di luar PDI-P, ada juga yang ingin sistem tetap proporsional terbuka.
Soal isu ambang batas parlemen, sekalipun dalam RUU Pemilu disebutkan 7 persen, tak sedikit fraksi yang meminta angka ambang batas tak setinggi itu. Pada pemilu sebelumnya, ambang batas parlemen 4 persen. PDI-P, menurut Arif, mengusulkan pengaturan secara berjenjang, yakni dari pusat sampai ke daerah, tetapi dengan besaran ambang batas yang berbeda, yaitu 5 persen untuk DPR, 4 persen untuk DPRD provinsi, dan 3 persen untuk DPRD kabupaten/kota. Alasannya, pilihan rakyat di setiap jenjang pemilihan dinilai bisa berbeda-beda. Hal itu secara bertahap juga dinilai bisa mendorong penyederhanaan partai.
”Untuk mencapai titik temu terkait dengan isu krusial, bisa saja nanti dibuat alternatif-alternatif atau opsi pada sejumlah isu yang perdebatannya alot,” kata Arif.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mendukung hal itu. Beragamnya pandangan fraksi-fraksi dalam pembahasan RUU Pemilu berusaha diakomodasi dalam pembuatan opsi-opsi. Metode pembahasan dengan mengajukan opsi-opsi itu pernah dilakukan DPR dalam pembahasan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
”Saya kira nanti bisa dibuat opsi-opsi untuk mewadahi aspirasi dan tanggapan dari fraksi-fraksi. Lalu dari opsi-opsi itu akan dibahas mana yang bisa diterima oleh semua pihak. Jadi, bukan berarti draf 6 Mei 2020 itu menjadi acuan atau patokan, sebab itu hanya draf mentah sebagai awal pembahasan,” katanya.
Menurut Arwani, usulan mengenai ambang batas, sistem pemilu, dan desain keserentakan pemilu pada dasarnya harus merujuk pada norma yang diatur dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Misalnya, karena menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, mengakomodasi kebutuhan masyarakat, dan bahan evaluasi atas pelaksanaan pemilu sebelumnya.
Perdebatan dalam isu-isu krusial, menurut Arwani, juga jangan sampai melupakan tujuan pemilu.
”Pembahasan RUU Pemilu harus diarahkan untuk memperbaiki kualitas pemilu, partisipasi, dan menjaga fairness (keadilan). Jadi tidak ujung-ujungnya menaikkan PT (ambang batas parlemen), misalkan untuk mengurangi saingan. Sebab, ada jutaan suara akan hilang jika itu dilakukan,” tutur Arwani.
”Jangan setiap kali membahas RUU Pemilu, orang hanya bicara soal PT, perolehan kursi di dapil, dan sistem proporsional terbuka atau tertutup,” tambahnya.
Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menjanjikan pembahasan RUU itu akan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. ”Kami akan mendorong itu, yakni dengan melibatkan masyarakat sipil dan partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembahasan,” katanya.
Masukan penyelenggara
Menyikapi draf RUU Pemilu tersebut, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan berharap, dalam regulasi pemilu selanjutnya, kantor akuntan publik yang diserahi tugas mengaudit laporan dana kampanye diberi kewenangan melakukan audit material, tak sebatas formal.
Ini karena berkaca pada pemilu sebelumnya, sering kali ada laporan publik bahwa dana yang dikeluarkan peserta pemilu untuk kampanye melebihi yang dilaporkan dalam laporan dana kampanye. Kantor akuntan publik tidak bisa menelusuri itu karena audit sebatas pada aspek formal.
”Jadi perlu diberikan ruang bahwa pemeriksaan oleh kantor akuntan publik tidak sekadar audit formal, tetapi juga audit material,” katanya.
Selain itu, Abhan menyoroti banyaknya ketentuan pidana dalam draf RUU Pemilu. Ketentuan pidana itu perlu dipetakan lagi mana yang efektif dan tidak efektif selama ini. Jika memang hasil evaluasinya tidak efektif, perlu dipikirkan untuk menggantinya dengan sanksi administrasi. Menurut dia, sanksi administrasi biasanya lebih menciptakan efek gentar daripada pidana. Ini pun berkaca pada pengalaman pemilu sebelumnya. ”Sanksi administrasi yang sampai bisa (membuat peserta pemilu) didiskualifikasi malah lebih efektif,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi Pemilihan Umum, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, KPU akan terlebih dahulu membahas secara kelembagaan naskah RUU Pemilu tersebut.
”Mudah-mudahan persiapan-persiapan terkait Pilkada 2020 bisa segera diselesaikan dan paralel dengan itu kami juga bisa berpartisipasi dalam pembentukan atau usulan terkait UU Pemilu,” tuturnya.
Menurut Raka, pada prinsipnya pembentukan UU Pemilu menjadi kewenangan DPR dan pemerintah. Penyelenggara pemilu akan melaksanakannya jika kelak sudah diundangkan. Namun, berbagai masukan dari segenap pemangku kepentingan sangat penting. Hal ini agar UU Pemilu semakin maju, komprehensif, dan bisa diimplementasikan secara efektif.