"Kejar Setoran" di Kala Pandemi
Unjuk rasa akhir September 2019 bisa jadi sudah dilupakan pembentuk undang-undang. RUU Minerba, satu dari sejumlah RUU kontroversial yang ditolak publik kala itu, begitu mudah disahkan. Kritik publik diabaikan.
Unjuk rasa besar-besaran akhir September 2019 bisa jadi sudah dilupakan pembentuk undang-undang. RUU Minerba, satu dari sejumlah RUU kontroversial yang ditolak publik kala itu, begitu mudah disahkan. Lagi-lagi, mengabaikan kritik publik.
Di pengujung masa persidangan ketiga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019-2020, 12 Mei lalu, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) disahkan menjadi UU. RUU itu merupakan satu dari sejumlah RUU yang urung disahkan pemerintah bersama DPR periode 2014-2019.
Unjuk rasa besar-besaran di daerah-daerah, akhir September 2019, mengurungkan niat itu. Unjuk rasa yang memakan korban itu menolak pengesahan RUU Minerba dan sejumlah RUU lain yang dinilai bermasalah menjadi UU. RUU lain yang dimaksud antara lain adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Pemasyarakatan.
Melihat penolakan publik tersebut, Presiden Joko Widodo dan DPR memutuskan menunda pengesahannya. Selanjutnya, menjelang akhir masa jabatan DPR 2014-2019, DPR dan pemerintah menyepakati sejumlah RUU kontroversial itu dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah dan DPR 2019-2024.
Untuk melegalkan ini, DPR dan pemerintah sampai merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini karena mekanisme lanjutan (carry over) tak diatur dalam UU itu. Yang berlaku sebelumnya, ketika ada produk RUU yang tidak tuntas dalam satu periode DPR, RUU itu tak bisa begitu saja dilanjutkan pembahasannya ke DPR periode berikutnya. Alhasil, pembahasan harus mulai dari nol lagi. Begitu pula mekanisme pembahasannya, mengulang dari awal.
Baca juga: Plus Minus Rapat Virtual DPR
Selanjutnya, ketika DPR periode 2019- 2024 mulai menjabat, kelanjutan pembahasan empat RUU carry over langsung menjadi perhatian. Namun, RUU Minerba yang tercepat pembahasan hingga pengesahannya di antara RUU lain yang di-carry over. RUU lainnya, seperti RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, hingga kini belum tampak dibahas kembali oleh DPR dan pemerintah.
Awalnya, Rapat Paripurna DPR menugasi Komisi VII DPR untuk membahas RUU Minerba dalam rapat paripurna, 22 Januari 2020. Kemudian, mulai Februari 2020, Panitia Kerja RUU Minerba mulai bekerja membahas RUU bersama pemerintah. Selanjutnya, diambil keputusan tingkat pertama pada 11 Mei 2020. Sehari setelah itu, langsung disetujui disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Demokrat menolak
Persetujuan pengesahan RUU Minerba menjadi UU ini sempat diwarnai penolakan dari Fraksi Partai Demokrat DPR. Namun, suara fraksi itu tak menghalangi pengesahan karena delapan fraksi lainnya di DPR menyetujui pengesahan.
Anggota DPR, yang juga Ketua Departemen Hukum dan HAM Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, sikap fraksinya itu diambil karena pembahasan RUU tidak memenuhi Pasal 88 UU No 12/2011. Pasal itu mensyaratkan partisipasi publik seluas-luasnya dalam penyusunan setiap RUU.
Ruang partisipasi publik itu dinilainya kian terbatas karena saat ini publik sedang fokus menghadapi pandemi Covid-19. Dengan pembahasan yang minim partisipasi publik, dan terkesan ”kejar setoran” karena disahkan di tengah pandemi, ia menilai dampaknya tidak hanya pada kualitas UU, tetapi juga bisa saja ada ”penumpang gelap” di balik RUU tersebut.
”Tanpa keterlibatan rakyat secara utuh, untuk siapa sebenarnya RUU Minerba disahkan, untuk rakyat atau pemilik modal?” tanya Didik.
