Presiden Jokowi diminta untuk mempelajari substansi draf revisi UU MK yang dikirimkan DPR sebelum menunjuk menteri untuk membahas revisi itu di DPR. Presiden pun dapat meminta masukan-masukan dari publik.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (18/12/2019). Sidang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat telah mengirimkan draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kepada Presiden Joko Widodo. Namun, sebelum Presiden mengirimkan surat presiden berisi penunjukan wakil pemerintah yang akan membahas draf tersebut beserta daftar inventarisasi masalah atau DIM kepada DPR, Presiden diharapkan mencermati substansi serta asas-asas pembentukan undang-undang yang baik sehingga pembahasan revisi UU MK itu tidak makin memicu polemik di tengah masyarakat.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, draf revisi UU MK itu dikirim kepada Presiden setelah ditetapkan sebagai RUU inisatif DPR dalam rapat paripurna, 2 April 2020. Dengan telah dikirimnya draf itu kepada Presiden, kini DPR dalam posisi menunggu surpres dan DIM dari pemerintah untuk memulai pembahasan RUU MK.
Presiden memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surpres yang berisi nama-nama menteri yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan di DPR sejak surat pimpinan DPR itu diterima oleh Presiden.
Menurut Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, presiden memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surpres yang berisi nama-nama menteri yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan di DPR sejak surat pimpinan DPR itu diterima oleh presiden. Sementara itu, di dalam tata tertib DPR diatur lebih jauh manakala presiden belum mengirimkan surpres hingga jangka waktu 60 hari, pimpinan DPR akan melaporkan hal itu di dalam rapat paripurna untuk menentukan tindak lanjut berikutnya.
”Pembahasannya apakah bisa dilakukan pada masa sidang saat ini atau masa sidang berikutnya tergantung dari surpres dan DIM pemerintah,” kata Supratman, Selasa (28/4/2020), di Jakarta. Supratman juga adalah pengusung tunggal revisi UU MK di DPR.
Kompas/Wawan H Prabowo
Suhartoyo (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengucapkan sumpah hakim konstitusi dihadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/1/2019). Daniel merupakan hakim konstitusi dari usulan Presiden, pengganti I Dewa Gede Palguna yang habis masa jabatannya. Sementara itu, Suhartoyo merupakan petahana yang kembali diusulkan Mahkamah Agung untuk periode kedua.
Beberapa materi di dalam draf revisi UU MK itu memicu perdebatan publik, antara lain dengan adanya perubahan terhadap sejumlah pasal di dalam UU No 24/2003 tentang MK. Pasal yang diubah antara lain Pasal 4 yang mengatur masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, yakni dari yang sebelumnya 2,5 tahun diusulkan menjadi 5 tahun; Pasal 15 yang mengatur syarat minimal usia calon hakim MK, yakni dari yang sebelumnya 47 tahun, kini diusulkan 60 tahun; Pasal 23 tentang pemberhentian hakim MK, yang dulu dibatasi dua kali periode jabatan, kini diusulkan hingga usia pensiun 70 tahun; dan Pasal 27A tentang majelis etik hakim MK, yang dulu beranggotakan tiga orang, kini diusulkan menjadi dua orang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harijanti mengatakan, karena draf itu telah berada di tangan Presiden, kini menjadi kewajiban moral Presiden untuk menelaah secara mendalam substansi dari draf RUU MK. Presiden diharapkan bijak mempertimbangkan untuk tidak membahas revisi UU MK di tengah masa pandemi, selain juga mendalami isi draf revisi sebelum mengirimkan nama-nama wakilnya dalam pembahasan dengan DPR.
”Yang paling penting untuk diperhatikan Presiden ialah asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu asas utamanya ialah asas kebutuhan. Presiden harus menimbang dengan matang apakah betul UU MK sekarang ini memerlukan perbaikan, dan apakah perbaikan itu mendesak dilakukan saat ini. Kalaupun UU MK itu ada yang perlu diperbaiki, apa saja yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya,” katanya.
Yang paling penting untuk diperhatikan Presiden ialah asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu asas utamanya ialah asas kebutuhan.
Telaah lebih lanjut penting dilakukan Presiden, yakni dengan melihat apakah persoalan-persoalan yang dihadapi MK bisa ataukah tidak bisa diselesaikan dengan revisi UU tersebut, atau justru adanya revisi menimbulkan persoalan baru. Bilamana Presiden merasa revisi undang-undang ini justru menimbulkan persoalan baru, Presiden sebagai pembentuk UU bisa bersikap untuk tidak buru-buru mengirimkan surpres, bahkan menolak membahas RUU tersebut.
