Politik Sektarian Diprediksi Tidak Akan Laku Seusai Pandemi
Politik sektarian diperkirakan tidak akan marak lagi dalam kontestasi politik di masa mendatang. Pandemi Covid-19 telah menggeser perilaku politik masyarakat menjadi lebih rasional, terutama dalam memilih pemimpinnya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada harapan positif dari perspektif politik yang diproyeksikan akan memengaruhi orientasi pemilih di Indonesia setelah pandemi Covid-19. Selama pandemi, masyarakat dituntut berpikir rasional berdasarkan logika ilmu pengetahuan. Hal itu diprediksi akan menggeser tren politik sektarian menjadi politik yang lebih rasional.
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman mengatakan, salah satu hikmah dari krisis kesehatan akibat wabah Covid-19 adalah masyarakat dipaksa berpikir dengan logika sains. Setiap hari, masyarakat mengonsumsi informasi dari juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Informasi ini biasanya tidak ditelan mentah-mentah, tetapi diverifikasi dengan sumber-sumber lain.
Masyarakat juga menyimak pendapat dari para ahli kesehatan dan epidemiologi terkait penanganan pandemi. Secara tidak sadar, hal tersebut menggerus residu politik sektarian yang memanas pada penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan pemilihan presiden pada 2019.
”Di masa pandemi ini, justru yang muncul di masyarakat adalah solidaritas dan narasi kemanusiaan. Orang saling tolong-menolong tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras, dan golongan. Semangat kemanusiaan telah melampaui sekat SARA,” kata Andy dalam seminar virtual ”Massa Depan Politik Agama Pascapandemi” yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Selasa (19/5/2020).
Di masa pandemi ini, justru yang muncul di masyarakat adalah solidaritas dan narasi kemanusiaan. Orang saling tolong-menolong tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras, dan golongan. Semangat kemanusiaan telah melampaui sekat SARA.
Selain Andy, hadir sebagai pembicara seminar antara lain anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera M Nasir Djamil, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat Firliana Purwanti, dan Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Bertindak sebagai moderator, Editor Bidang Humaniora Kompas Ilham Khoiri.
Menurut Andy, masyarakat pun mulai kritis dengan upaya pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan pandemi Covid-19. Mereka menaruh perhatian pada pemimpin yang dinilai tepat dan efektif menangani krisis kesehatan tersebut.
Sosok-sosok tersebut mulai diperbincangkan dan diprediksi akan menjadi kandidat kuat pada Pilpres 2024. Artinya, politik teknokratik yang rasional mulai menjadi normal baru di masyarakat. Politik sektarian perlahan mulai ditendang dan memudar. Partai nasionalis diprediksi akan semakin populer.
”Nantinya, para pelaku politik sektarian ini tidak lagi akan menggunakan sentimen SARA dalam kampanye. Mereka akan bergeser ke isu kelas, kesenjangan sosial,” terang Andy.
Para pelaku politik sektarian ini tidak lagi akan menggunakan sentimen SARA dalam kampanye. Mereka akan bergeser ke isu kelas, kesenjangan sosial.
Namun, ada suatu hal yang mengkhawatirkan yang terjadi di selama wabah ini berlangsung. Masyarakat semakin menerima intervensi negara yang mengarah pada praktik otoritarianisme.
Saat ini, semua orang menuntut negara hadir menangani Covid-19. Bahkan, mereka pun permisif terhadap aplikasi ponsel yang mengawasi data pribadi dan mobilitas individu. Hal ini, menurut Andy, cukup berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia. Sebab, negara diberikan kewenangan yang besar untuk mengatur masyarakat dengan instrumennya.
Alissa Wahid berpendapat bahwa untuk menghilangkan politik sektarian di Indonesia, masyarakat harus beragama secara inklusif dan substantif. Masyarakat tetap religius, tetapi tidak memaksakan kehendak dan menjunjung tinggi toleransi.
Namun, dalam praktiknya, Alissa melihat bahwa kehidupan beragama di Indonesia masih bersifat eksklusif dan formalistik. Masih ada sekelompok masyarakat yang merasa mayoritas sehingga memaksakan kehendak mereka kepada minoritas. Kelompok ini pun semakin membesar dan berpendapat bahwa agama perlu diformalisasikan dalam kehidupan bernegara. Formalisasi agama itu pun akhirnya merembet menjadi politisasi agama yang membuat isu sektarian laku keras sebagai dagangan agama.
”Kalau praktik kehidupan beragama kita masih eksklusif dan formalistik, kemungkinan masih akan tetap kuat hubungan antara politik dan agama,” kata Alissa.
Apalagi, kecenderungan masyarakat Indonesia adalah berwatak sosio sentris. Masyarakat sosio sentris meletakkan kebutuhan sosial dan kelompok lebih tinggi daripada individu. Hal ini turut memengaruhi orientasi orang dalam berpolitik. Isu agama masih menjadi alasan emosional dan psikologis yang akan menjadi orientasi politik seseorang. Sentimen agama masih akan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Meskipun demikian, Alissa meyakini bahwa pandemi akan mengubah arah politik Indonesia. Respons politik selama pandemi ini akan menjadi parameter publik dalam menguji kompetensi parpol dan calon pemimpin. Pemimpin yang dianggap dapat mengatasi permasalahan Covid-19 secara tepat dan efektif akan merebut simpati dan suara masyarakat.
Pandemi akan mengubah arah politik Indonesia. Respons politik selama pandemi ini akan menjadi parameter publik dalam menguji kompetensi parpol dan calon pemimpin.
Firliana Purwanti juga sepakat bahwa pascapandemi, masyarakat akan melihat calon pemimpin dengan alat uji yang lebih nyata, yakni terkait kompetensi dan terutama konsistensi kebijakannya.
Ia menilai sikap pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19 tidak konsisten. Aturan yang dibuat berubah-ubah dan tidak sinkron antarinstansi. Akibatnya, masyarakat bingung dan akhirnya muncul ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kebijakan pemerintah disepelekan dan masyarakat enggan menaati aturan yang dikeluarkan.
Di sisi lain, masyarakat membutuhkan pemimpin yang cepat tanggap dan melayani publik dengan baik. Para pemimpin yang berhasil menangani Covid-19 inilah yang akan meraup simpati dari masyarakat.
M Nasir Djamil menambahkan, Indonesia adalah negara berketuhanan yang berperilaku keagamaan ekstrinsik. Oleh karena itu, agama selalu menjadi landasan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, seharusnya agama tidak dicampuradukkan dengan kehidupan sosial.
Di dalam kehidupan bernegara, menurut dia, yang paling tepat adalah bersikap moderat. Dalam menyikapi pandemi, misalnya, tidak tepat jika masyarakat hanya berbekal kepada iman agama tanpa berpikir rasional.
”PKS sendiri tidak mendukung ketika agama dicampuradukkan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya, ada berita-berita hoaks yang dibalut ayat-ayat agama di masa pandemi ini, kami tidak setuju,” kata Nasir.
Oleh karena itu, pada bulan suci Ramadhan ini, Nasir melihat masih banyak pembangkangan sosial masyarakat. Misalnya, masyarakat ada yang nekat beribadah berjemaah, padahal sudah dilarang demi mencegah penularan Covid-19. Selain karena alasan agama dan kepercayaan, sikap pembangkangan sosial ini juga dipicu oleh isu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Salah satu pemicunya adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten.