Pelonggaran PSBB Belum Diputuskan
Presiden Jokowi mengingatkan agar pelonggaran PSBB dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Presiden menginstruksikan dilakukannya evaluasi tren penambahan kasus Covid-19 di tiap wilayah PSBB dan non-PSBB.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum memutuskan melakukan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Presiden Joko Widodo mengingatkan agar pelonggaran PSBB tak dilakukan dengan tergesa-gesa, harus melalui perhitungan yang cermat dan penuh kehati-hatian.
Peringatan itu disampaikan Presiden saat memberikan sambutan pengantar rapat terbatas (ratas) evaluasi PSBB yang dilakukan secara virtual, Selasa (12/5/2020).
”Mengenai pelonggaran untuk PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Semua didasarkan pada data-data dan pelaksanaan di lapangan sehingga keputusan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar. Hati-hati mengenai pelonggaran PSBB,” ujar Presiden yang memimpin ratas dari Istana Merdeka, Jakarta.
Mengenai pelonggaran untuk PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Semua didasarkan pada data-data dan pelaksanaan di lapangan sehingga keputusan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar. Hati-hati mengenai pelonggaran PSBB.
Kendati kasus positif Covid-19 terus mengalami peningkatan, belum semua daerah memberlakukan PSBB. Sampai saat ini, baru empat provinsi serta 72 kabupaten/kota yang memberlakukan PSBB. Bahkan, dari 10 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak, hanya tiga provinsi yang menerapkan PSBB, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Barat.
Dalam ratas yang juga diikuti Wakil Presiden Ma’ruf Amin serta sejumlah kepala daerah itu, Presiden meminta agar dilakukan evaluasi tren kasus Covid-19 secara detail dan menyeluruh. Tak hanya bagi daerah yang menerapkan PSBB, tetapi juga daerah yang tidak memberlakukan PSBB.
Evaluasi perlu dilakukan karena efektivitas PSBB di satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda. Selain itu, penting pula dikaji secara mendalam penyebab perbedaan tren kasus Covid-19 meski sama-sama menerapkan PSBB.
Evaluasi perlu dilakukan karena efektivitas PSBB di satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda. Selain itu, penting pula dikaji secara mendalam penyebab perbedaan tren kasus Covid-19 meski sama-sama menerapkan PSBB.
”Ada daerah yang penambahan kasus barunya mengalami penurunan secara gradual; konsisten, tetapi tidak drastis. Namun, ada juga daerah yang penambahan kasusnya turun, tetapi belum konsisten dan masih fluktuatif; serta daerah yang penambahan kasusnya tidak mengalami perubahan seperti sebelum PSBB. Hal seperti ini perlu digarisbawahi, ada apa? Kenapa?” kata Presiden.
Baca juga: Hati-hati Longgarkan PSBB
Tren kasus di daerah yang tidak memberlakukan PSBB, tetapi menerapkan kebijakan pembatasan dan protokol kesehatan yang ketat juga mesti dievaluasi. Hasil evaluasi itulah yang nantinya dijadikan sebagai data pembanding bagi daerah-daerah yang menerapkan PSBB.
”Ini harus diperbandingkan antara yang PSBB dan non-PSBB karena memang ada inovasi-inovasi di lapangan dengan menerapkan model kebijakan pembatasan kegiatan di masyarakat, disesuaikan dengan konteks daerah masing-masing,” tuturnya.
Penurunan pasien rawat inap
Dalam jumpa wartawan virtual, seusai ratas, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan bahwa hampir semua provinsi yang sudah menerapkan PSBB mengalami penurunan jumlah pasien rawat inap secara signifikan. Salah satunya di DKI Jakarta, jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit rujukan pemerintah pusat ataupun provinsi sudah di bawah 60 persen dari total kasus positif.
Pasien positif Covid-19 yang dirawat di RSUP M Jamil Padang, Sumatera Barat, hanya 41 persen atau 41 persen dari kapasitas tempat tidur yang disediakan sebanyak 112 unit. Begitu pula pasien rawat inap di RS Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat, hanya 30 orang atau 22 persen dari kapasitas 135 tempat tidur.
”Ini (penurunan pasien rawat inap) menunjukkan kabar gembira karena pada minggu pertama, kedua, dan ketiga sejak pemerintah memutuskan status darurat kesehatan, hampir semua rumah sakit di kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa, mengalami peningkatan. Dengan demikian, banyak sekali saudara-saudara kita yang tidak sempat mendapatkan perawatan,” tutur Doni.
Selain itu, disebut pula bahwa ada daerah yang tidak memberlakukan PSBB, tetapi berhasil menurunkan laju kasus Covid-19. Salah satunya Provinsi Bali yang saat ini penambahan kasus positif baru berkurang dan tidak ada penambahan angka kematian. Pemprov Bali lebih memilih memanfaatkan kearifan lokal, menggerakkan desa adat, gotong royong, berbasis adat untuk memutus mata rantai Covid-19.
