PTUN Nyatakan Pemerintah Melanggar Hukum Blokir Akses Internet di Papua
Pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kementerian Komunikasi dan Informatika divonis bersalah oleh PTUN Jakarta atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN
Para aktivis gabungan dari beberapa organisasi dan lembaga swadaya masyarakat berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta, Jumat (23/8/2019). Para aktivis melakukan somasi kepada Kemenkominfo agar segera mencabut pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat. Pemblokiran akses internet dilakukan pemerintah terkait situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan Papua Barat.
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan, tindakan pemerintah yang memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 adalah perbuatan melawan hukum. Pemerintah, yaitu presiden dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dianggap melanggar hukum karena melakukan pemblokiran akses internet tanpa menyatakan status kedaruratan.
Meski demikian, putusan ini dianggap masyarakat sipil sebagai pisau bermata dua. Ini karena ke depan masih berpotensi terjadi pelanggaran kebebasan informasi yang dilakukan pemerintah.
Majelis hakim PTUN Jakarta yang dipimpin Nelvy Christin, Rabu (3/6/2020), mengabulkan gugatan Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) kepada pemerintah. Gugatan ini diajukan terkait tindakan pemerintah yang melakukan perlambatan akses bandwith internet di beberapa wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 mulai pukul 13.00 WIT hingga 20.30 WIT.
Penggugat juga menyoal tindakan pemblokiran internet secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019-4 September 2019.
Selain itu, penggugat menyoal perpanjangan pemblokiran internet di empat daerah di Papua, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, serta dua daerah di Papua Barat, yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong, mulai pukul 23.00 pada 4 September 2019 hingga pukul 20.00 pada 9 September 2019.
Majelis hakim menyatakan, pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran internet itu sebagai perbuatan melanggar hukum.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, putusan majelis hakim PTUN seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, masyarakat sipil puas karena tindakan pemerintah dianggap perbuatan melanggar hukum. Namun, jika dilihat lebih rinci dalam pertimbangan majelis hakim, pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat itu dianggap melanggar hukum karena tidak sesuai dengan prosedur Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Selain itu, pemerintah juga berwenang melakukan pemutusan akses dan memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Tindakan itu dapat dilakukan setelah pemerintah mendeklarasikan keadaan darurat.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Wahyudi Djafar
”Ke depan, pemerintah masih bisa menggunakan Pasal 40 UU ITE untuk melanggar kebebasan mendapat informasi. Seharusnya, dalam situasi darurat yang dikontrol itu adalah konten yang melanggar hukum, bukan seluruh akses internet ditutup seperti kemarin,” kata Wahyudi.
Menurut dia, jika mengacu pada surat dan resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa, penutupan akses untuk mendapatkan informasi adalah tindakan yang harus dihindari karena eksesnya lebih besar. Dalam kondisi darurat, misalnya, potensi eskalasi konflik justru semakin besar ketika masyarakat tak bisa memverifikasi data yang mereka dapatkan. Pengalaman di negara lain, ketika dilakukan pemutusan internet, justru konflik semakin meluas.
”Ketika situasi seperti itu yang harus dibatasi adalah konten atau dokumen elektroniknya, bukan akses terhadap informasinya. Ini sebenarnya yang harus ditegaskan kepada pemerintah,” kata Wahyudi.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam vonisnya, Rabu (3/6/2020), menyatakan bahwa tindakan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 adalah perbuatan melanggar hukum.
Ke depan, Wahyudi berharap UU No 19/2016 tentang ITE di Indonesia dapat segera direvisi. Sebab, harus ada aturan detail yang menegaskan mekanisme pemblokiran terhadap konten elektronik ketika situasi darurat. Menurut dia, tidak boleh kondisi itu justru menjadi ajang untuk memutus akses internet yang melanggar hak untuk mendapatkan informasi masyarakat. Dengan aturan lama itu, pemerintah dapat melakukan pemutusan akses internet ketika sudah ada deklarasi keadaan darurat melalui keputusan presiden (keppres).
”DPR harus merevisi UU ITE ini karena tidak sesuai dengan prinsip kebebasan mendapatkan informasi,” kata Wahyudi.
Sebelumnya, dalam keterangan di laman daring kominfo.go.id (20/9/2019), Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Semuel Abrijani mengatakan, pembatasan internet di Papua tidak dilakukan sewenang-wenang. Tindakan itu juga disebutnya berdasar pada UUD 1945, UU ITE, dan UU Telekomunikasi.
(Catatan Redaksi: Naskah berita ini telah mengalami perubahan. Pada berita yang tayang sebelumnya disebutkan, majelis hakim memerintahkan pemerintah meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia, khususnya Papua dan Papua Barat, serta media nasional. Hal ini dikutip dari laman resmi PTUN Jakarta. Namun setelah dicek di amar putusan PTUN Jakarta, tidak ada putusan tersebut.)