Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi Dinilai Masih Lemah
Hukum acara di Mahkamah Konstitusi dinilai lemah. Akibatnya, sebelum sidang dimulai, pemerintah justru tetapkan terlebih dahulu Perppu No 1/2020 jadi UU No 2/2020. Kepastian hukum pun dinilai lemah. Perlukah direvisi?
JAKARTA, KOMPAS — Proses pemeriksaan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covoid-19 seolah berkejaran dengan waktu.
Setelah perppu disetujui DPR menjadi undang-undang, Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memutuskan tetap melanjutkan persidangan pada Rabu depan. Namun, sebelum sidang pemeriksaannya dimulai, pemerintah justru telah menetapkan terlebih dahulu Perppu No 1/2020 menjadi UU No 2/2020 dalam lembaran negara.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Senin (18/5/2020), menyatakan, MK seharusnya sejak awal merevisi hukum acara gugatan perkara perppu. Sebab, proses politik dan pengesahan perppu menjadi undang-undang sangat dinamis. Jika tidak ada aturan baku dari MK, akibatnya tidak akan ada kepastian waktu bagi pencari keadilan konstitusi.
Baca juga : Nasib UU Penetapan Perppu 1/2020 di Tangan MK
Hal itu, menurut Feri, adalah akibat dari lemahnya hukum acara persidangan di MK. Hukum acara persidangan di MK hanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Akibatnya, sifatnya sangat subyektif dari kebijakan hakim konstitusi.
Hukum acara di MK tidak konsisten. Dulu, setelah perppu disetujui di DPR itu biasanya tidak ada persidangan lagi. MK akan membuat ketetapan tentang pencabutan perkara sehingga pemohon bisa segera mengajukan gugatan baru.
”Hukum acara di MK tidak konsisten. Dulu, setelah perppu disetujui di DPR itu biasanya tidak ada persidangan lagi. MK akan membuat ketetapan tentang pencabutan perkara sehingga pemohon bisa segera mengajukan gugatan baru,” papar Feri.
Menurut Feri, keputusan MK untuk tetap melanjutkan persidangan pemeriksaan perkara uji materi Perppu No 1/2020 pada Rabu depan, layak dipertanyakan. Sebab, setelah ada persetujuan di DPR, perppu sebenarnya sudah resmi menjadi UU dan hanya menunggu proses administrasi semata. Jika prosesnya tetap dilanjutkan, sidang akan sia-sia karena akan kehilangan obyek perkara. Alangkah bijaknya, jika MK membuat ketetapan pencabutan perkara karena obyek perkaranya hilang. Dengan demikian, pemohon mendapatkan kepastian waktu dan proses yang harus dilewatinya kembali.
”Aneh jika MK tetap memaksakan sidang tetap berjalan, sementara pemberian nomor lembar negara terus berjalan. Sebab sebenarnya perppu, kan, sudah tidak ada lagi karena sudah disahkan menjadi undang-undang,” kata Feri.
Apalagi, menurut Feri, agenda sidang selanjutnya di MK adalah mendengarkan penjelasan dari DPR dan Presiden. Namun, proses itu tidak akan dinilai sebagai keterangan terkait pengujian undang-undang yang baru. Sebab, pemeriksaan gugatan baru harus dimulai lagi dari awal. Akibatnya, pencari keadilan justru menilai bahwa MK tidak efektif menyelesaikan perkara pengujian perppu.
Menurut Feri, ke depannya, hukum acara persidangan di MK harus direvisi. Hukum acara seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan dalam peraturan MK. Hukum acara perppu juga harus mendapatkan aturan berbeda dengan perkara undang-undang. Sebab, persetujuan perppu selalu berkejaran dengan masa persidangan di DPR.
Perppu seharusnya direspons dengan masa persidangan yang cepat. Akhirnya, publik tidak mendapatkan kepastian soal daya laku perppu. Hal ini seharusnya tidak lagi terjadi dan dapat diantisipasi dengan revisi hukum acara persidangan di MK.
Sebelumnya, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK pada Kamis (14/5/2020) menetapkan bahwa perkara uji materi Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dilanjutkan.
