Masyarakat Diajak Ramai-ramai Tolak Pengesahan RUU Pemasyarakatan
Substansi yang ada dalam RUU Pemasyarakatan dinilai tidak akan menjawab permasalahan penjara di Indonesia. RUU tersebut justru akan melayani narapidana pidana khusus seperti koruptor, bandar narkoba, dan terorisme.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada saat masyarakat berperang melawan pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah justru dinilai memproses legislasi secara senyap. Setelah RUU Mineral dan Batu Bara disahkan, sekarang DPR sedang mengupayakan agar RUU Pemasyarakatan segera disahkan.
Padahal, RUU itu dianggap mempermudah peluang bebas narapidana pidana khusus terutama koruptor. Oleh karena itu, elemen masyarakat sipil mengajak masyarakat bersama-sama menolak pengesahan RUU tersebut.
Dalam rapat di Komisi III DPR Senin (11/5/2020), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly diminta segera menyelesaikan RUU Pemasyarakatan. Permintaan Komisi III DPR itu disampaikan saat rapat Bersama Direktur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Inspektur Jenderal Reinhard Silitonga. RUU tersebut sebelumnya sudah disetujui di pembahasan tingkat pertama oleh DPR periode 2014-2019. Namun, karena masifnya penolakan publik pada September 2019, RUU urung disahkan, (Kompas, 12/5/2020).
Substansi yang ada dalam RUU Pemasyarakatan dinilai tidak akan menjawab permasalahan penjara di Indonesia. RUU itu justru akan melayani narapidana tindak pidana khusus, seperti koruptor, bandar narkoba, dan terorisme.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif dalam diskusi ”Urgensi RUU Pemasyarakatan di Tengah Pandemi Covid-19” yang diadakan Indonesia Corruption Watch, Minggu (17/5/2020), mengatakan, ada 10 substansi yang dibahas dalam RUU Permasyarakatan. Namun, satu yang paling menonjol adalah mempermudah pembebasan bersyarat (PB) terhadap narapidana kejahatan luar biasa.
Menurut dia, RUU Pemasyarakatan secara otomatis akan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Substansi yang ada dalam RUU Pemasyarakatan dinilai tidak akan menjawab permasalahan penjara di Indonesia. RUU itu justru akan melayani narapidana tindak pidana khusus seperti koruptor, bandar narkoba, dan terorisme.
”Kalau dilihat substansinya memang tidak akan mengatasi permasalahan penjara di Indonesia. RUU justru akan melayani koruptor,” kata Laode.
Menurut Laode, permasalahan penjara di Indonesia itu adalah narapidana tinggal terlalu lama di penjara (overstay), kelebihan kapasitas, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten, rendahnya disiplin dan perilaku korup pegawai. Narapidana yang tinggal terlalu lama di penjara, misalnya, alasannya karena putusan pengadilan belum diterima. Hal ini seharusnya bisa diselesaikan dengan memperbaiki sistem administrasi dan informasi di peradilan.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menambahkan, tujuan dari RUU ini sebenarnya membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012. RUU ini hanya akan membuka ruang obral remisi pelaku kejahatan luar biasa. Di PP 99/2012 diatur pembebasan narapidana kejahatan luar biasa harus berstatus justice collaborator, yakni pelaku kejahatan yangbekerja sama dengan penegak hukum untuk bisa mendapatkan hak remisi, asimilasi, ataupun pembebasan bersyarat.
”Setelah revisi UU KPK disahkan, ini akan menyempurnakan serangan terhadap upaya pemberantasan korupsi kita,” kata Denny.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Era Purnamasari juga sependapat dengan Laode. Menurut dia, substansi RUU Pemasyarakatan tidak menjawab permasalahan penjara di Indonesia. Jika permasalahannya adalah kapasitas penjara kelebihan penghuni, seharusnya pemerintah merevisi KUHP dan KUHAP. Dalam dua UU itu, seharusnya ada pengaturan terkait alternatif penahanan pada kasus-kasus ringan dan kasus yang tidak berdampak pada korban.
”Ketika penjara di Indonesia over kapasitas, artinya banyak terjadi kejahatan di Indonesia. Apakah solusinya? Pemerintah dan DPR seharusnya melihat hal ini dari hulu,” kata Era.
RUU Pemasyarakatan juga dinilai tidak memenuhi syarat kemendesakan karena UU yang ada masih memadai. Di luar itu, untuk persoalan kasus pidana anak sudah diatur dalam UU 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Menggalang dukungan
Inisiator petisi penolakan RUU Pemasyarakatan Korneles Materay mengatakan, satu per satu RUU yang ditolak masyarakat disahkan menjadi UU oleh DPR. Terakhir, UU Minerba yang menguntungkan pengusaha tambang disahkan secara diam-diam oleh DPR.
Oleh karena itu, dia meminta masyarakat untuk bersama-sama menolak pengesahan RUU Pemasyarakatan ini. Sebab, RUU tersebut hanya akan kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. RUU KPK yang ditolak masif oleh masyarakat sudah lolos dan disahkan. Kini, dia berharap masyarakat bersatu padu agar RUU ini tidak Kembali lolos di DPR.
”Saya membuat petisi di laman Change.org untuk bersama-sama menggalang dukungan agar masyarakat beramai-ramai menolak RUU Pemasyarakatan,” ujar Korneles.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menambahkan, Presiden Joko Widodo seharusnya tidak diam menyikapi penolakan RUU itu di masyarakat. Jangan sampai kesalahan saat pengesahan revisi UU KPK Kembali terjadi di tengah masyarakat yang sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Jika RUU ini tetap disahkan, dia yakin Mahkamah Konstitusi akan dibanjiri uji material dan uji formil UU. Sebab, menurut dia, selama ini banyak kebijakan legislasi yang justru membawa ekses negatif terhadap perlindungan hukum di Indonesia.
”Presiden pada saat ada wacana pembebasan narapidana usia 60 tahun dan koruptor kemarin secara tegas mengatakan penolakan pembebasan koruptor. Jika memang komitmen beliau ingin memberantas korupsi seharusnya menarik pembahasan RUU ini,” kata Kurnia.
Apalagi, menurut data ICW, 70 persen hukuman koruptor di Indonesia adalah vonis ringan 0-4 tahun. Koruptor di Indonesia belum mendapatkan hukuman ideal yaitu pemidanaan penjara maksimal. Hak politik koruptor pun sering kali tidak dicabut meskipun melakukan korupsi dengan kerugian negara yang besar.
Dengan adanya RUU yang akan mempermudah pembebasan bersyarat, kata dia, koruptor benar-benar akan diuntungkan. Alih-alih membuat RUU Pemasyarakatan, DPR seharusnya memperkuat komitmen pemberantasan korupsi dengan merevisi UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perampasan Aset yang pembahasannya terkatung-katung di DPR.