Kelanjutan Uji Materi Perppu 1/2020 Dibahas di RPH MK
Rapat Permusyawaratan Hakim Mahkamah Konstitusi akan menentukan kelanjutan perkara uji materi Perppu No 1/2020 yang sudah disetujui DPR menjadi UU pada 12 Mei lalu.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan sidang pemeriksaan perkara uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 akan ditentukan di rapat permusyawaratan hakim Mahkamah Konstitusi. Para pemohon berharap MK dapat membuat keputusan secara cepat sehingga mereka mendapat kepastian tahapan persidangan.
Sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan perkara uji materi Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara dalam Penanganan Covid-19 dilaksanakan di MK, Kamis (14/5/2020). Dua dari tiga pemohon hadir dan melanjutkan proses pemeriksaan. Adapun pemohon perkara nomor 25/PUU-XVIII/2020 atas nama Damai Hari Lubis mencabut permohonannya. Alasannya, perppu sudah ditetapkan menjadi UU di DPR pada Selasa (12/5/2020) lalu.
Dua pemohon yang melanjutkan pemeriksaan perkara adalah pemohon atas nama Dien Syamsuddin dkk serta Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dkk. Kedua pemohon memperbaiki permohonan sesuai dengan permintaan dari majelis panel. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan sebelumnya, majelis panel meminta para pemohon mempertajam dalil kerugian konstitusional yang diderita atas berlakunya Perppu 1/2020. Majelis juga meminta para pemohon melengkapi dalil mereka dengan perbandingan penanganan Covid-19 di negara lain.
Ketua majelis panel Aswanto mengatakan, hasil sidang perbaikan permohonan akan dilaporkan secepatnya kepada RPH. Menurut dia, melihat perkembangan terkini Perppu, RPH sudah mengagendakan rapat untuk membahas perkara tersebut. Nantinya, keputusan RPH akan disampaikan oleh bagian kepaniteraan kepada para pemohon.
Anggota tim kuasa hukum Din Syamsuddin, Ahmad Yani, mengatakan, perkara tersebut harus segera diputuskan secara singkat dan cepat karena perppu sudah disetujui DPR menjadi undang-undang. Sesuai ketentuan perundangan, ada waktu 30 hari untuk administrasi dan penomoran UU hingga berkekuatan hukum mengikat.
”Kami berharap betul hakim panel menjadikan perkara ini prioritas karena masalah hajat hidup orang banyak dan menyangkut ketatanegaraan kita,” kata Ahmad Yani.
Kami berharap betul hakim panel menjadikan perkara ini prioritas karena masalah hajat hidup orang banyak dan menyangkut ketatanegaraan kita.
Namun, Ketua Majelis Panel mengatakan bahwa panel tidak memiliki kewenangan menjawab itu dan akan disampaikan kepada RPH.
Tim kuasa hukum Dien Syamsuddin dkk, Ibnu Sina Chandranegara, di dalam persidangan mengatakan, pihaknya sudah memperbaiki permohonan sesuai dengan permintaan majelis panel. Kedudukan hukum pemohon misalnya dipertajam menjadi warga negara yang terdampak kebijakan kedaruratan kesehatan dan berpotensi tertular Covid-19. Selain itu, para pemohon juga merupakan warga negara yang terdampak instrumen hukum yang dikeluarkan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
”Kedudukan hukum para pemohon adalah mereka memiliki hak konstitusional kesehatan dan berkepentingan atas kebijakan kesehatan publik yang terancam seperti saat terjadi kasus pengujian UU vaksinasi cacar di Amerika tahun 1905,” kata Ibnu.
Kedudukan hukum para pemohon adalah mereka memiliki hak konstitusional kesehatan dan berkepentingan atas kebijakan kesehatan publik yang terancam seperti saat terjadi kasus pengujian UU vaksinasi cacar di Amerika tahun 1905.
Selain itu, pemohon juga melengkapi berkas permohonannya dengan komparasi penanganan Covid-19 di beberapa negara yang dianggap berhasil menangani Covid-19. Sejumlah negara yang dijadikan perbandingan adalah Taiwan, Jerman, Kanada, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Pemohon membandingkan instrumen hukum darurat serta kebijakan fiskal yang diambil di negara-negara tersebut dalam penanganan Covid-19.
Di Taiwan, misalnya, selama pandemi Covid-19 tidak dikeluarkan kebijakan hukum darurat seperti perppu. Sebab, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Taiwan yang mengatakan bahwa hukum darurat hanya dikeluarkan dalam konteks negara harus menyelesaikan sontak segera tanpa butuh peraturan teknis. Di Korea Selatan juga tidak dikeluarkan perppu karena mereka sudah memiliki UU Pengendalian Penyakit Menular, UU Kekarantinaan, UU Kesehatan Masyarakat Daerah, dan UU Pencegahan AIDS yang digunakan dalam menanggulangi Covid-19. Konstitusi di Korsel juga mengenal aturan keadaan darurat keuangan dan darurat sipil. Sementara di Kanada, urung dikeluarkan hukum darurat keuangan karena ada resistansi tinggi dari parlemen.
”Kami juga melihat ada pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait dengan perbaikan sistem penganggaran penanganan Covid-19. Di situ disebutkan bahwa budget negara harus disesuaikan secara fleksibel dan akuntabel,” kata Ibnu Sina.
Selain itu, pemohon juga menegaskan dalil permohonan yang terkait dengan keuangan negara. APBN bersifat periodik, bersifat UU, dan membutuhkan persetujuan DPR. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa imunitas lembaga negara yang tidak bisa dituntut secara hukum juga dinilai tidak adil dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Sementara itu, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, pihaknya juga sudah memperbaiki permohonan sesuai nasihat hakim. Sejumlah dalil permohonan dan hal yang dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan diubah. Menurut dia, sejak awal, MAKI tidak sepakat dengan pasal 27 Perppu 1/2020 yang memberikan imunitas kepada lembaga keuangan negara saat penanganan Covid-19. Pasal tersebut dinilai berpotensi mengulang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan skandal Bank Century.
”Perppu ini menjadi keadilan bagi pejabat, bukan rakyat. Ini adalah aturan penyelamatan bank, bukan penyelamatan bangsa,” kata Boyamin.
Selain itu, MAKI juga melakukan komparasi instrumen hukum yang digunakan di Malaysia dan Filipina dalam penanganan Covid-19. Di Malaysia dan Filipina tidak ada kebijakan darurat keuangan. Filipina justru menggunakan ancaman darurat militer.