Menkumham: Pelaksana Perppu 1/2020 Tidak Kebal Hukum
Menkumham Yassona H Laoly menegaskan, korupsi dana penanganan Covid-19 tetap bisa dipidana. Perppu 1/2020 tidak memberikan hak imunitas bagi pelaku korupsi terkait penanganan Covid-19.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly memastikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 tidak otomatis menghilangkan delik korupsi atas pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan Perppu tetap dapat ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
”Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana perppu ini. Pasal 27 pada Perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi,” kata Yasonna dalam rilis media yang disampaikannya pada Selasa (12/5/2020).
Sebelumnya, sejumlah pihak mempersoalkan Pasal 27 Perppu 1/2020 yang dinilai memberikan imunitas bagi pelaksana Perppu. Pasal tersebut mengatur, biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan terkait Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara (ayat 1), pejabat pelaksana Perppu tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana (ayat 2), dan segala tindakan/keputusan terkait Perppu bukan merupakan obyek yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (ayat 3). Pasal ini termasuk salah satu pasal yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan Pasal 27 hanya untuk memberi jaminan agar pelaksana Perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini yang memerlukan keputusan cepat.
Menurut Yasonna, keberadaan Pasal 27 hanya untuk memberi jaminan agar pelaksana Perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini yang memerlukan keputusan cepat. Meskipun demikian, tidak ada istilah kebal hukum bila terjadi korupsi. Apabila ditemui bukti adanya keputusan yang dibuat sengaja menguntungkan diri atau kelompoknya, tetap akan diproses di pengadilan dan ditindak secara hukum. Ia mengingatkan, korupsi di kala bencana dapat dijatuhi hukuman mati seperti yang ada pada Pasal 2 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, tambahnya, klausul tidak dapat dituntut seperti di dalam Perppu 1/2020 bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
”Klausul ini juga pernah diatur dalam UU Pengampunan Pajak, UU Bank Indonesia, UU Ombudsman, UU Advokat, dan UU MD3. Bahkan, beberapa pasal di KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) juga mengatur tentang sejumlah perbuatan yang tidak dipidana,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, Perppu 1/2020 diterbitkan dengan pertimbangan kondisi yang genting dan memaksa. Pemerintah perlu segera mengambil tindakan yang penting dan butuh dana besar yang mencapai Rp 405,1 triliun yang sebelumnya tidak ada di dalam APBN 2020.
Karena adanya pandemi Covid-19, pemerintah menyediakan dana tersebut secara cepat. Alhasil, Perppu menjadi payung hukum bagi penyediaan anggaran tersebut. Perppu ini untuk memastikan pengambil keputusan tidak khawatir dan tetap dipagari agar tidak bisa korupsi. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan rakyat bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Yasonna membantah anggapan bahwa Perppu ini mengabaikan hak anggaran yang dimiliki oleh DPR. Selain itu, Perppu ini tetap harus melalui persetujuan DPR sebelum ditetapkan menjadi UU.
Ia mengapresiasi DPR yang sepaham dengan pemerintah untuk melihat Covid-19 ini sebagai bencana dan menyetujui bahwa pemerintah harus mengambil kebijakan untuk membantu rakyat. ”Semangatnya sama, yakni untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara cepat,” kata Yasonna.
Gugatan baru
Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara dalam Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi undang-undang. Persetujuan diwarnai penolakan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi satu-satunya dari total sembilan fraksi di DPR yang menolak penetapan perppu menjadi undang-undang. Delapan fraksi lainnya menyetujui, tetapi tetap mengkritisi sejumlah pasal di perppu.
Persetujuan diberikan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Rapat dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Adapun dari pemerintah, hadir mewakili, Menteri Keuangan Sri Mulyani. Persetujuan DPR ini membuat pemeriksaan perkara uji materi Perppu yang diajukan sejumlah pihak ke MK menjadi tidak dapat dilanjutkan. Hingga 28 April 2020, Perppu ini telah digugat oleh tiga pemohon. Mereka adalah Din Syamsudin, Amien Rais, dan kawan-kawan; Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan; serta Damai Hari Lubis.
Kita justru senang jika Perppu disahkan DPR karena akan lebih mantap untuk menggugatnya sebab akan berhadapan dengan dua pihak, yaitu DPR dan pemerintah.
Salah satu pemohon uji materi, Koordinator MAKI Boyamin Saiman, tak mempermasalahkan jika DPR mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU. Ia akan mencabut gugatan Perppu di MK dan segera mengajukan gugatan baru terhadap UU tersebut dengan materi gugatan yang hampir sama, yaitu permohonan pembatalan Pasal 27 UU pengesahan Perppu.
”Kita justru senang jika Perppu disahkan DPR karena akan lebih mantap untuk menggugatnya sebab akan berhadapan dengan dua pihak, yaitu DPR dan pemerintah,” kata Boyamin.
Boyamin mengaku sedang menyiapkan gugatan baru yang lebih matang. Ia yakin gugatannya yang baru akan dikabulkan oleh MK.