Penundaan Transfer DAU Harus Diikuti Pengawasan agar Tak Rugikan Publik
Kemendagri harus mengawasi kasus per kasus keterlambatan pemda merealokasi APBD untuk penanganan Covid-19. Sebab, penundaan transfer dana alokasi umum ke daerah bisa membuat pemda justru memotong belanja publik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penundaan transfer sekitar 35 persen dana alokasi umum atau DAU ke 380 daerah akibat belum selesainya proses realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 diharapkan tidak merugikan publik. Ini karena penundaan itu dikhawatirkan membuat porsi belanja langsung yang berdampak bagi masyarakat akan ikut terpotong.
Sebelumnya, pemerintah pusat mulai bertindak tegas kepada daerah yang tidak sigap dalam penanganan Covid-19. Transfer DAU sebanyak 35 persen ke 380 pemerintah daerah ditunda. Sebab, pemda tak kunjung melaksanakan perintah pemangkasan belanja daerah sebagai upaya percepatan penanganan Covid-19. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2020 (Kompas.id, 2/5/2020).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Najmul Akhyar saat dikonfirmasi, Minggu (3/5/2020), mengatakan, penundaan transfer DAU sebesar 35 persen itu sangat berdampak bagi daerah. Sebab, di sebagian besar pemerintah kabupaten, porsi DAU lebih besar dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD).
Melalui organisasi Apkasi, Najmul mengaku sudah sering mengingatkan pemda agar fokus pada realokasi anggaran percepatan penanganan Covid-19. Jika pemda dapat berdisiplin dan melaksanakan arahan dari Kementerian Dalam Negeri, sanksi tersebut tak perlu dijatuhkan.
”Porsi DAU dalam keuangan daerah itu sangat besar, bergantung pada komposisi APBD masing-masing. DAU juga sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai,” kata Najmul yang juga Bupati Lombok Utara, NTB.
Najmul mengatakan, apabila transfer 35 persen DAU ditunda, ada potensi belanja publik akan dipotong. Hal itu tergantung ruang fiskal APBD setiap daerah. Sebab, jika DAU ditunda, belanja pegawai rutin tidak mungkin dipotong. Kemungkinan besar justru yang akan disesuaikan belanja yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Oleh karena itu, dia berharap Kemendagri dapat memberikan asistensi kepada daerah. Kemendagri harus mengevaluasi lebih rinci kendala di daerah yang belum melaksanakan mandat Peraturan Menteri Keuangan No 35/2020 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2020 dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19. Sebab, kendala di setiap daerah itu sangat beragam.
Namun, berdasarkan pengalamannya di Kabupaten Lombok Utara, realokasi dan pengutamaan anggaran untuk percepatan penanganan Covid-19 tidaklah sulit. Sebab, perubahan APBD itu tidak memerlukan proses politik di DPRD. Eksekutif hanya perlu berkomitmen menyisir anggaran yang harus disesuaikan.
Perubahan anggaran ini cenderung lebih mudah karena tidak melalui proses di DPRD. Ini hanya soal komitmen dan kemauan.
PMK No 35/2020 sudah detail mengatur rasionalisasi belanja yang harus dilakukan pemda. Di antaranya rasionalisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal sekurang-kurangnya 50 persen. Di anggaran belanja barang dan jasa pos yang dapat dirasionalisasi misalnya perjalanan dinas, rapat yang mengundang banyak orang. Sementara di pos belanja modal, rasionalisasi dilakukan untuk pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung baru, ataupun infrastruktur.
”Perubahan anggaran ini cenderung lebih mudah karena tidak melalui proses di DPRD. Ini hanya soal komitmen dan kemauan, di Lombok Utara, kami rapat untuk menyisir anggaran sampai dini hari. Hasilnya, kami dapat melaporkan realokasi anggaran tepat waktu,” kata Najmul.