”Presiden harus berhati-hati karena ini berkaitan dengan cabang kekuasaan yudikatif, yang seharusnya kita perkuat, dan tidak diperlemah. Kalau kita memiliki badan peradilan yang kuat, prinsip negara hukum yang berlandaskan konstitusi itu dapat berjalan dengan baik,” katanya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para peserta calon hakim Mahkamah Konstitusi mengikuti ujian tahap pertama di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara, Cipete, Jakarta Selatan, Senin (2/11/2019). Ada 17 nama yang mendafar sebagai calon hakim konstitusi untuk menggantikan posisi I Dewa Gede Palguna yang akan mengakhiri masa baktinya pada 7 Januari 2020. Panitia Seleksi (Pansel) Calon Hakim MK dijadwalkan akan menyerahkan nama calon hakim konstitusi pengganti I Dewa Palguna pada 18 Desember 2019 kepada Presiden Joko Widodo.
Pertanyaan kritis dari publik terkait dengan subtansi revisi UU MK, menurut Susi, wajar saja muncul dan perlu mendapatkan perhatian dari Presiden. Itu karena publik memiliki pengalaman dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada praktiknya membuat kinerja KPK melemah dalam pemberantasan korupsi. Publik tentu berharap hal yang sama tidak terjadi pada MK dengan hadirnya RUU MK tersebut. Apalagi, MK selama ini memainkan peran strategis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik dalam koridor hukum.
”Jangan sampai hadirnya RUU ini malah menjadikan MK dipolitisasi,” katanya.
Jangan sampai hadirnya RUU ini malah menjadikan MK dipolitisasi.
Susi antara lain menyoroti dinaikkannya batas usia minimal hakim MK dari 47 tahun menjadi 60 tahun yang dinilai tidak memiliki alasan yang jelas. Kalaupun alasannya usia 60 tahun sebagai ukuran untuk menilai kebijaksanaan atau karakter kenegarawanan seseorang, hal itu dipandang tidak relevan karena sikap kenegarawanan dan kompetensi seseorang tidak dapat diukur dari usia. Demikian halnya usulan pengurangan anggota dewan etik menjadi dua orang dikhawatirkan menghilangkan perwakilan masyarakat di dalam dewan etik karena draf RUU hanya menyebutkan anggota Komisi Yudisial dan mantan hakim MK sebagai anggota dewan etik.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Umbu Rauta, menuturkan, Presiden dapat mendalami serta memperkaya materi atau substansi RUU melalui kegiatan uji publik kepada pihak-pihak terkait, baik institusi pendidikan maupun lembaga lainnya. Pada titik ini, Presiden sedang menjalankan salah satu persyaratan pembentukan UU, yaitu aspek keterbukaan.
”Kita mesti belajar dari praktik-praktik sebelumnya, yang boleh jadi ada pembentukan RUU yang terkesan elitis atau tidak populis. Hal ini justru menguntungkan bagi legislator karena akan mereduksi persoalan proses pembentukan (aspek formal) maupun aspek substansi manakala RUU itu menjadi UU, dan ada yang berniat melakukan pengujian,” katanya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Satuan Korps Brimob Polda Metro Jaya mendirikan tenda menjelang sidang terakhir pembacaan putusan atas perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pileg 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Perubahan UU MK, menurut Umbu, sebaiknya fokus pada beberapa hal penting, antara lain revitalisasi dan perluasan kewenangan MK yang sudah ada ataupun belum diatur, tetapi menjadi kebutuhan penting, seperti keluhan konstitusional (constitutional complaint), pertanyaan konstitusional (constitusional question), termasuk pengujian perppu; perbaikan hukum acara; serta pengaturan prosedur pengisian jabatan hakim yang diajukan oleh tiga lembaga negara (DPR, Presiden, dan MA) agar benar-benar memperhatikan aspek kompetensi, transparansi, dan obyektivitas.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, ada tiga hal yang sebaiknya dipertimbangkan Presiden dalam mengkaji draf RUU MK. Pertama, kondisi pandemi Covid-19 yang tidak memungkinkan dilakukannya penyerapan aspirasi publik secara maksimal. Dipaksakannya pembahasan RUU di tengah pandemi akan menimbulkan kecurigaan publik tentang adanya kepentingan politik tertentu di dalam pembahasannya.
Kedua, Presiden harus mendalami substansi RUU yang lebih banyak terkait dengan kebutuhan personal para hakim, antara lain dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan dan usia pensiun hakim.
”Agak aneh apabila DPR dan pemerintah konsen pada masa jabatan hakim, sementara banyak hal penting lain yang bisa dibahas di dalam RUU itu, misalnya soal hukum acara di MK yang selama ini belum diatur di dalam UU yang terpisah,” katanya.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsar.i
Ketiga, Presiden diharapkan melihat MK dalam kacamata politik dan konstitusi terkait dengan peranan MK selama ini yang sangat strategis. MK harus dilindungi dari intervensi politik. Jika RUU ini dipaksakan dibahas, menurut Feri, aspek perlindungan hak konstitusional warga negara akan terancam.