Sekalipun ada pasal "imunitas" dalam Perppu No 1/2020, KPK dituntut untuk tetap menindak pelaku penyalahgunaan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. Koruptor anggaran bencana harus dituntut hukuman mati.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dituntut untuk mengawasi seluruh penggunaan dana penanganan Covid-19 agar tepat sasaran dan tidak terjadi penyelewengan. KPK harus menindak tegas orang yang berani korupsi di masa bencana.
Hal tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dengan pimpinanan KPK di Jakarta, Rabu (29/4/2020).
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar Supriansa mengatakan, penegak hukum menjadi harapan publik agar bantuan untuk penanganan Covid-19 tepat sasaran.
Besarnya anggaran penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 405,1 triliun menjadi sorotan publik. Akibatnya, para pejabat terkait takut untuk membelanjakan dana tersebut. Di sisi lain, potensi korupsi bantuan sosial juga besar karena adanya pendataan yang serampangan. Kasus-kasus seperti penggelapan dana bantuan, pungutan liar, dan pembiayaan ganda dapat terjadi.
Kasus lain yang terjadi yakni pemberian bantuan yang diboncengi kepentingan politik seperti penempelan atribut tertentu pada bansos yang dibagikan ke masyarakat. “Itu perlu diteliti dengan baik. Kalau mencoba jadi penumpang gelap, maka perlu diberi pelajaran sehingga tidak main-main dengan anggaran Covid-19,” kata Supriansa.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman meminta KPK untuk terus berani menindak para pelaku tindak pidana korupsi, meskipun ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
“Saya tidak lihat Perppu tersebut menimbulkan imunitas pada perilaku korupsi. Yang imun itu adalah kebijakannya,” kata Habiburokhman.
Ia berpendapat, Pasal 27 ayat 1 Perppu No 1/2020 memiliki makna, penyimpangan penggunaan dana Covid-19 tetap masuk dalam tindak pidana korupsi dan bisa ditindak oleh KPK. Pada Pasal 27 ayat 2 juga dijelaskan bahwa ada syarat ketentuan anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak bisa dituntut jika melaksanakan tugasnya didasarkan pada itikad baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adanya syarat tersebut menunjukkan bahwa tidak ada imunitas bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran atau tidak beritikad baik. Jika melanggar atau mengkorupsi dana bencana, maka bisa ditindak oleh KPK.
Ia melanjutkan, perppu tersebut mencabut pasal-pasal dari lima undang-undang, tetapi tidak ada dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, KPK harus terus awasi dan mengusut segala pelanggaran dalam penggunaan dana Covid-19.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, program jaring pengaman sosial atau pemberian bantuan sosial dan program pengadaan barang/jasa merupakan dua program yang memiliki risiko tinggi terjadinya korupsi. Karena itu, KPK akan fokus pencegahan korupsi pada dua program tersebut.
Adanya pilkada pada 270 daerah dan realokasi anggaran daerah secara mendadak juga perlu diawasi untuk mencegah korupsi. Karena itu, KPK ingin ada sinergi dengan Komisi III DPR agar melalui partai politiknya memberikan pembekalan kepada kadernya yang akan maju sebagai petahana maupun calon kepala daerah agar tidak melakukan pelanggaran.
Pidana mati
Peluang terjadinya korupsi yang dilakukan oleh pemda cukup besar karena anggaran yang direalokasikan untuk penanganan Covid-19 mencapai Rp 56,57 triliun. Firli mengingatkan, KPK akan menindak tegas pada koruptor karena keselamatan masyarakat menjadi hukum tertinggi. Tuntutannya adalah pidana mati.
Secara terpisah, Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Dadang Kurnia mengatakan, BPKP telah mendorong peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di pemda untuk mengawasi realisasi atas realokasi anggaran penanganan Covid-19. Mereka mendapatkan pendampingan perwakilan dari BPKP.
Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh pun sudah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-6/K/D2/2020 untuk memberikan pedoman dalam meninjau pengadaan barang/jasa. Salah satu langkahnya adalah memastikan bahwa pengadaan barang/jasa adalah dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 dan bukan untuk kepentingan lain.
Karena itu, seharusnya kasus kepala daerah yang memanfaatkan bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 dapat dicegah karena saat pengajuan realisasi kegiatan diawasi oleh APIP.
“Waktu ada pengajuan untuk realisasi pengadaan barang, APIP bisa melakukan review. Jadi bisa di tahap awal dari Rencana Kebutuhan Belanja (RKB) dan eksekusi anggaran serta di lapangan,” kata Dadang.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, untuk mencegah terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh kepala daerah, maka perlu ada pendataan masyarakat yang membutuhkan bansos yang dilakukan oleh ketua RT. Menurut Devie, Ketua RT adalah orang yang tahu situasi di wilayahnya.
Dalam pendataan tersebut perlu melibatkan minimal 70 persen warga di wilayah tersebut untuk mendapatkan persetujuan. Dengan pendataan seperti itu, maka fungsi pengawasan juga dapat dilakukan oleh masyarakat.
Di sisi lain, kerjasama dengan aparat penegak hukum juga dibutuhkan. Selain itu, pemerintah perlu membuka data warga yang memperoleh bantuan dengan menyertakan nomor kontak ketua RT agar publik dapat saling mengawasi.