Serangan teror oleh pelaku tunggal berusia 20 tahunan ke kantor Polsek Daha Selatan Kalsel patut dicermati. Peristiwa itu sekaligus memperlihatkan anak-anak muda menjadi sasaran empuk penyebaran radikalisme di dunia maya
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepolisian memastikan pelaku penyerangan Markas Kepolisian Sektor Daha Selatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, adalah pelaku teror tunggal atau lone wolf. Pengetahuan untuk melakukan aksi tersebut diduga kuat berasal dari internet.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam jumpa pers, Selasa (2/6/2020), menyatakan, pelaku teror diduga mendapatkan pengetahuan teror dari internet. "Dia membaca sendiri, membayangkan sendiri, dan memprediksi sendiri,"kata Argo.
Dia membaca sendiri, membayangkan sendiri, dan memprediksi sendiri (Kadiv Humas Polri, Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono)
Serangan tersebut menewaskan seorang anggota kepolisian, yakni Brigadir Leonardo Latupapua. Karena tidak mau menyerah, kata Argo, petugas melakukan tindakan tegas terhadap pelaku.
Dari pelaku yang berusia 20 tahun, petugas menemukan barang bukti berupa pedang panjang dengan sarungnya, 1 unit sepeda motor, tas pinggang berisi satu dompet berisi sejumlah uang, bendera berbentuk syal yang identik dengan bendera Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), kartu identitas, satu kitab suci, dan surat wasiat.
Menurut Argo, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menaikkan pangkat setingkat lebih tinggi bagi aparat kepolisian yang menjadi korban teror. Demikian pula bagi anggota kepolisian yang telah melakukan tindakan tegas tersebut juga akan diberikan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB).
“Sekarang sedang diproses di bagian Sumber Daya Manusia (SDM) Polri,” ujar Argo.
Penyalahgunaan dunia maya (cyber space) oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham radikal (spread of radicalization) memang terjadi. Paham radikalisasi tersebut berisi mulai dari provokasi, hasutan-hasutan, sampai cara untuk melakukan teror.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan, penyalahgunaan dunia maya (cyber space) oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham radikal (spread of radicalization) memang terjadi. Paham radikalisasi tersebut berisi mulai dari provokasi, hasutan-hasutan, sampai cara untuk melakukan teror.
Menurut Boy Rafli, jaringan teroris juga menargetkan orang-orang muda. Oleh karena itu, masyarakat pun diharapkan agar semakin waspada terhadap pola tersebut. Ia memastikan bahwa BNPT bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan kepolisian untuk melakukan langkah-langkah antisipatif.
“Kami terus memantau dengan giat patroli siber, juga melakukan investigasi untuk pencegahan melalui konten kontra radikal dan melakukan langkah penegakan hukum bersama Direktorat Cyber dan tim penyidik dari Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri,” kata Boy Rafli.
Terkait dengan peristiwa penyerangan Markas Kepolisian Sektor Daha Selatan, kata Boy Rafli, pihaknya memastikan pelaku penyerangan adalah pelaku teror tunggal. Hal itu diperoleh dari penelusuran jejak digital yang memperlihatkan bahwa pelaku telah berbaiat ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Peristiwa tersebut penting dicermati karena menunjukkan anak muda merupakan sasaran empuk radikalisasi yang dilakukan secara daring. Selain itu, peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa berkat internet, serangan teroris tidak perlu dilakukan di pusat kota, seperti Jakarta, agar mendapat perhatian publik dan media.
Pengamat terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengatakan, peristiwa tersebut penting dicermati karena menunjukkan anak muda merupakan sasaran empuk radikalisasi yang dilakukan secara daring. Selain itu, peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa berkat internet, serangan teroris tidak perlu dilakukan di pusat kota, seperti Jakarta, agar mendapat perhatian publik dan media.
Menurut Noor Huda, penyerangan tersebut murni dilakukan pelaku tunggal. Pola yang mirip dapat dilihat pada kasus penyerangan terhadap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto tahun lalu.
“Oleh karena itu, perlu sekali memperkuat literasi digital bagi kalangan anak-anak muda terutama untuk membantah narasi kelompok teroris dengan pendekatan yang lebih mengedepankan aspek emosional,” kata Noor Huda.
Namun demikian, proses radikalisasi yang terjadi melalui internet tersebut hampir pasti terkait dengan jaringan kelompok teroris tertentu. Paham yang disebarkan, semisal ajaran bahwa pandemi Covid-19 sebagai “tentara Allah” untuk melemahkan aparat negara, dapat memengaruhi pelaku teror tersebut.
Meskipun kepolisian senantiasa waspada, kata Noor Huda, energi aparat negara bisa jadi lebih banyak tertuju pada penanganan pandemi Covid-19. Dengan peristiwa tersebut, kepolisian diharapkan memperkuat tim intelijen yang memantau secara daring di seluruh Indonesia.