Untuk menangani krisis akibat Covid-19, pemerintah perlu membentuk dewan atau badan khusus dipimpin presiden. Dewan tersebut diharapkan dapat mengeluarkan aturan dan kebijakan khusus penanganan dampak dan wabahnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu segera membentuk dewan atau badan khusus yang dipimping langsung oleh presiden untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19. Dewan tersebut diharapkan dapat mengeluarkan aturan dan kebijakan secara cepat, efisien, dan tepat.
Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng mengatakan, belajar dari penanganaan krisis pada tahun 1998, pemerintah harus segera membentuk dewan atau badan khusus untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19.
”Dewan ini dipimpin oleh presiden dan diisi oleh orang-orang yang berkompeten untuk mengatasi masalah kesehatan, lingkungan, dan ekonomi,” kata Tanri dalam diskusi daring bertajuk ”Manajemen Kebijakan Publik Masa Krisis Covid-19” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Tanri mengungkapkan, tim tersebut hanya akan bekerja selama krisis. Mereka fokus pada pengembangan kebijakan ketahanan ekonomi yang saat ini terganggu akibat pandemi.
Dewan ini dipimpin oleh presiden dan diisi oleh orang-orang yang berkompeten untuk mengatasi masalah kesehatan, lingkungan, dan ekonomi.
Ia menceritakan, ketika terjadi krisis ekonomi di Asia Timur pada 1997-1998 yang berimbas hingga ke Indonesia, Presiden Soeharto langsung membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan. Kepemimpinan dewan tersebut dilanjutkan oleh Presiden BJ Habibie.
Anggota dewan tersebut berasal dari tim ekonomi penasihat presiden. Mereka mengeluarkan aturan dan kebijakan hingga Indonesia dapat keluar dari krisis.
Menurut Tanri, situasi krisis akibat pandemi Covid-19 ini lebih serius daripada situasi krisis pada 1997-1998. Sebab, pada saat itu Indonesia dapat meminjam uang kepada negara lain yang tidak mengalami krisis. Sementara pada saat ini hampir semua negara mengalami krisis. Akibatnya, tidak ada satu pun negara yang dapat meminjamkan dananya untuk negara lain.
Karena itu, pemerintah seharusnya bertindak lebih cepat dan serius dari krisis yang terjadi pada 1997-1998. Ia melihat penanganan krisis akibat Covid-19 saat ini belum efektif. Namun, Tanri tak merinci lebih jauh di sisi mana yang tidak efektif.
Hal tersebut terlihat dari masih bertambahnya orang yang meninggal dan terjangkit Covid-19. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 6 Mei 2020, jumlah orang yang positif terpapar Covid-19 bertambah 367 orang dan yang meninggal bertambah 23 orang, sedangkan yang sembuh bertambah 120 orang dari sehari sebelumnya. Selain itu, pemutusan hubungan kerja dan pemotongan gaji karyawan juga mulai dilakukan sejumlah perusahaan sehingga terjadi banyak pengangguran dan pengurangan konsumsi.
Tanri menegaskan, dalam situasi krisis, seorang pemimpin harus menentukan prioritas dan memiliki tim untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Agar dapat cepat mengambil keputusan, perlu dihilangkan birokrasi yang berbelit-belit dan kepentingan politik dikesampingkan.
Ia mengusulkan, sebaiknya pemerintah menggerakkan kegiatan produktif seperti pertanian, perkebunan, dan kelautan. Sektor produktif tersebut dapat berguna untuk menghadapi situasi krisis pada saat ini dan untuk kebutuhan jangka panjang.
Keraguan banyak negara
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Fadillah Putra, mengatakan, situasi krisis pada saat ini terjadi karena keragu-raguan pemerintah dalam mengambil kebijakan sejak saat masih terjadi endemi Covid-19 di Wuhan, China.
Keraguan tersebut tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Alhasil, pengambilan keputusan menjadi lambat sehingga berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik.
Dalam situasi krisis seperti saat ini, Fadillah melihat pemerintah belum siap mengatasi masalah yang ada. Sebagai contoh, kapasitas rumah sakit yang tidak cukup, permasalahan pendataan, pengaturan pembatasan sosial berskala besar yang tidak jelas, hingga pembagian bantuan sosial yang belum tepat sasaran.
Penanganan dalam situasi krisis harus dilakukan secara efisien, tepat, dan cepat sehingga tidak perlu ada birokrasi.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fachru Novrian, mengatakan, penanganan dalam situasi krisis harus dilakukan secara efisien, tepat, dan cepat sehingga tidak perlu ada birokrasi.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya tidak hanya mengeluarkan program, tetapi langsung masuk ke lingkungan bisnis dan rumah tangga dengan memprioritaskan kepentingan keselamatan manusia.
Sejauh ini, pemerintah tercatat sudah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, untuk melaksanakan pembatasan sosial berskala besar menghadapi wabah Covid-19. Status penanganan wabah Covid-19 sekarang juga sudah ditetapkan sebagai bencana non-alam nasional sehingga penganggaran untuk penanganan wabah tersebut dimungkinkan tak hanya berasal dari APBN dan APBD, tetapi juga bantuan atau donasi pihak-pihak lain.
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19), pemerintah tak hanya melakukan refocusing dan realokasi anggaran, tetapi juga menyiapkan dan meningkatkan anggaran untuk bantuan nontunai, tunai, dan sosial sebagai jaring pengaman nasional bagi warga miskin dan terdampak Covid-19.