Minimnya partisipasi publik pun dilihat sejumlah kelompok masyarakat sipil.
”Dalam pembahasannya sejak RUU ini ditunda, tidak ada pelibatan publik secara luas. Pembahasan hanya oleh pemerintah dan DPR secara tertutup. Padahal, ada banyak pihak yang semestinya dilibatkan, seperti masyarakat adat, warga sekitar tambang, serta elemen masyarakat sipil lainnya,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyah yang dihubungi Sabtu (16/5/2020).
Ia pun menuding pembentuk undang-undang sengaja memanfaatkan situasi pandemi. Pasalnya, dengan RUU disahkan ketika masyarakat tengah fokus menghadapi Covid-19, tak akan lahir penolakan publik seperti terlihat pada akhir September 2019. ”Padahal, masalah pokok di UU ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, dan berdampak pada lingkungan. Proses seperti ini nirmoral dan tidak etis,” katanya.
Baca juga: Pengesahan RUU Minerba Mendapat Sorotan
Merah lantas menyebutkan sejumlah norma di UU Minerba yang dinilainya lebih menguntungkan pengusaha tambang besar daripada kepentingan rakyat.
Hal itu di antaranya soal perpanjangan izin usaha tambang tanpa melalui lelang yang diatur pada Pasal 169A dan Pasal 169B. Norma itu memungkinkan perusahaan tambang pemegang kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bisa mendapatkan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Sejak 2015
Namun, tudingan-tudingan itu dipatahkan DPR. Menurut Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, pembahasan RUU Minerba yang diinisiasi DPR telah menempuh jalan panjang sejak 2015.
”DPR 2014-2019 telah memulai pembahasan RUU ini. Komisi VII DPR saat itu juga telah melakukan beberapa kali uji publik ataupun rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan publik,” katanya.
Jadi, ia membantah jika pembahasan disebutkan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. ”Ada fakta obyektif pembahasan dilakukan dalam waktu yang panjang,” katanya.
Sugeng pun menampik anggapan DPR tidak berempati dengan kesulitan publik ketika berkukuh membahas RUU kontroversial di tengah pandemi.
”Kalau sekarang dinilai tidak empati dengan kondisi Covid-19, atau memaksakan diri, itu karena kami harus tetap bekerja, bekerja, dan bekerja. Justru kalau kami tidak bekerja, itu makan gaji buta,” katanya.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar, Maman Abdurrahman, menambahkan, substansi UU Minerba justru pro dengan kepentingan nasional. Alasannya, ketentuan Pasal 112 mewajibkan perusahaan asing melakukan divestasi saham 51 persen secara bertahap.
Adapun perpanjangan izin untuk PKP2B guna menjamin ketersediaan bahan bakar bagi energi listrik nasional di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Kebijakan itu diklaimnya dapat menghindarkan impor bahan bakar bagi energi listrik.
Baca juga: Fasilitas DPR dan Solidaritas Sosial
Tidak transparan
Menurut pengajar ilmu politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, ada pelajaran yang sesungguhnya bisa dipetik pembentuk undang-undang dari pembahasan RUU Minerba.
Pelajaran yang paling utama adalah membuka partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembahasan RUU. Sekalipun RUU tersebut merupakan ”warisan” DPR periode sebelumnya, ruang publik memberikan masukan harus dibuka kembali.
Terlebih lagi, pada periode yang lalu, RUU memicu unjuk rasa besar-besaran, dan resistensi itu pun akibat minimnya ruang publik berpartisipasi.
Pentingnya membuka kembali ruang partisipasi publik dalam setiap pembahasan RUU carry over itu penting untuk ditegaskan DPR. Sebab, bukan hanya RUU Minerba, sejumlah RUU limpahan DPR periode sebelumnya, yaitu RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, termasuk RUU yang ditolak publik, akhir September 2019.
”Jangan sampai mekanisme carry over menebalkan keyakinan publik kalau DPR ingin ngebut membahas RUU karena sedang pandemi,” kata Adi.