Negara kepulauan dengan jarak antara Sabang dan Merauke sepanjang 5.245 kilometer, di masa pandemi Covid-19 ini, membutuhkan jalur logistik yang cepat dengan jangkauan sampai ke pedalaman. TNI AU menjadi jawabannya.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Masyarakat masih ingat ketika di awal pandemi Covid-19, krisis alat pelindung diri atau APD untuk para dokter dan tenaga medis mencuat. Tiba-tiba ada kabar gembira bahwa TNI AU akan mengambil alat-alat kesehatan dari Shanghai, China. Walaupun jumlahnya tidak banyak, sekitar 10,246 ton, alat-alat kesehatan berupa masker N95, baju hazmat, sarung tangan, kaca pelindung mata, dan alat tes cepat itu bagai oase di tengah kekhawatiran.
Komandan Skuadron Udara 32 Lanud Abdulrachman Saleh, Malang, Letnan Kolonel Penerbang Suryo Anggoro, pilot Hercules A1333 yang memimpin misi ini, bercerita, bukannya timnya tidak khawatir. Saat itu, keluarga bahkan ikut mengantar keberangkatan tim sampai ke landasan.
”Iya, keluarga mengantar itu memang tidak biasa. Memang khawatir itu ada, tetapi buat tentara, loyalitas itu harga mati,” cerita Suryo.
Memang khawatir itu ada, tetapi buat tentara, loyalitas itu harga mati.
Sebagai pemimpin tim, kata Suryo, ia memitigasi dan mengendalikan risiko. Pertama, dari segi jarak, perjalanan ke Shanghai cukup jauh. Kedua, ada risiko terkena virus atau menjadi carrier virus sehingga membahayakan keluarga. Namun, ia tahu bahwa masyarakat Indonesia tengah menunggu APD-APD itu.
”Kami tegang juga,” cerita Suryo.
Ia lalu membuat perencanaan. Kru dibagi dua sehingga bisa bergantian terbang. Setiap 12 jam, tim harus ganti. Penerbangan dari Halim ke Natuna tentunya tidak masalah. Sebenarnya dari Natuna bisa terbang langsung ke Shanghai, hanya butuh waktu sekitar delapan jam. Akan tetapi, ada risiko lalu lintas udara yang padat atau cuaca yang membuat penerbangan lebih lama. Oleh karena itu, diputuskan untuk berhenti sebentar di Hainan.
Sesampai di Shanghai, kru bergerak cepat di tengah hujan deras dan udara dingin. Hanya 2,5 jam waktu untuk mengangkut alat kesehatan tersebut. Saat bekerja, semua kru juga mengenakan baju alat pelindung diri lengkap.
Misi ini memang istimewa karena untuk pertama kali pesawat TNI AU ke luar negeri untuk misi penanganan Covid-19.
Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel Muhammad Yuris yang ikut dalam rombongan bercerita, misi ini memang istimewa karena untuk pertama kali pesawat TNI AU ke luar negeri untuk misi penanganan Covid-19. Sepanjang perjalanan, di kabin, diskusi marak tentang resiko yang dihadapi, termasuk yang terburuk, yaitu terpapar korona karena masuk ke episentrum Covid-19.
”Menurut kami, tentara bukan kebal virus, tetapi jiwa militansi yang mmbuat imunitasnya tinggi,” kata Yuris.
Selama perjalanan menuju dan dari Shanghai, pesawat itu pun lima kali mendarat untuk mengisi bahan bakar. Semua dilakukan cepat, tidak keluar area bandar, dan mengurangi kontak jarak dekat dengan petugas bandara. Setiba di Indonesia, anggota tim mengisolasi diri selama 14 hari.
Tidak hanya mengambil alat-alat kesehatan di luar negeri, peran TNI AU dalam distribusi terkait Covid-19 di wilayah Nusantara juga harus dicatat. Tidak hanya pesawat angkut yang sibuk, seluruh pangkalan udara ikut terlibat.
Komandan Lanud Silas Papare Jayapura Marsekal Pertama Tri Bowo Budi Santoso mengatakan, karena pesawat-pesawat dari luar Papua dilarang masuk, peran pesawat angkut TNI AU lebih signifikan. Tri Bowo mengatakan, berbagai pesawat angkut TNI AU telah datang dan pergi di antaranya membawa APD. Selain itu, pesawat TNI AU juga membawa spesimen untuk dikirim ke Jakarta.
”Kalau kemarin, sanitizer, obat, dan APD memang pemda minta ke kami, dan kami langsung memberi tahu ke satuan atas,” kata Tri Bowo.
Asisten Operasi Kepala Staf TNI AU Marsda Umar Sugeng Hariyono dalam keterangan tertulisnya lewat Subdinas Penerangan Umum TNI AU, 23 April lalu, mengatakan, ada tiga jenis pesawat angkut TNI AU yang dikerahkan, yaitu B 737, C-130 Hercules, dan CN 295. Total jam terbang saat itu mencapai 321 jam. Materi-materi yang diangkut adalah APD sebanyak 6.990 koli, masker 1.653 koli, alat tes cepat 3150 kotak, dan logistik/alat kesehatan lain 39.400 kilogram. Menurut data terakhir TNI AU tanggal 30 April, jumlah APD yang telah didistribusikan TNI AU ke 34 provinsi Indonesia mencapai 415.400 buah.
”Tiga provinsi yang paling banyak adalah Papua, Maluku, dan Sumatera Utara,” kata Umar. Alokasi ini sesuai dengan permintaan Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19.
Untuk bisa tetap beroperasi dengan standar TNI AU, yang penting menurut Umar adalah mengatur kesiapan kru secara efektif sehingga bisa melaksanakan operasi setiap saat. Pada 22 dan 25 April lalu, pesawat angkut TNI, kali ini dari Skadron Udara 31 Halim Perdanakusuma, mengangkut APD dari Singapura dan Kamboja.
Komandan Skadron Udara 31 Letkol Pnb Puguh Yulianto memimpin langsung dua misi penerbangan tersebut. Pesawat TNI AU itu harus dua kali mendarat di Payalebar guna mengangkut 270 dus surgical mask untuk diterbangkan ke Tanjungpinang bagi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, kemudian yang kedua mengangkut 540 dus diterbangkan ke Jakarta.
Kesiapan
Belajar dari operasi militer selain perang ini, skuadron angkut TNI AU perlu diperkuat baik dari sisi jumlah, gelar, serta kesiapan. Salah satu kajian tentang kesiapan pesawat angkut TNI AU pada 2018 menyebutkan, akibat persoalan di pemeliharaan, kesiapan dari 28 pesawat tidak sampai 40 persen.
Selain itu, dengan lebarnya rentang Nusantara, dibutuhkan pesawat angkut yang punya ruang lebih besar dengan kemampuan daya angkut yang lebih berat. Pesawat-pesawat angkut berat yang saat ini dimiliki TNI AU, seperti Hercules C130 dan Boeing 737, realitasnya masuk ke kategori angkut sedang.
Dengan lebarnya rentang Nusantara, dibutuhkan pesawat angkut yang punya ruang lebih besar dengan kemampuan daya angkut yang lebih berat. Pesawat-pesawat angkut berat, seperti Hercules C130 dan Boeing 737, realitasnya masuk ke kategori angkut sedang.
Umar Sugeng mengatakan, ke depan memang sudah ada rencana strategis penambahan pesawat angkut. ”Belajar dari kemarin ke Wuhan, pesawat angkut kita memang belum maksimal,” kata Umar.
Pengadaan pesawat angkut TNI AU tentunya mempertimbangkan banyak hal. Salah satu yang perlu digarisbawahi adalah jangan lagi membeli bekas atau menerima hibah dengan biaya perbaikan yang mahal. Pesawat Hercules A1333 yang berangkat ke Wuhan, menurut catatan Kompas, dibuat pada 1978 dan merupakan pesawat bekas lungsuran dari Australia. Skadron-skadron angkut perlu dilengkapi pesawat yang bisa mengangkut dengan lebih efisien, yaitu lebih cepat dan murah.
Pengadaan pesawat angkut ini sebaiknya jangan sampai didorong oleh makelar atau dilakukan dengan janji ada kick back. Selain itu, kontinuitas produk juga perlu sangat dipertimbangkan terutama dari sisi kefasihan pilot dan ketersediaan pemeliharan. Membeli merek baru beresiko pada inefisiensi. Apalagi kalau pesawat baru itu masih berada pada masa baby sickness, alias belum mapan sebagai produk.
Yang juga harus diperhatikan adalah pembangunan gelar lanud-lanud untuk mendukung operasi. Dengan adanya kebutuhan alat kesehatan di setiap provinsi, ini berarti semua lanud harus bisa mendukung. Hal ini diakui Umar Sugeng yang mengatakan, gelar pesawat angkut belum maksimal terutama untuk Provinsi Papua. Secara umum, lanud-lanud yang tidak ada skadron angkut belum dapat mendukung operasi pesawat angkut dengan maksimal.
Terakhir, dukungan terhadap kesejahteraan prajurit menjadi hal terpenting. Apalagi biaya hidup di wilayah-wilayah Indonesia tidak seragam. Biarlah pilot-pilot itu terbang dengan rasa aman, hanya memikirkan resiko misi.