Rancangan Perpres Pelibatan TNI Bisa Degradasi Peran BNPT
Mengacu UU Pemberantasan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) jadi lembaga yang mengoordinasikan penanggulangan terorisme. Muatan dalam rancangan perppres pelibatan TNI dapat mendegradasi hal itu.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Isi Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme berpotensi mendegradasi peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai koordinator dalam penanggulangan terorisme. Tak hanya itu, peran TNI berpotensi bertabrakan dengan peran Polri sebagai aparat penegak hukum.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, di Jakarta, Selasa (12/5/2020), mengatakan, kritik-kritik yang disampaikan oleh masyarakat sipil terkait rancangan peraturan presiden (perpres) tersebut patut diperhatikan oleh presiden.
Pertama, terkait dengan penangkalan terhadap aksi terorisme, menurut Arsul, perpres tersebut telah mendegradasi kedudukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga yang berada di depan (leading sector) dalam penanggulangan terorisme.
”Seharusnya, kalau pun TNI mau dilibatkan dalam tugas penangkalan yang pada hakikatnya adalah bagian dari tindakan pencegahan, peran TNI ditempatkan sebagai subordinasi BNPT, bukan berkoordinasi. Karena kalau berkoordinasi, menjadi tidak jelas lembaga mana yang menjadi leading sector dalam kegiatan yang masuk dalam cakupan pencegahan,” katanya.
Padahal, politik hukum pembentuk undang-undang (UU) yang dituangkan di dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ialah menjadikan BNPT sebagai terdepan dalam penanggulangan terorisme. Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, seperti diketahui, merupakan aturan turunan dari UU No 5/2018.
Kedua, menurut Arsul, kewenangan TNI untuk melakukan penindakan seperti tertuang di dalam draf perpres mendatangkan beberapa pertanyaan dari sisi politik hukum pemberantasan terorisme.
Sebab, draf perpres itu hanya menyatakan, TNI melakukan penindakan atas dasar instruksi presiden. Ketentuan ini menjadi tidak tegas, apakah instruksi presiden tersebut diberikan untuk kasus per kasus kejadian terorisme atau merupakan instruksi yang sifatnya umum (blanket instruction).
”Jika nanti merupakan blanket instruction, instruksi presiden itu menggeser pemahaman selama ini bahwa pengerahan TNI dalam rangka operasi militer selain perang itu dibuat untuk kejadian per kejadian,” katanya.
Lebih lanjut, menurut Arsul, sebaiknya presiden tidak terburu-buru menandatangani rancangan perpres tersebut sebelum hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat sipil itu diperhatikan, dan dijadikan masukan untuk perbaikan perpres.
Hingga hari ini, belum ada informasi yang diterima oleh Komisi I DPR terkait dengan rencana konsultasi draf perpres tersebut dengan DPR. Komisi I merupakan komisi di parlemen yang mitra kerjanya TNI.
Wakil Ketua Komisi I DPR Teuku Riefky Harsya pun mengatakan, draf perpres itu belum diterima oleh Komisi I DPR. Dengan demikian, Komisi I belum bisa bersikap terkait dengan draf perpres yang beredar.
Semangat reformasi
Dihubungi terpisah, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus dikembalikan kepada semangat awal pemisahan antara TNI dan Polri saat reformasi.
Saat itu, pemisahan dilakukan untuk memastikan sistem hukum pidana (criminal justice system) berlangsung lebih baik dengan peran kelembagaan polisi selaku penegak hukum yang terpisah dari TNI sebagai lembaga yang bertugas menjaga kedaulatan dan pertahanan negara.
”Oleh karena itu, kalau sekarang ada upaya pelibatan TNI dalam penegakan hukum, yakni pemberantasan terorisme, harus dibuat batasan yang tegas dalam hal apa tugas perbantuan itu dapat dilakukan. Jika tidak ada batasan, itu akan tidak sesuai dengan upaya menjaga sistem peradilan hukum pidana,” katanya.
Dari draf perpres yang beredar, menurut Khairul, TNI diberikan kewenangan yang luas untuk menangkal dan menindak terorisme. Di sisi lain, istilah ”penangkalan” tidak ditemukan di dalam UU No 5/2018. ”Penangkalan itu tidak diatur di dalam UU No 5/2018, lalu dari mana istilah itu muncul dari perpres tersebut,” katanya.
Pelibatan TNI dalam penegakan hukum juga tidak sesuai dengan KUHAP karena di KUHAP tidak diatur soal penyerahan tersangka kepada polisi oleh TNI. Di sisi lain, yang memiliki tugas penegakan hukum ialah polisi, bukan tentara. Pada kondisi tertentu, TNI bisa dilibatkan, tetapi harus diberikan batasan yang jelas di dalam perpres. Sayangnya, hal itu tidak dijelaskan di dalam perpres.
”Kalau batasan itu tidak diatur dengan jelas, nanti bisa ada tabrakan peran atau fungsi antara TNI dan Polri dalam penindakan terorisme di lapangan,” katanya.