Teror terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum UGM adalah pelanggaran serius atas kebebasan berekspresi. Hal ini bisa semakin menurunkan kualitas demokrasi jika tidak diantisipasi.
Oleh
Nikolaus Harbowo, Prayogi Dwi Sulistyo, dan Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin sepenuhnya oleh konstitusi. Pembungkaman terhadap kemerdekaan berpendapat dan berpikir bisa merusak demokrasi.
Untuk itu, atas nama hukum dan demokrasi, polisi perlu mengusut pihak-pihak yang berupaya mengekang kebebasan berekspresi melalui teror dan intimidasi.
Kasus terakhir menimpa panitia dan narasumber diskusi ”Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang sedianya
diselenggarakan oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pekan lalu. Namun, diskusi dibatalkan panitia karena adanya intimidasi melalui telepon, pesan singkat, bahkan ancaman langsung ke rumah salah seorang panitia. Oknum peneror menilai diskusi itu berbau makar.
Kebebasan merupakan hal sakral yang melekat pada manusia, termasuk kebebasan berpendapat. Jaminan akan kebebasan itu, menurut dia, dipahami juga oleh para pendiri bangsa yang menuangkannya dalam Pasal 28 UUD 1945.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Pusat Din Syamsuddin, Senin (1/6/2020), dalam diskusi daring mengatakan, kebebasan merupakan hal sakral yang melekat pada manusia, termasuk kebebasan berpendapat. Jaminan akan kebebasan itu, menurut dia, dipahami juga oleh para pendiri bangsa yang menuangkannya dalam Pasal 28 UUD 1945.
Kasus teror tersebut kian memperlihatkan adanya kemunduran demokrasi di Indonesia. Litbang Kompas mencatat, dalam 15 tahun terakhir, demokrasi Indonesia stagnan, bahkan mengalami kemunduran di beberapa sektor (Kompas, 27 Mei 2020).
Dalam indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit pada 2019, indeks demokrasi Indonesia hanya 6,48 dan menduduki peringkat ke-64 dari 167 negara, lebih rendah daripada Timor Leste (7,6) dan Filipina (6,64). Indonesia masuk dalam kategori demokrasi tak sempurna atau flawed democracy.
Sementara berdasarkan rilis The V-Dem Institute dan Badan Pusat Statistik (BPS), kebebasan masyarakat sipil menjadi salah satu pendorong kemunduran demokrasi. Berdasarkan catatan BPS tahun 2018, variabel kebebasan berpendapat menjadi yang terendah dalam indeks demokrasi pada aspek kebebasan sipil, bahkan nyaris menyentuh kategori buruk.
Berdasarkan rilis The V-Dem Institute dan Badan Pusat Statistik (BPS), kebebasan masyarakat sipil menjadi salah satu pendorong kemunduran demokrasi.
Komitmen negara
Komisioner Komisi Nasional HAM, Beka Ulung Hapsara, menyampaikan, komitmen demokrasi negara dipertanyakan jika teror, intimidasi, dan ancaman kekerasan masih terus terjadi. Kasus teror dan intimidasi yang terjadi belakangan ini sangat berpotensi mengancam kebebasan sipil warga negara.
Tak hanya kasus diskusi di FH UGM, Komnas HAM juga mencatat adanya peristiwa teror dan ancaman terhadap jurnalis yang memberitakan agenda Presiden Joko Widodo di Bekasi, Jawa Barat, dan kriminalisasi kritik terhadap kebijakan negara.
”Komnas HAM mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kapolda DIY mengusut dan menangkap pelaku teror serta pengancaman terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hal ini penting dilakukan supaya tindak pidana serius seperti itu tidak terulang,” kata Beka.
Komnas HAM mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kapolda DIY mengusut dan menangkap pelaku teror serta pengancaman terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hal ini penting dilakukan supaya tindak pidana serius seperti itu tidak terulang
Seruan serupa juga disuarakan DPR yang menyayangkan masih munculnya kasus teror dan intimidasi yang mengganggu kebebasan berekspresi di era demokrasi. Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Herry mengatakan, kebebasan berpendapat atau berdiskusi dijamin undang-undang. Terlebih diskusi itu dilakukan dalam forum akademis.
Terkait dengan hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan telah meminta Polri agar segera mengusut pelaku teror. Ia juga menyarankan panitia dan calon narasumber diskusi melapor agar ada informasi untuk melacak identitas dan jejak digital peneror.
Menurut Mahfud, tidak ada yang salah dengan diskusi tersebut. Diskusi tersebut ingin menegaskan bahwa presiden tak bisa dijatuhkan hanya karena kebijakan terkait Covid-19. ”Namun, ada yang salah paham karena belum membaca ToR (term of reference) dan hanya membaca judul sehingga kisruh,” ujar Mahfud.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengatakan, diskusi ilmiah itu merupakan inisiatif mahasiswa bidang hukum tata negara. Tema tersebut juga relevan dengan mata kuliah ilmu hukum tata negara yang dipelajari mahasiswa.