Menilik Problematika Tafsir Perppu Covid-19
Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara di tengah pandemi Covid-19 menimbulkan pro-kontra. Pasal di perppu ini juga diuji di Mahkamah Konstitusi. Seperti apa persoalannya?
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara memberikan payung hukum bagi dilakukannya upaya luar biasa negara dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19. Namun, pro dan kontra mewarnai diskursus di ruang publik atas keluarnya perppu tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang dapat dikaji dari keluarnya perppu tersebut, yakni dari sisi materi atau substansi, dan dari sisi formil atau prosedur hukum keluarnya perppu tersebut. Merujuk kepada konstitusi, perppu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapatkan persetujuan, perppu itu harus dicabut.
Secara substansi, perppu yang ditetapkan pada 31 Maret 2020 menimbulkan polemik karena dinilai melakukan pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR, yakni melalui ketentuan di dalam Pasal 2 Perppu No 1/2020. Tidak hanya itu, pasal yang paling banyak mendapatkan pertentangan dan pertanyaan dari publik ialah substansi Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3).
Pasal itu menjamin pelaksana Perppu No 1/2020 tidak dapat dikenai tuntutan perdata ataupun pidana. Sejumlah pihak menilai pasal itu memberikan imunitas kepada pelaksana anggaran yang memicu minimnya akuntabilitas pengelolaan anggaran dalam penanganan Covid-19.
Baca juga: Pengujian Konstitusionalitas Pasal ”Imunitas” Perppu Covid-19 Berkejaran dengan Waktu
Hasil kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, antara lain menyebutkan, Pasal 4-Pasal 10 Perppu No 1/2020 itu juga memuat sejumlah ketentuan tentang RUU Perpajakan. Padahal, RUU Perpajakan merupakan salah satu rancangan regulasi yang belum dibahas di DPR. RUU Perpajakan merupakan satu dari tiga RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law. Masuknya substansi RUU Perpajakan memunculkan dugaan upaya ”menyelundupkan” isi regulasi yang belum dibahas dan disetujui oleh DPR tersebut.
Selain itu, Pasal 12 Ayat (2) di dalam Perppu No 1/2020 memberikan ruang perubahan postur dan/atau rincian APBN untuk diatur dalam peraturan presiden (perpres), bukan melalui UU APBN Perubahan. Ketentuan itu dinilai melanggar Pasal 23 dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945, yang secara tidak langsung mengurangi peran anggaran DPR.
Sebab dengan diatur di dalam perpres, bukan dalam bentuk UU, perubahan postur anggaran APBN itu tidak lagi melalui pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Peran anggaran DPR secara tidak langsung tereliminasi dengan keluarnya ketentuan tersebut.
Bagi pengaturan dan realokasi serta refocussing (pemusatan kembali) anggaran di daerah, yakni yang diatur di dalam Pasal 3 Perppu No 1/2020, fungsi anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dipandang telah dieleminasi. Ini karena pemerintah daerah diberikan kewenangan melakukan realokasi dan pengaturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa persetujuan DPRD. Pasal itu dipandang bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah.
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, terkait dengan pasal-pasal yang dinilai bertabrakan dengan sejumlah UU, bahkan konstitusi, DPR sebaiknya segera meninjau perppu itu dalam proses legislative review.
”DPR harus segera melakukan legislative review terhadap substansi Perppu No 1/2020 untuk menentukan apakah perppu akan ditetapkan menjadi undang-undang. Ketentuan-ketentuan yang menyimpangi konstitusi seyogianya dibatalkan,” katanya.
Veri berpendapat, perppu sangat kental dengan kepentingan perekonomian semata. Semestinya, perppu lebih berperspektif keadilan, hak asasi manusia, dan kesehatan. ”Prioritas negara dalam menangani krisis Covid-19 harus terus dikawal. Jangan sampai hal ini dijadikan akal-akalan untuk menjustifikasi potensi menyelundupkan hukum untuk kepentingan golongan tertentu di bidang perekonomian,” katanya.
