Sudah 22 tahun berlalu sejak kerusuhan pecah pada Mei 1998. Namun, hingga kini, tabir kerusuhan tak juga tersingkap. Janji keadilan masih sebatas janji, ibarat menantikan lakon Godot.
Oleh
INGKI RINALDI/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JULIAN SIHOMBING
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak dipukuli pasukan antihuru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur, di depan Kampus Trisakti, Grogol, pada 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut beberapa mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun, hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti tersebut masih belum terungkap.
Gelombang kerusuhan di Jakarta, Kamis (14/5/ 1998), memasuki hari kedua, diwarnai perusakan, pembakaran, serta penjarahan dan perampokan di sentra-sentra perdagangan di seluruh wilayah Jakarta. Langit Jakarta diselimuti kabut hitam akibat pembakaran ratusan gedung, pasar, toko, mobil, dan sepeda motor.
Demikian teras berita halaman utama Kompas edisi Jumat (15/5/1998), menggambarkan kerusuhan yang pecah sejak 12 Mei 1998. Massa mahasiswa dan kelompok prodemokrasi yang menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden disertai kerusuhan di banyak wilayah di Jakarta.
Kerusuhan merenggut nyawa lebih dari 258 orang dan 101 korban luka-luka. Aksi penjarahan, pembakaran gedung-gedung, kendaraan, dan lain sebagainya menelan kerugian fisik hingga Rp 2,5 triliun, seperti diberitakan di halaman pertama Kompas, Senin (18/5/1998).
Tak sebatas penjarahan dan perusakan, kerusuhan berkembang menjadi berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Etnis Tionghoa menjadi sasaran massa. Dalam kerusuhan itu pula, banyak perempuan mengalami kekerasan seksual.
KOMPAS/JOHNNY TG
Kerusuhan di kawasan Pasar Baru, Jakarta, 14 Mei 1998.
Pelanggaran HAM berat
Pasca-kerusuhan, hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 mengafirmasi adanya pelanggaran hak asasi manusia berat saat kerusuhan Mei 1998. TGPF ini terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kejaksaan Agung, dan beberapa organisasi masyarakat sipil.
”Pelanggaran HAM berat jelas terjadi; terang benderang dan sistematis. Jelas rekonstruksi peristiwa dan korbannya, termasuk model kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, hingga dugaan para pelakunya,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Rabu (13/5/2020).
Dalam jumpa pers sejumlah tokoh untuk memperingati tragedi Mei 1998, Rabu, komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Andy Yentriyani, juga mengafirmasi kekerasan seksual yang dialami banyak perempuan saat kerusuhan.
”Kekerasan seksual itu terjadi, dikonfirmasi betul,” ujarnya.
TGPF, menurut dia, berhasil memverifikasi 85 korban kekerasan seksual. Sebanyak 52 orang di antaranya korban pemerkosaan.
Hanya problemnya, hingga saat ini, belum ada korban yang berani bersuara di permukaan. Korban disebut Andy masih trauma. Terlebih setelah melihat tidak terlihat keseriusan dari pemerintah dan aparat yang berwenang untuk mengusut tragedi yang terjadi 22 tahun silam tersebut.
Berita utama Harian Kompas tanggal 18 Mei 1998 berjudul "Kerusuhan di Jakarta, Kerugian Fisik Rp 2,5 Triliun".
Tiga kelompok
Berdasarkan buku berjudul Seri Dokumen Kunci: Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang diterbitkan Publikasi Komnas Perempuan (2006), disebutkan, ada tiga kelompok pelaku kerusuhan Mei.
Pertama, kelompok provokator yang menggunakan sepeda motor atau mobil serta sarana komunikasi berupa telepon genggam atau handy talkie. Di antaranya, ditemukan fakta keterlibatan personel aparat keamanan.
Kemudian, kelompok massa aktif, dalam jumlah puluhan hingga ratusan orang yang mulanya pasif lalu terprovokasi sehingga menjadi agresif. Massa ini melakukan penjarahan pada toko-toko dan rumah. Mereka bergerak secara terorganisasi.
