Selain menginginkan Prabowo Subianto memimpin kembali Gerindra untuk periode 2020-2025, muncul pula suara saat Rapimnas Gerindra agar Prabowo maju kembali di Pemilu Presiden 2024.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh pengurus daerah Partai Gerindra meminta Prabowo Subianto kembali memimpin partai yang didirikannya itu untuk periode 2020-2025. Atas keinginan itu, Prabowo menyanggupi. Aspirasi daerah dianggapnya sebagai perintah partai yang harus dijalankan. Ini membuat Gerindra dinilai mengikuti sejumlah partai politik lain yang gagal melakukan sirkulasi kepemimpinan secara terbuka dan kompetitif.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Jumat (5/6/2020), mengatakan, aspirasi dari seluruh pengurus daerah Gerindra itu disampaikan saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Gerindra yang digelar pada Kamis (4/6/2020) malam.
Dalam rapat yang digelar secara virtual dan berlangsung mulai pukul 19.00 hingga pukul 01.30 Jumat dini hari itu, pimpinan dari 34 DPD Gerindra tingkat provinsi yang membawa aspirasi seluruh DPC tingkat kabupaten/kota meminta Prabowo kembali menjadi Ketua Umum Gerindra 2020-2025.
”Dengan pertimbangan Gerindra masih butuh perekat, masih butuh figur pengayom, dan masih butuh figur yang memimpin perjuangan Gerindra ke depan,” kata Dasco.
Perjuangan itu di antaranya dalam memenangi pemilihan kepala daerah dan tantangan partai merebut hati pemilih di tengah munculnya ide menaikkan ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. ”Seluruh komponen daerah Gerindra meminta Prabowo memimpin perjuangan tersebut,” tambahnya.
Hasil Rapimnas Gerindra tersebut selanjutnya akan dibawa ke Kongres Gerindra untuk dikukuhkan. Namun, kapan waktu digelarnya kongres, Gerindra belum memutuskan. Tak tertutup kemungkinan kongres digelar tahun ini dengan cara virtual karena adanya pandemi Covid-19.
Ketua DPD Gerindra Sumatera Barat Andre Rosiade membenarkan keputusan rapimnas tersebut. Suara yang menginginkan Prabowo memimpin kembali Gerindra dan disuarakan pimpinan DPD saat rapimnas merupakan suara dari pengurus DPC Gerindra di tingkat kabupaten/kota. Adapun DPC menangkap aspirasi itu dari konstituen Gerindra.
Ia mencontohkan di Sumbar. Hasil Rapat Pimpinan Daerah Gerindra yang dihadiri pengurus dari 19 DPC di Sumbar, awal Maret lalu, bulat menginginkan Prabowo kembali memimpin Gerindra.
Prabowo dinilai perlu memimpin kembali Gerindra karena, menurut Andre, dia merupakan tokoh paling berpengaruh di Gerindra. ”Kami belum punya tokoh semumpuni beliau,” tambahnya.
Bahkan, tak sekadar memimpin kembali Gerindra, Andre Rosiade mengatakan, suara arus bawah Gerindra dan masyarakat Indonesia dinilai menginginkan Prabowo maju kembali menjadi calon presiden di Pemilu Presiden 2024. Pengurus Gerindra di daerah pun menangkap hal ini dan menyampaikan hal tersebut saat rapimnas.
”Seluruh DPD di Indonesia menginginkan karena itu aspirasi kader yang juga kami tangkap dari bawah (masyarakat),” katanya.
Meski demikian, keputusan mengenai pencalonan presiden itu belum akan diambil dalam kongres. Keputusan tersebut biasanya diambil partai sekitar enam bulan sebelum gelaran pilpres.
”Pak Prabowo bilang di dalam rapimnas, urusan pilpres itu 2024, masih lama. Kami biasanya selalu mengambil keputusan enam bulan sebelum pilpres. Ini terlalu cepat mengambil keputusan. Nanti saja, kami mengambil keputusan yang rasional,” ucap Andre.
Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas melihat, hampir dua dekade reformasi, partai politik tidak mengalami pertumbuhan demokrasi yang sehat. Partai-partai yang diharapkan di awal reformasi sebagai kekuatan transformatif yang melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang baru dan dinamis tidak terjadi. Yang terjadi malah kemunculan partai-partai politik yang mencerminkan simbol oligarki.
”Kelompok-kelompok pemegang kekuasaan politik dan ekonomi yang berpusat pada kekuasaan keluarga atau individu semakin menguat. Ini gejala yang tidak sehat pascareformasi,” katanya.
Implikasi dari sistem yang semakin tidak sehat itu adalah ironi antara ekspektasi demokrasi secara luas dan ekspektasi demokrasi parpol. Di luar parpol, tuntutan ruang kebebasan memilih dan berpartisipasi sangat besar. Namun, di dalam parpol, justru proses demokrasi itu semakin tertutup.
”Melembagakan demokrasi di tingkat negara butuh dukungan dan energi yang kuat dari parpol dengan mempraktikkan demokrasi di internal partai. Repot kalau berharap negara makin demokratis, sementara penopangnya, parpol, menjalankan tradisi yang kurang demokratis. Itu ironi,” ucap Sirojudin.
Sirojudin menyebut, sejumlah partai yang tertutup itu di antaranya Gerindra, PDI-P, Nasdem, dan Demokrat. Partai-partai tersebut menunjukkan ketertutupan ruang demokrasi internal partai karena didominasi oleh tokoh sentral dan keluarga dari tokoh sentral tersebut.
”Itu yang membuat proses-proses politik di dalam parpol semakin tertutup dan tidak demokratis,” katanya.
Ia menjelaskan, tanpa disadari, ini semua berimplikasi besar pada pemilihan tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin di sektor publik. Saat ini sebagian besar pemimpin publik diproses lewat institusi parpol di DPR dan itu melibatkan parpol.
”Bayangkan memilih menteri dan lembaga negara yang harus di-approve parpol, dan itu harus di-approve juga oleh segelintir orang yang menguasai parpol tersebut. Artinya, kelompok-kelompok inilah yang mengontrol parpol juga bisa mengontrol penempatan pemimpin-pemimpin di lembaga negara akhirnya. Pada ujungnya, negara bisa disetir oleh tokoh-tokoh oligarki ini. Ini, kan, mengerikan sekali,” jelas Sirojudin.
Matinya regenerasi di parpol, menurut Sirojudin, ada dua penyebab. Pertama, kewajiban untuk membiayai operasional parpol mahal sekali. Atas dasar itu, parpol hanya bergantung pada elite di partai tersebut. ”Tidak banyak warga di negara ini yang punya kemampuan ekonomi cukup besar untuk menggerakkan mesin partai,” katanya.
Kedua, parpol selalu menggunakan jumlah dukungan dan suara sebagai alat negosiasi. Sebagai alat negosiasi itu, partai-partai menggunakan basis dukungan sebagai alat negosiasi pula dengan pihak-pihak lain.
”Yang bisa melakukan itu tidak banyak. Yang bisa melakukan itu, kan, yang bisa membangkitkan dukungan. Kembali lagi ke figur sentral,” ucapnya.
Sirojudin menekankan, jabatan ketua umum bukanlah masalah sosok muda atau tua. Yang terpenting ada proses sirkulasi kepemimpinan dan dilakukan secara terbuka serta kompetitif.
”Soal umur itu relatif. Ini soal parpol harus punya mekanisme, sirkulasi kekuasaan secara terbuka dan demokratis. Parpol cenderung maunya aklamasi, tak mau kompetisi, demi menghindari konflik terbuka. Aklamasi memang demokrasi, tetapi di belakang ada political engineering (rekayasa politik) untuk memastikan kompetisi terbuka tidak terjadi. Itu tantangan demokrasi politik yang cukup serius,” tutur Sirojudin.