Apalagi, menurut Najmul, tenggat waktu yang diberikan pemerintah pusat juga sudah cukup panjang, yaitu satu bulan. Waktu itu dinilai sangat cukup untuk menyisir APBD. Namun, dirinya tidak menampik bahwa persoalan yang dihadapi daerah berbeda-beda.
Daerah yang memiliki ruang fiskal terbatas, misalnya porsi belanja pegawai dan belanja publik 50:50, kemungkinan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyisir ulang anggarannya. Hal itu berbeda dengan daerah yang memiliki ruang fiskal besar, atau bahkan kemandirian APBD-nya sudah cukup bagus karena besarnya PAD.
Ini sebenarnya sanksi yang bagus dan memberikan terapi kejut bagi pemda yang tidak disiplin merealokasi anggaran untuk Covid-19. Namun, yang saya khawatirkan justru ada potensi belanja publik akan tergerus. Kemendagri harus awasi betul soal itu.
”Monitoring”
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, penundaan transfer 35 persen DAU ini cukup berat dampaknya bagi pemda. Sebab, DAU ini sebagian besar digunakan untuk gaji aparatur sipil negara (ASN).
Jika tidak ada pengawasan ketat dari Kemendagri, kata dia, bisa jadi sanksi ini justru akan merugikan masyarakat. Sebab, daerah tidak mungkin tidak menggaji ASN. Kemungkinan, justru pemda akan memotong atau bahkan meniadakan belanja publik.
”Ini sebenarnya sanksi yang bagus dan memberikan terapi kejut bagi pemda yang tidak disiplin merealokasi anggaran untuk Covid-19. Namun, yang saya khawatirkan justru ada potensi belanja publik akan tergerus. Kemendagri harus awasi betul soal itu,” kata Robert.
Menurut Robert, pemantauan KPPOD selama 1,5 bulan terakhir, kesulitan yang terlihat dihadapi pemda dalam merasionalisasi APBD adalah ruang fiskal terbatas. Sebagian besar pemda masih sangat bergantung pada dana transfer pusat.
Adapun, potensi PAD juga terganggu karena perlambatan ekonomi dampak Covid-19. Hanya segelintir daerah dengan PAD besar dapat mandiri keuangannya, dan tidak mengandalkan transfer pusat. Akibatnya, daerah harus kreatif mencari terobosan menyiasati bencana nasional non alam tersebut.
Selain terbatasnya ruang fiskal daerah, komitmen kepala daerah dalam hal ini juga turut menentukan rasionalisasi anggaran. Seharusnya kepala daerah berkomitmen untuk mengutamakan penanganan dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi akibat Covid-19. Bukan justru malah menunjukkan sikap tak acuh, atau menyepelekan permasalahan tersebut.
Di sisi lain, Robert juga tak memungkiri bahwa di Indonesia bagian timur, masalah teknis, seperti jaringan dan koneksi internet, juga menjadi kendala. Ketika pandemi Covid-19 diikuti dengan kebijakan bekerja dari rumah, kinerja birokrasi pemda akan melambat. Komunikasi dan koordinasi praktis dilakukan lewat dunia maya.
Namun, karena koneksi internet tidak stabil, hal itu menghambat kecepatan kinerja birokrasi di daerah. Permasalahan teknis itu tidak hanya terjadi saat penyusunan rasionalisasi APBD, tetapi juga terjadi saat daerah akan melaporkan rasionaliasinya kepada Kemendagri. Itulah sebabnya provinsi, kabupaten, dan kota di wilayah Indonesia Timur paling banyak menerima sanksi tersebut.
Oleh karena itu, Robert juga meminta Kemendagri melihat lebih detail persoalan-persoalan yang terjadi di daerah, khususnya di wilayah Timur. Dengan pengawasan yang lebih detail, kasus per kasus akan terekam kondisi riil di lapangan yang dihadapi pemda.
Hal itu, kata dia, juga akan memudahkan Kemendagri dalam menentukan intervensi ataupun diskresi bagi daerah sehingga persoalan koordinasi serta komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah dapat diminimalisasi.