DPR Wajib Kawal Aturan Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme
Dalam draf peraturan presiden yang mengatur peran TNI dalam mengatasi terorisme, banyak substansi yang dinilai bermasalah. Karena itu, DPR wajib mengkritisi substansi perpres itu sebelum diundangkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat wajib mengawal substansi rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Hal itu penting untuk mencegah substansi regulasi tersebut tak bertentangan dengan undang-undang di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pembentukan peraturan presiden soal peran TNI dalam pemberantasan terorisme sebagai aturan turunan dari Undang-Undang No 5/2018 juga diamanatkan untuk dikonsultasikan terlebih dulu dengan DPR. Penjelasan Pasal 43 Huruf I Ayat 3 UU No 5/2018 menyebutkan, ”Pembentukan Peraturan Presiden dalam ketentuan ini dilakukan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Charles Honoris, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/5/2020), mengatakan, draf perpres itu secara resmi belum diterima oleh Komisi I DPR.
Meski demikian, sudah ada surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly kepada DPR terkait dengan draf perpres itu. Surat tertanggal 5 Mei 2020. Surat ini belum dibacakan di dalam Rapat Paripurna DPR sehingga belum masuk pada tahap pembahasan di DPR.
Charles mengatakan, sebagai alat kelengkapan di DPR yang bermitra kerja dengan TNI, ada kemungkinan Komisi 1 DPR yang ditunjuk oleh pimpinan DPR membahas draf perpes itu. Namun, bisa juga draf perpres itu tidak hanya dikonsultasikan dengan Komisi I DPR, tetapi juga dengan komisi lain yang terkait, seperti Komisi III DPR yang membawahkan tema-tema penegakan hukum. Pemberantasan terorisme termasuk ke dalam ranah penegakan hukum.
”Atau, bisa juga konsultasi itu dilakukan antara pemerintah dan pimpinan DPR. Yang pasti, pembentukan draf perpres dalam pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini memang harus dilakukan konsultasi dengan DPR. Namun, bagaimana mekanisme itu dilakukan, belum diatur lebih lanjut karena surat dari Menkumham itu belum dibacakan di dalam rapat paripurna atau dibahas di dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus),” katanya.
Dengan peran konsultasi DPR yang diamanatkan UU No 5/2018, menurut Charles, ada kewajiban bagi DPR untuk mengawal substansi perrpes itu agar tidak bertentangan dengan UU lainnya, terutama UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU TNI.
Meski demikian, dari draf perpres yang beredar di masyarakat beberapa hari belakangan, menurut Charles, memang banyak isu dalam rancangan perpres yang harus didalami DPR.
”Kalau mengacu pada draf yang beredar di masyarakat, draf itu memang banyak masalah. Misalnya, adanya tumpang-tindih aturan, antara lain karena perpres itu bertentangan dengan aturan di atasnya. Padahal, perpres tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Demikian pula kewenangan TNI untuk menangani terorisme, hal itu secara prinsip dan umum bertentangan dengan Pasal 7 UU TNI,” katanya.
Charles mengatakan, UU TNI memang mengatur kemungkinan pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme. Pelibatan itu termasuk ke dalam operasi militer selain perang (OMSP). Namun, operasi semacam itu membutuhkan keputusan politik negara, yakni keputusan presiden bersama-sama dengan DPR. Adapun draf perpres tidak mengatur hal itu secara jelas, bahkan menggunakan beberapa terminologi yang tidak dikenal pada UU di atasnya.
”Ada beberapa terminologi yang menurut kami bisa menimbulkan kerancuan dan tidak sesuai tupoksi TNI. Misalnya, penangkalan pidana terorisme. Penangkalan ini apa, karena ini kosakata yang tidak dikenal di UU Terorisme dan UU TNI sehingga tidak jelas merujuk pada tindakan apa, atau definisinya apa,” ujarnya.
