Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang pernah menyebutkan kasus Nurhadi sebagai puncak gunung es yang dalam, dingin, gelap, dan ada ”hiu”-nya. Menjadi tugas KPK saat ini untuk membongkarnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Hampir empat bulan diburu Komisi Pemberantasan Korupsi, pelarian Nurhadi berakhir di sebuah rumah di kawasan Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (1/6/2020) malam. Sudah sejak pertengahan 2016, dugaan keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung tahun 2011-2016 itu dalam perkara suap pengurusan sejumlah perkara tercium penyidik KPK. Tak tanggung-tanggung, ia diduga menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.
Berawal dari informasi masyarakat, tim pemburu Nurhadi mendatangi rumah
di kawasan Simprug tersebut. Setelah membuka paksa pintu rumah, Nurhadi ditemukan di dalam kamarnya. Adapun menantunya, Rezky Herbiyono, yang juga menjadi tersangka dan buron dalam kasus Nurhadi, ditemukan di kamar yang lain. Selain keduanya, KPK turut mengamankan istri Nurhadi, Tin Zuraida, yang juga ada dalam rumah itu.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pun tampak semringah dengan keberhasilan bawahannya tersebut. Ia berseri-seri dalam jumpa pers KPK untuk menyampaikan penangkapan Nurhadi dan Rezky. Di tengah tekanan publik atas buruknya kinerja KPK, keberhasilan itu bak bintang di langit.
Apalagi, sebelumnya muncul pandangan KPK tak serius menangkap Nurhadi. Pandangan ini muncul karena di tengah pelariannya, Nurhadi bisa leluasa mengajukan praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh KPK.
Bahkan, dua kali dia mengajukannya.
Tak hanya itu, akhir Februari lalu atau beberapa hari setelah Nurhadi cs dimasukkan dalam daftar pencarian orang KPK, aktivis hak asasi manusia Haris Azhar sempat menyampaikan bahwa Nurhadi sesungguhnya tak bersembunyi. Kepada media, ia menyebutkan Nurhadi tinggal di apartemen di Jakarta Selatan. Adapun informasi lebih detail telah disampaikannya kepada KPK.
Namun, setelah informasi itu, tak terlihat gerakan KPK untuk memburu Nurhadi.
Ditambah lagi, sebelumnya ada buruan KPK lainnya, yaitu terduga penyuap bekas anggota KPU Wahyu Setiawan, Harun Masiku, yang juga lepas dari perburuan oleh KPK.
Atas penangkapan Nurhadi tersebut, kuasa hukum Nurhadi di praperadilan, Maqdir Ismail, menilainya sebagai kabar baik. Ia pun menghargai kerja KPK dan berharap kasus Nurhadi segera disidangkan.
Gunung es
Sekalipun kasus Nurhadi mengemuka tahun ini, pengusutan kasus itu oleh KPK sudah sejak pertengahan 2016. Namanya muncul pertama kali sehari setelah KPK menangkap tangan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan tiga orang lainnya dalam perkara suap, 20 April 2016. Saat itu, KPK menduga Edy tak ”bermain” sendiri.
Dugaan itu menguat setelah KPK menggeledah rumah dan ruang kerja Nurhadi. Dari rumah Nurhadi, penyidik menyita dokumen dan uang Rp 1,7 miliar. Nurhadi pun dicegah untuk bepergian ke luar negeri.
Meskipun saat itu KPK masih mendalami peran Nurhadi, Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang telah mengeluarkan isyarat soal keterlibatan Nurhadi. Tak hanya itu, ia juga mengisyaratkan kasus tersebut ibarat pucuk gunung es. ”Ini gunung es dalam, dingin, gelap, dan ada ’hiu’-nya,” katanya.
Namun, kala itu, Nurhadi membantahnya. Seusai menjalani pemeriksaan di KPK, Nurhadi mengakui, uang Rp 1,7 miliar yang disita penyidik KPK merupakan uang pribadinya (Kompas, 16/6/2016).
Bersamaan dengan pengusutan kasus Nurhadi, KPK kesulitan menemukan Royani, sopir Nurhadi. Ia yang menjadi saksi kunci dalam kasus Nurhadi raib bak ditelan bumi. Nurhadi mengaku tak tahu-menahu keberadaan sopirnya tersebut. Begitu pula kantor tempat Royani bekerja, MA.
Pencarian Royani tak kunjung berbuah hasil. Nama Nurhadi dalam pengusutan kasus suap perkara di MA ikut tenggelam. Baru pertengahan 2019 namanya kembali muncul dalam hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Polri untuk menyelidiki penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. TPF kala itu menduga, penyerangan Novel sebagai bentuk balas dendam atas kasus yang ditangani Novel. Salah satunya, kasus Nurhadi.
Selanjutnya, namanya kembali muncul pada akhir 2019 ketika KPK pada akhirnya menetapkan Nurhadi bersama Rezky dan Direktur MIT Hiendra
Soenjoto sebagai tersangka.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima hadiah dalam pengurusan perkara perdata PT MIT melawan PT KBN (Persero) sekitar Rp 14 miliar. Kedua tersangka juga menerima uang dalam perkara perdata sengketa saham di PT MIT sekitar Rp 33,1 miliar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan sekitar Rp 12,9 miliar.
Sosok kontroversial
Jauh sebelum kasus Nurhadi mencuat, sosoknya sendiri kontroversial. Nurhadi pernah menjadi sorotan pada 2014 karena membagikan Ipod seharga Rp 699.000 kepada 2.500 undangan dalam pesta pernikahan putrinya di salah satu hotel berbintang di Jakarta.
Pesta pernikahan itu pun dimeriahkan oleh sejumlah artis papan atas Indonesia. Selain itu, seluruh langit-langit gedung didekorasi seperti hutan anggrek dan mawar.
Khusus pemberian Ipod, hal itu ditengarai melanggar kode etik MA. Namun, saat itu, Ketua MA Hatta Ali meminta agar masalah suvenir resepsi pernikahan anak Nurhadi tidak dibesar-besarkan.
Selain itu, Nurhadi pernah disorot karena MA merenovasi ruangan kerja dengan biaya mencapai Rp 10,24 miliar pada 2012. Saat itu, Nurhadi berdalih, perbaikan ruangan MA tersebut merupakan kebutuhan riil dan mendesak.
Sekalipun kini KPK bisa kembali semringah dengan ditangkapnya Nurhadi, seperti dikatakan Saut Situmorang, kasus Nurhadi hanya puncak dari gunung es.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berharap KPK dapat mengembangkan kasus tersebut. Bukan tidak mungkin, Nurhadi, yang selama menjabat berperan dalam promosi dan mutasi hakim serta penanganan perkara, mengetahui atau bahkan terlibat dalam kasus-kasus suap lain di dunia peradilan. Mafia peradilan ini harus dibongkar hingga tuntas.