Ketidakpuasan publik terhadap isi Perppu No 1/2020 antara lain ditunjukkan dengan diajukannya uji materi perppu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka yang mengajukan antara lain dua mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yakni Din Syamsuddin dan Amien Rais, serta Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Sri Edi Swasono. Pemohon di antaranya menguji Pasal 27 Perppu No 1/2020 yang dinilai memberikan ”imunitas” kepada penyelenggara anggaran negara.
Baca juga: Pemerintah Siap Adu Argumentasi Perppu No 1/2020
Tafsir pembahasan
Dorongan untuk segera membahas Perppu No 1/2020 itu dapat ditafsirkan macam-macam, terutama bila melihat substansi Pasal 22 UUD 1945. Pasal itu mengatakan, perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapatkan persetujuan, perppu itu harus dicabut.
Dalam praktiknya, perppu itu diserahkan kepada DPR pada 2 April 2020 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona H Laoly. Perppu itu sendiri baru ditetapkan pada 31 Maret 2020. Artinya, dua hari perppu keluar, pemerintah langsung mengajukan RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU. Pada saat itu, DPR baru saja membuka masa sidang ketiga, yakni pada 30 Maret 2020.
Para ahli dan anggota DPR berbeda pendapat tentang bisa tidaknya perppu itu dibahas di dalam masa sidang ketiga ini. Hal ini membawa polemik perppu tidak lagi secara materiil, tetapi juga formil. Sebab, alasan adanya ”kegentingan yang memaksa” sebagai landasan keluarnya perppu ini dipertanyakan.
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, asumsi sederhana perppu keluar ialah negara dalam kondisi genting, yang misalnya ditandakan dengan ketidakmungkinan parlemen bersidang, sementara pada saat bersamaan diperlukan hukum. Untuk membentuk hukum itu, di tengah kondisi genting tersebut, logikanya tidak bisa dilakukan dalam kondisi cepat bilamana menunggu parlemen membahasnya dalam kondisi normal. Adapun hukum yang ada sudah tidak memadai.
Namun, pada kenyataannya DPR bisa bersidang. Selain itu, hanya dalam waktu dua hari setelah perppu ditetapkan langsung diserahkan ke DPR. Artinya, secara formil, perppu itu menjadi ”perppu” hanya dalam dua hari karena selanjutnya perppu itu sudah diajukan untuk menjadi UU melalui RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU.
”Logika yang dibangun pemerintah ialah adanya kegentingan memaksa sehingga perppu dikeluarkan. Namun, prosedur yang dijalani adalah mekanisme pengajuan RUU. Seharusnya, biarkan saja dulu perppu itu operasional beberapa waktu karena perppu bisa diajukan dan dimintakan persetujuan pada masa sidang berikutnya,” katanya.
Perppu bisa berjalan seketika itu juga tanpa persetujuan DPR karena asumsinya ialah negara dalam kondisi darurat atau kegentingan yang memaksa. Konstitusi memberikan ruang bagi pemerintah untuk membentuk perppu, serta memungkinkan perppu itu operasional terlebih dulu di masa darurat.
Adapun persetujuan oleh DPR dilakukan pada masa sidang berikutnya. Namun, dengan diserahkannya RUU Penetapan Perppu No 1/2020 menjadi UU, hanya dua hari setelah ditetapkan, menurut Charles, logika ”kegentingan yang memaksa” seolah tidak relevan lagi karena pada kenyataannya DPR masih bisa bersidang.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, bisa saja RUU Penetapan Perppu No 1/2020 itu diajukan sekarang, tetapi pembahasannya tetap dilakukan pada masa sidang berikutnya, bukan pada masa sidang sekarang.
