BNN Ingatkan Ada 132 Terpidana Mati yang Menunggu Eksekusi
Badan Narkotika Nasional (BNN) memandang pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana demi kepastian hukum, selain menimbulkan efek jera bagi pelaku lainnya.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Narkotika Nasional mengingatkan, saat ini ada 132 terpidana mati perkara peredaran gelap narkotika dan obat-obatan berbahaya di Indonesia. Hukuman untuk mereka sebagian besar sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan tinggal dieksekusi.
Berbicara dengan pimpinan media massa, di Jakarta, dalam pertemuan secara dalam jaringan, Kamis (14/5/2020), Kepala BNN Heru Winarko menuturkan, Indonesia sampai kini masih menerapkan hukuman mati, termasuk bagi pelaku peredaran gelap narkoba. Bahkan, ada terpidana kasus peredaran gelap (bandar) narkoba yang dijatuhi hukuman mati lebih dari sekali. Tak sedikit pula terpidana mati mengulangi perbuatannya, tetap menjadi bandar narkoba dari dalam penjara.
Deputi Bidang Pemberantasan BNN Arman Depari menambahkan, pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana juga untuk kepastian hukum, selain menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku lainnya. ”Justru tak manusiawi jika eksekusi itu dilakukan, misalnya, setelah 10 tahun terpidana itu di LP (lembaga pemasyarakatan),” katanya.
Dalam pertemuan itu, Heru didampingi Arman, Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN Dunan Ismail Isja, serta Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono. Pertemuan itu digelar dalam rangka sosialisasi pelaksanaan rencana aksi nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) 2020- 2024.
Heru mengakui, sampai kini pelaksanaan hukuman mati selalu menimbulkan perdebatan di Indonesia. Apalagi, sejumlah negara telah menghapus pidana mati dalam sistem hukumnya. Efek jera yang ditimbulkan dari pidana mati itu juga dipertanyakan. Namun, sistem hukum di negeri ini, termasuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, masih mengatur adanya sanksi mati bagi bandar narkoba.
Mereka yang menolak pelaksanaan hukuman mati, kata Heru, selalu mengaitkan dengan hak asasi manusia pelaku. ”Semestinya lihat juga hak asasi dari korbannya dan masyarakat lebih luas,” kata Kepala BNN. Ia pun menyebutkan, peredaran gelap narkoba tak hanya mengancam individu, tetapi juga negara.
Menurut Heru, saat ini kerja sama antarnegara untuk memberantas peredaran gelap narkoba sangatlah erat. Pemerintah di sejumlah negara menyadari besarnya ancaman narkoba untuk negara dan generasinya.
Eksekusi mati di Indonesia terakhir kali dilakukan pada Juli 2017 terhadap empat terpidana kasus narkoba. Sampai akhir 2019, sekurang-kurangnya 274 narapidana mati menunggu eksekusi di negeri ini. Mereka sebagian besar terlibat kasus narkoba.
Napi narkoba, kata Arman, sebagian berada di LP khusus di Nusakambangan, Jawa Tengah, dengan pengawasan yang ketat. Mereka diharapkan tak bisa lagi melakukan transaksi narkoba di penjara. Penataan LP juga harus terus dilakukan agar tidak lagi menjadi tempat pengendalian peredaran narkoba.
Heru menjelaskan pula, mayoritas penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sekitar 63 persen, adalah pemakai ganja. BNN tetap memasukkan ganja menjadi bahan terlarang sekalipun ada permintaan melegalkannya, seperti dilakukan sejumlah negara di Eropa.
Ganja secara terbatas selama ini juga dipergunakan untuk penelitian/pengobatan.