Bagian kepaniteraan MK kemudian mengirimkan undangan sidang pemeriksaan yang diagendakan pada Rabu nanti. Para pemohon yang melanjutkan perkaranya, yaitu perkara nomor 23/PUU-XVIII/2020 dan perkara nomor 24/PUU-XVIII/2020, diminta hadir memenuhi panggilan MK.
Pemohon perkara 23/PUU-XVIII/2020 adalah Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan kawan-kawan. Sementara, pemohon perkara nomor 24/PUU-XIII/2020 adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan. Pemohon perkara nomor 25/PUU-XIII/2020 atas nama Damai Hari Lubis telah mencabut gugatannya.
”Pemohon perkara nomor 25/PUU-XIII/2020 atas nama Damai Hari Lubis telah mencabut gugatannya. Rencananya, besok Selasa (19/5/2020) MK akan membacakan pengucapan ketetapan menarik perkara,” kata Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono.
Ajukan gugatan baru
Menyusul terbitnya UU No 2/2020, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, pihaknya tetap akan mengikuti sidang dengan agenda mendengarkan penjelasan dari DPR dan Presiden. Namun, kemungkinan sidang itu hanya akan berlangsung singkat karena pihak presiden dan DPR hanya akan menjelaskan bahwa perppu sudah menjadi undang-undang lengkap dengan bukti nomor lembar negara.
Meskipun demikian, MAKI dan kawan kawan juga sudah menyiapkan langkah hukum lain, yaitu mengajukan gugatan baru dengan memasukkan nomor undang-undang dan nomor lembaran negaranya.
”Kami akan langsung mendaftarkan gugatan baru sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu. Kami sudah siap dengan draftnya,” kata Boyamin.
MAKI juga sudah menyiapkan saksi ahli hukum dan ahli ekonomi keuangan dalam gugatan barunya. Mereka di antaranya ahli hukum pidana internasional Romli Atmasasmita, ahli ekonomi dan keuangan negara Anthony Budiawan, ahli hukum perdata Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Edy Lisdiono, dosen tata negara Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Mahfudz Ali, ahli hukum pidana khusus Hery Firmansyah, dan ahli keuangan Deni Daruri.
Saksi itu diharapkan menguatkan argumen gugatan MAKI dan kawan-kawan yang menentang berlakunya Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3) UU No 2/2020. Pasal tersebut memberikan imunitas hukum bagi pejabat negara yang mengeluarkan kebijakan penanganan Covid-19. Adanya kekebalan hukum itu dikhawatirkan membuat pejabat sembrono dan ceroboh.
”Kami ingin pejabat lebih berhati-hati, teliti, dan tidak korupsi dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Sehingga kami meminta agar pasal kekebalan pejabat yang tertuang dalam pasal 27 UU No 2/2020 dibatalkan,” kata Boyamin.
Tidak masalah jika memang sudah diundangkan dan mendapat nomor lembar negara. Kami akan ajukan gugatan baru UU tentang Penetapan Perppu”
Hal senada diungkapkan Tim Kuasa Hukum Din Syamsuddin dkk, Syaeful Bahri. Jika Undang-Undang Penetapan Perppu No 1/2020 sudah diundangkan dan mendapatkan nomor lembar negara, ujar Syaeful, MK akan membuat putusan atau ketetapan yang mengatakan perkara batal demi hukum karena kehilangan obyek gugatan. Setelah itu, pihaknya akan mengajukan gugatan baru, yaitu uji materi UU No 2/2020 tentang Penetapan Perppu.
Baca juga: Menkumham: Pelaksana Perppu No 1/2020 Tidak Kebal Hukum
”Tidak masalah jika memang sudah diundangkan dan mendapat nomor lembar negara. Kami akan ajukan gugatan baru Undang-Undang tentang Penetapan Perppu,” ujar Syaeful.
Dalam gugatan baru itu, pihaknya juga sudah menyiapkan sejumlah saksi ahli dari bidang hukum, ekonomi, dan politik sebagai saksi ahli. Saksi di bidang hukum akan dihadirkan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Sementara saksi di bidang ekonomi adalah mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Irsyanuddin Noor, dan mantan Menteri Ekuein Kwik Kian Gie. Saksi di bidang politik adalah Chusnul Mar’iyah dari Universitas Indonesia dan ahli lain yang sedang dikonfirmasi.