Baca juga: Berisiko, Pelonggaraan PSBB Tanpa Data
Meski begitu, Presiden tetap meminta Gugus Tugas Penanganan Covid-19 kembali memastikan upaya pengendalian Covid-19, terutama di lima provinsi di Pulau Jawa, berjalan dengan efektif. Ini karena sebanyak 70 persen kasus positif Covid-19 ditemukan di Pulau Jawa. Bahkan, angka tertinggi kematian pasien Covid-19, yakni sebanyak 82 persen, terjadi di Pulau Jawa.
Presiden tetap meminta Gugus Tugas Penanganan Covid-19 kembali memastikan upaya pengendalian Covid-19, terutama di lima provinsi di Pulau Jawa, berjalan dengan efektif.
Dalam ratas yang diikuti sejumlah kepala daerah itu, Presiden mengingatkan agar pelaksanaan PSBB tidak terhambat oleh batas-batas administrasi pemerintahan. Keterpaduan pelaksanaan PSBB antardaerah dalam kawasan yang relatif besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Raya, dan Bekasi, mutlak diperlukan agar upaya pemutusan mata rantai Covid-19 berjalan efektif.
Simulasi
Sebelum memutuskan merelaksasi PSBB, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 diminta untuk melakukan simulasi. Doni menjelaskan, simulasi dilakukan agar ada tahapan yang jelas saat pelonggaran PSBB benar-benar dilakukan.
Setidaknya terdapat empat tahapan yang disiapkan Gugus Tugas sebelum pelonggaran PSBB benar-benar dilakukan. Tahap pertama disebut fase prakondisi, yakni upaya untuk mengalkukasi dampak pelonggaran dari berbagai aspek kehidupan. Pada tahap ini, kajian akademis akan dilakukan dengan melibatkan para epidemiologis, pakar kesehatan masyarakat, pakar sosiologi, pakar komunikasi publik, dan pakar ekonomi kerakyatan. Pendapat para pakar itu akan dijadikan pertimbangan pemerintah dalam memutuskan pelonggaran PSBB.
Tak hanya itu, Gugus Tugas juga merencanakan untuk melakukan tes usap terhadap 1.000 orang di delapan provinsi, yakni Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebanyak 1.000 orang itu pun akan diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang hasilnya akan disampaikan kepada kementerian sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan langkah yang tepat dalam penanganan pandemi.
Kalau belum menunjukkan penurunan, apalagi melandai, tidak mungkin daerah itu diberi kesempatan untuk melakukan pelonggaran.
Tahapan kedua adalah menetapkan waktu yang tepat untuk melakukan pelonggaran PSBB. Gugus Tugas akan mengamati kurva kasus Covid-19 di berbagai daerah. ”Kalau belum menunjukkan penurunan, apalagi melandai, tidak mungkin daerah itu diberi kesempatan untuk melakukan pelonggaran. Artinya apa? Statusnya masih tetap tidak boleh kendur, justru harus ditingkatkan kembali,” kata Doni menjelaskan.
Baca juga: Kurva Epidemi Tidak Akurat Persulit Perancangan Penanganan Wabah
Selain kurva kasus Covid-19, kesiapan masyarakat juga menjadi pertimbangan. Jika tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan masih relatif rendah, pemerintah tidak akan mengambil risiko dengan merelaksasi PSBB di daerah tersebut.
Tahap selanjutnya adalah menetapkan prioritas sektor yang aktivitasnya akan dilonggarkan. Bekerja sama dengan kementerian/lembaga serta pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, Gugus Tugas akan mengkaji sektor-sektor yang perlu dilonggarkan.
”Misalnya bidang pangan, khususnya pasar, restoran, dan mungkin berhubungan dengan kegiatan untuk menghidari agar masyarakat tidak terkena PHK. Prioritas ini harus menjadi opsi-opsi yang ketat sehingga tidak menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat,” tutur Doni.
Tahap terakhir adalah koodinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Doni menegaskan, koordinasi penting dilakukan agar pelonggaran tak berujung penolakan. Selain itu juga untuk menghindari inisiatif pemerintah daerah melakukan pelonggaran PSBB sebelum waktunya.
Penurunan laju kasus positif Covid-19 semestinya tak membuat pemerintah lengah. Pemerintah diharapkan tidak terburu-buru memutuskan pelonggaran PSBB karena terbukti efektif mencegah penyebaran Covid-19.
Sementara, secara terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo mengatakan, penurunan laju kasus positif Covid-19 semestinya tak membuat pemerintah lengah. Pemerintah diharapkan tidak terburu-buru memutuskan pelonggaran PSBB karena terbukti efektif mencegah penyebaran Covid-19.
Politikus Partai Golkar itu bahkan mendorong pemerintah daerah yang masih mengalami lonjakan kasus baru untuk mengusulkan pemberlakuan PSBB kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Penting pula untuk terus mengingatkan masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan, jaga jarak, menggunakan masker, dan tetap di rumah.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Berhati-hati Longgarkan PSBB