Secara prinsip, menurut Charles, TNI adalah institusi militer yang dilatih untuk perang. TNI tidak dilatih untuk melakukan upaya penegakan hukum, seperti penyelidikan, penyidikan, penyitaan barang bukti, dan penangkapan seperti diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ditambah lagi, sejak 2003, Indonesia telah sepakat mengatasi persoalan terorisme dengan pendekatan penegakan hukum. Oleh karena itu, pemberantasan terorisme dilakukan dalam kerangka penegakan hukum atau criminal justice system. Adapun pengaturan peran TNI dalam draf perpres dinilai tidak sesuai dengan pendekatan penegakan hukum. Sebab, TNI dimungkinkan melakukan operasi mandiri dalam mengatasi terorisme.
”Nama undang-undangnya pun jelas, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jadi semangatnya ialah pemberantasan terorisme dalam kerangka hukum pidana. Oleh karenanya, pendekatan yang dikedepankan ialah pendekatan penegakan hukum, bukan militer,” katanya.
Jika TNI dilibatkan tanpa pengaturan yang jelas, ia kembali menekankan, hal itu akan bertentangan dengan semangat penegakan hukum, sebab TNI bukan penegak hukum.
”Kalau misalnya ada teroris yang tertangkap, dan ada barang bukti yang disita, bagaimana itu bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana di KUHAP. Apakah hal itu bisa dilakukan benar? Sebab, jika tidak dilakukan dengan benar, barang bukti atau tindakan penangkapan itu berpotensi ditolak atau tidak dapat digunakan di pengadilan karena tidak diperoleh sebagaimana aturan hukum pidana,” katanya.
Di sisi lain, ada potensi pelanggaran HAM yang terjadi jika pendekatan militer digunakan untuk mengatasi tindak pidana terorisme. Sebab, pendekatan militer yang berorientasi perang berbeda dengan pendekatan penegakan hukum.
Kendati demikin, bukan berarti pelibatan TNI tidak dapat dilakukan dalam mengatasi terorisme. Menurut Charles, ada kondisi-kondisi tertentu pelibatan TNI dibutuhkan. Hanya saja, batasannya harus jelas.
Misalnya, ketika ada pembajakan pesawat atau kapal; serangan dan pembajakan kepada kantor kedutaan besar RI di negara lain; atau pemberantasan pelaku terorisme yang bersembunyi di hutan atau medan yang sangat berbahaya sehingga untuk mengatasi medan yang sulit itu diperlukan keahlian jelajah militer.
Dengan sejumlah persoalan di dalam draf perpres, Charles mengusulkan agar pemerintah menarik saja draf tersebut. Pemerintah bisa menyempurnakan draf itu sebelum dikonsultasikan kepada DPR. ”Urgensi untuk membahas atau mengesahkan perpres itu pun tidak sesuai dengan momentum saat ini di tengah semua pihak fokus dalam penanganan Covid-19,” katanya.
Sementara itu, menurut anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, pembahasan perpres bukan hanya menjadi kewenangan Komisi I sebab terorisme termasuk dalam ranah penegakan hukum yang juga menjadi kewenangan Komisi III DPR.
”Kita tidak mau kalau hanya Komisi I DPR. Ini, kan, soal penegakan hukum, mesti ada Komisi III DPR dalam pembahasannya,” katanya.
Tidak mendesak
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi melihat, tanpa adanya perpres itu, penegakan hukum dalam memberantas terorisme saat ini masih berjalan baik. Oleh karenanya, pembahasan draf perpres itu tidak mendesak.
”Membahas draf perpres ini tidak terlalu urgen dilakukan saat ini karena memang proses penegakan hukum masih bisa berjalan atau tidak terganggu dengan tidak adanya perpres ini. Justru munculnya perpres ini membuat publik bertanya-tanya, sebenarnya ada apa, dan mau ada apa kok muncul perpres seperti ini dalam momentum semua orang sedang menghadapi Covid-19,” katanya.
DPR, Khairul menekankan, harus mengingatkan pemerintah saat pembahasan perpres itu nantinya. Baik DPR maupun pemerintah adalah pembentuk UU sehingga sebaiknya tidak membiarkan ada peraturan turunan dari UU Terorisme yang justru bertentangan dengan UU induknya. ”Ini harus diingatkan oleh DPR. Perpres tidak boleh menyimpang dari UU induknya,” katanya.