Kendati demikian, adanya pertanyaan kenapa RUU Penetapan Perppu No 1/2020 itu diajukan pada masa sidang ini, menurut Fahmi, logis saja. Karena bila memang DPR bisa bersidang, seharusnya tidak perlu perppu. Namun, DPR fokus membuat legislasi yang terkait dengan kepentingan publik di masa Covid-19. DPR harus menunda pembahasan legislasi lainnya yang tidak mendesak.
Untuk keperluan itu, menurut Fahmi, pemerintah bisa saja mengajukan revisi UU No 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan atau membuat RUU APBN-P tanpa perlu mengeluarkan perppu. Ini karenaDPR bisa bersidang. DPR, dengan demikian, harus mengutamakan legislasi yang terkait dengan penanganan Covid-19 tersebut agar dibahas cepat.
Tafsir lain lagi disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Menurut dia, bisa saja RUU tentang Perppu No 1/2020 itu diajukan di masa sidang sekarang dan dibahas masa sidang ini juga. Namun, persetujuannya tetap diputuskan pada masa sidang berikutnya.
Arsul juga mendorong pembahasannya dilakukan dengan melibatkan DPD dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena ada persoalan terkait dengan konstitusionalitas perppu dan isinya yang dinilai mengambil peran anggaran DPR.
Lain lagi dengan pendapat Didik Mukrianto, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Menurut Didik, mendasarkan Pasal 52 Ayat 1 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu secara resmi semestinya diajukan ke DPR pada masa sidang berikutnya, yang disertai dengan RUU Penetapan Perppu.
Secara pribadi, Didik menolak substansi perppu itu karena inkonstitusional, melanggar prinsip negara hukum, dan tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik. ”Saya melihat Perppu No 1/2020 ini adalah perppu omnibus law sistem keuangan,” katanya.
Mempertanyakan kegentingan
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, DPR harus menolak Perppu No 1/2020. Alasannya, perppu itu tidak memenuhi syarat ”kegentingan yang memaksa”.
Konstitusi memang tidak menjelaskan secara rinci apakah yang dimaksud dengan kegentingan memaksa. Namun, Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara obyektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum dan UU yang ada tidak memadai untuk mengatasi keadaaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.
”Menurut saya, perppu itu tidak memenuhi tiga syarat obyektif tersebut. Presiden sampai hari ini tidak menetapkan negara dalam kondisi bahaya. Di sisi lain, soal kemendesakan aturan tidak terpenuhi karena DPR masih bisa bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas RUU Omnibus Law (Cipta Kerja),” kata Desmond.
Terlepas dari bermacam tafsir pembahasan dan kesesuaian prosedur formil pembentukan perppu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, DPR memiliki waktu 90 hari untuk membahas perppu itu; apakah disetujui ataukah tidak. Dengan menghitung waktu perppu itu diserahkan ke DPR pada 2 April sedangkan masa reses DPR selanjutnya dimulai pada 12 Mei, maka pembahasan perppu itu jatuh pada masa sidang berikutnya.
Terkait polemik Perppu No 1/2020, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menuturkan bahwa pemerintah meyakini penerbitan perppu sudah sesuai perosedur perundang-undangan yang berlaku, apa pun keputusan dari DPR ataupun putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Mengenai substansi perppu, khususnya terkait hak imunitas pejabat yang dipersoalkan sejumlah pihak, menurut Mahfud, hal itu bukan merupakan hal baru. Klausul serupa sudah ada di UU Bank Indonesia, juga Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa itikad baik pejabat negara tidak bisa dipidanakan, hal tersebut juga sudah ada di dalam Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pengampunan Pajak, serta putusan MK mengenai UU Advokat.
Kini tantangannya pemerintah harus meyakinkan DPR bahwasanya perppu itu konstitusional dan tidak mengambil hak atau kewenangan DPR sehingga perppu dapat disetujui parlemen. Di satu sisi, pemerintah harus pula mempertahankan konstitusionalitas perppu di MK. Bagaimanapun, pada akhirnya dinamika politik di parlemen dan kebijakan hakim konstitusi akan sangat menentukan.