Terakhir, kelompok massa pasif, yang awalnya sekadar menonton kerusuhan tetapi lantas ikut merusak dan menjarah.
Menurut Beka, siapa pun yang memiliki kewenangan pada saat itu harus diadili. Ini termasuk komandan di lapangan ataupun atasannya yang memiliki kewenangan operasi.
Sukarelawan dan aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-600 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Aksi yang digelar setiap Kamis itu untuk mengingatkan pemerintah agar menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ibarat godot
Namun, hingga 22 tahun tragedi berlalu, belum ada tanda-tanda peristiwa itu akan diungkap dan dituntaskan. Janji penyelesaian yang sering diutarakan dari presiden ke presiden masih sebatas janji.
Keadilan, khususnya bagi korban dan keluarga korban, pun bak lakon menunggu godot yang ditulis Samuel Beckett pada 1953. Seperti diketahui, godot sebagai sosok sentral dalam naskah drama Beckett, tak pernah muncul sepanjang cerita.
Beka menekankan, pengungkapan dan membawa para pelaku ke meja hijau penting untuk memberikan rasa keadilan, terutama bagi korban dan keluarga korban. Saat ini, kata Beka, banyak sekali korban terpaksa ”berdamai” karena susah sekali mendapatkan keadilan.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid melihat, sejak hasil investigasi TGPF atas tragedi Mei keluar pada era pemerintahan Presiden ke-3 RI BJ Habibie (1998-1999), pemerintah memang tidak berniat menyelesaikan kasus itu. Pasalnya, tidak ada satu pun kebijakan yang dibuat untuk menindaklanjuti hasil investigasi TGPF.
”Itu artinya kekuasaan negara masih dalam mentalitas yang sama. Menganggap dirinya benar dan tidak merasa ada yang harus dikoreksi dari tragedi itu,” ujar Usman.
Tak terkecuali pada era pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat ini. Ini sekalipun janji penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan salah satu janji kampanye Jokowi, baik saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 maupun Pilpres 2019.
Usman Hamid pun semakin pesimistis kasus Mei akan terungkap setelah dua tokoh militer saat kerusuhan terjadi, Wiranto dan Prabowo Subianto, berada dalam lingkaran kekuasaan.
Menganggap remeh
Ditambah lagi, sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang terkesan menganggap remeh kasus-kasus HAM berat masa lalu. Padahal, dalam mengungkap kasus-kasus itu, peran Jaksa Agung sangat penting. Sebab, dialah yang bisa menyeret para terduga pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan.
Kesan bahwa Jaksa Agung tak berkomitmen menyelesaikan kasus HAM masa lalu muncul akibat pernyataannya saat rapat dengan Komisi III DPR, pertengahan Januari lalu. Saat itu, ia menyebut, peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, dan Semanggi II, 24 September 1999, tak termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, Komnas HAM telah menyatakan sebaliknya, dengan didasarkan pada penyelidikan yang telah mereka lakukan.
Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan yang tewas dalam Tragedi Semanggi I menyerahkan buku memori catatan 12 tahun Aksi Kamisan kepada Presiden Joko Widodo yang diterima petugas pengamanan dalam (pamdal) di Kompleks Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Pada Selasa (12/5/2020), Maria dan keluarga korban Semanggi I dan II menggugat Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Akibat pernyataan Jaksa Agung itu, sejumlah keluarga korban Semanggi I dan II menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (12/5/2020).
”Gugatan itu jadi peringatan kepada Jaksa Agung agar lebih hati-hati menyikapi persoalan HAM. Jangan menganggap enteng persoalan HAM dengan pernyataan-pernyataan seperti itu,” kata komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab.
Jalan memang kian terjal untuk menuntaskan kasus Kerusuhan Mei 1998 dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya. Akankah pengungkapan kasus-kasus itu seperti menantikan kedatangan godot? Mudah-mudahan tidak.