MK tetap dapat melanjutkan pemeriksaan perkara pengujian Perppu No 1/2020 tanpa perlu menunggu permohonan baru. MK cukup dengan mengubah judul aturan yang diuji. Ini bisa dilakukan karena alasan ada kegentingan memaksa.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 disetujui DPR menjadi undang-undang, bola untuk menentukan konstitusionalitas ketentuan di dalam regulasi tersebut ada di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK dibutuhkan untuk meluruskan polemik sejumlah norma di dalam Perppu yang dipersoalkan publik.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, saat dihubungi, Rabu (13/5/2020), mengatakan, melihat situasi darurat seperti ini, MK diharapkan membuat putusan yang tidak hitam-putih. MK harus membuat berbagai catatan kondisional berlakunya UU Penetapan Perppu 1/2020. Catatan dari MK itu akan menjadi dasar untuk meluruskan polemik yang terjadi di masyarakat, terutama terkait pasal-pasal yang diuji materi seperti imunitas lembaga negara dalam kebijakan penanganan Covid-19.
Melihat situasi darurat seperti ini, MK diharapkan membuat putusan yang tidak hitam-putih. MK harus membuat berbagai catatan kondisional berlakunya UU Penetapan Perppu 1/2020.
Apalagi, proses persetujuan DPR tidak melalui tahapan deliberasi dan partisipasi publik. Hal itu lantaran status darurat kesehatan masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang mempersempit ruang gerak publik. Akibatnya, ada jarak lebar antara masyarakat dan aturan perundang-undangan.
”Solusinya ada di MK, sebab ini menyangkut keselamatan rakyat. Jangan sampai ada bias politik tertentu dalam keputusan MK,” ujar Jimly.
Pertimbangan MK akan sangat diperlukan mengingat setelah ditetapkan menjadi UU, perppu akan berlaku permanen. Memang, situasi krisis yang dihadapi Indonesia saat ini belum jelas kapan akan berakhir. Namun, jika pandemi Covid-19 itu sudah berakhir, apakah norma yang diatur dalam perppu tetap berlaku permanen? Hal ini perlu diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga keadilan konstitusi bagi masyarakat.
Setelah DPR menyetujui Perppu No 1/2020 menjadi undang-undang, Juru Bicara MK Fajar Laksono dalam beberapa kali kesempatan mengatakan bahwa pemeriksaan perkara uji materi Perppu tersebut tidak dapat dilanjutkan. Sebab, obyek perkaranya menjadi hilang.
Di zaman krisis seperti ini diperlukan kepemimpinan dan keadilan yang mencerahkan. Lebih baik utamakan substansi daripada sekadar urusan administrasi formalistik.
Namun, Jimly berpendapat lain. MK dapat terus melanjutkan pemeriksaan perkara. Sebab, meskipun secara formal administratif perppu telah berubah menjadi undang-undang, substansi yang diatur tetaplah sama.
MK, menurut dia, dapat membuat putusan di luar kelaziman, seperti permohonan uji materi tidak perlu diganti. Yang perlu diganti hanyalah judul gugatannya menjadi pengujian UU tentang Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU. Langkah ini dapat saja dilakukan dengan argumen adanya kegentingan memaksa.
”Di zaman krisis seperti ini diperlukan kepemimpinan dan keadilan yang mencerahkan. Lebih baik utamakan substansi daripada sekadar urusan administrasi formalistik,” imbuh Jimly.
Terkait dengan hal tersebut, Fajar Laksono mengatakan, MK masih berpedoman pada agenda yang sudah dijadwalkan, yaitu sidang perbaikan permohonan pada Kamis (14/5/2020). Setelah sidang perbaikan, majelis panel akan melapor kepada rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutuskan perkara akan diputus seperti apa dan kapan waktunya. Dalam perkara sebelumnya, saat perppu sudah ditetapkan menjadi UU, perkara kehilangan obyek. Dengan demikian, MK memberikan putusan permohonan uji materi tidak dapat diterima karena belum masuk pokok perkara. Namun, sebelum perkara tersebut dinyatakan kehilangan obyek, MK juga menunggu UU tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU diundangkan dan diberi nomor dan dimasukkan ke dalam lembar negara yang berlaku mengikat.
”Forum di DPR adalah forum persetujuan politik. UU itu berlaku setelah disahkan oleh presiden dan diundangkan,” kata Fajar Laksono.
Saat ini, MK tengah menangani perkara yang diajukan oleh tiga pemohon uji materi Perppu No 1/2020. Para pemohon tetap bisa mengajukan permohonan baru, yaitu gugatan uji materi penetapan perppu menjadi UU.
Masih ada sisa waktu 30 hari sejak perppu ditetapkan menjadi UU sebelum obyek perkara perppu hilang. Waktu yang singkat itu diharapkan menjadi pertimbangan kebijaksanaan MK untuk memutus perkara yang diajukan para pemohon.
Sementara itu, Syaiful Bahri, kuasa hukum pemohon dari pihak Dien Syamsuddin dkk, mengatakan, pihaknya tetap mengikuti jadwal agenda persidangan yang sudah ditetapkan di MK. Menurut dia, masih ada sisa waktu 30 hari sejak perppu ditetapkan menjadi UU sebelum obyek perkara perppu hilang. Waktu yang singkat itu diharapkan menjadi pertimbangan kebijaksanaan MK untuk memutus perkara yang diajukan para pemohon.
”Kami tetap ikuti agenda di MK dan berharap MK mengeluarkan kebijaksaan serta putusan yang cepat,” kata Saiful.
Namun, jika nantinya amar di MK menyatakan bahwa obyek perkara hilang, Saeful juga sudah menyiapkan langkah selanjutnya. Langkah itu adalah mengajukan permohonan baru untuk UU penetapan perppu.
Sementara itu, pemohon yang lain, koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, mengatakan, pihaknya akan mencabut gugatan terhadap perppu di MK dan segera mengajukan gugatan baru terhadap UU pengesahan perppu. Materi gugatan hampir sama, yaitu permohonan pembatalan Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3) UU Penetapan Perppu. Saat ini, MAKI tengah menyiapkan gugatan baru setebal 53 halaman untuk memperbarui gugatan sebelumnya. MAKI juga optimistis gugatan baru mereka akan dikabulkan oleh MK.
”Kami malah senang Perppu disahkan DPR karena akan lebih mantap untuk menggugatnya dan kami akan berhadapan dengan pemerintah dan DPR,” kata Boyamin.