Partai Demokrat Pasca-SBY
Sebagai pengganti Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Dari mulai pamor Partai Demokrat yang memudar hingga membalikkan keraguan pada kapasitasnya.
Setelah delapan tahun menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan tak lagi maju dalam pemilihan di Kongres V Demokrat, pertengahan bulan lalu. Putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang terpilih secara aklamasi dalam kongres, dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Dari mulai pamor Demokrat yang terus memudar hingga membalikkan keraguan pada kapasitasnya mengarungi dunia politik Tanah Air.
Seusai keberhasilan menjadi partai politik (parpol) pemenang Pemilu 2009 dengan raihan suara mencapai lebih dari 20 juta atau 20,40 persen dari total pemilih, perolehan suara Demokrat di dua pemilu selanjutnya terus menurun.
Pada Pemilu 2014, perolehan suara Demokrat menurun hingga menjadi sekitar 12,7 juta suara atau sekitar 10 persen. Kemudian menurun lagi menjadi sekitar 10,8 juta suara atau sekitar 7,7 persen. Penurunan suara tak pelak berimbas pada penguasaan kursi di parlemen. Dari 148 kursi hasil Pemilu 2009, hingga kini pada periode 2019-2024 tinggal tersisa 54 kursi.
Di antara sembilan parpol yang lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019, Demokrat berada di posisi ketujuh, dari sisi raihan suara pemilu ataupun jumlah kepemilikan kursi di parlemen. Demokrat hanya lebih unggul atas Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Adapun sejumlah partai yang pada pemilu sebelumnya selalu di bawah Demokrat kini menyusul, di antaranya Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kian memudarnya pamor Demokrat itu tak bisa dilepaskan dari keterlibatan sejumlah elite Demokrat pada sejumlah kasus korupsi besar yang mulai terkuak pada 2011. Hingga puncaknya pada 2013. Ketua Umum Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum, turut dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, ditahan, dan setahun berikutnya divonis bersalah oleh pengadilan.
Anas yang mundur dari jabatan Ketua Umum Demokrat dan ”turun gunungnya” Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY mengambil alih kepemimpinan Demokrat pada 2013 tetap tak bisa mencegah penurunan suara Demokrat pada Pemilu 2014.
Meski demikian, kepemimpinan SBY dianggap berjasa mencegah keterpurukan lebih dalam Demokrat pada 2014 sehingga sosoknya diharapkan terus memimpin partai oleh kader dan elite Demokrat. Alhasil, pada Kongres IV Demokrat 2015, Presiden ke-6 RI itu terpilih kembali menjabat ketua umum.
Pemilihan secara aklamasi dan berlangsung cepat, Kompas (13/5/2015). Sebab, tak ada kandidat lain selain Yudhoyono. Gede Pasek Suardika, kader Demokrat yang sempat mengutarakan ingin maju memutuskan mundur beberapa saat sebelum kongres digelar.
Hanya saja, di bawah kendali SBY, pamor Demokrat tak berhasil kembali bersinar pada Pemilu 2019. Yang terjadi, raihan suara partai justru kembali turun.
Baca juga: Partai Demokrat dalam Genggaman Dinasti Yudhoyono
Meski demikian, bagi sejumlah elite Demokrat, raihan suara Demokrat pada 2019 itu sudah menjadi berkah. Sebab, jika tanpa SBY, bisa jadi raihan suara Demokrat jauh lebih ambyar. Figur SBY dinilai masih jadi magnet bagi pemilih. Maka dari itu, Demokrat gencar memopulerkan kembali keberhasilan SBY saat memimpin Indonesia dua periode (2004-2014) menjelang Pemilu 2019.
Selain faktor SBY, ”amunisi” baru bagi Demokrat jelang Pemilu 2019 ada pada figur Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY. Sekalipun gagal terpilih sebagai gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kehadirannya sudah berhasil menciptakan magnet baru bagi Demokrat.
Ia pun sering ditonjolkan oleh Demokrat. Berkeliling ke daerah untuk memopulerkan diri dan partainya serta bertemu elite-elite partai lain untuk menjajaki koalisi pada Pemilu Presiden 2019. Terlebih setelah ia dipercaya memimpin pemenangan Demokrat pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Sejak saat itu sudah banyak yang memprediksi Agus akan mewarisi kepemimpinan ayahnya di Demokrat. Ini terbukti saat Kongres V Demokrat, pertengahan bulan lalu. Tanpa harus melalui pemilihan yang ketat karena tidak adanya kandidat ketua umum lain, Agus dengan mudah terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Demokrat periode 2020-2025.
Lantas, mampukah Agus membawa Demokrat kembali bersinar?
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengungkapkan, jalan itu tidak mudah. Ia menjelaskan, dari pemilu ke pemilu, salah satu penyumbang terbesar suara bagi parpol di Indonesia berasal dari figur puncak parpol tersebut. Dalam hal ini, figur yang menjabat ketua umum.
Dari sisi ini, menurut dia, popularitas Agus masih kalah jauh dari SBY. Popularitas SBY itu salah satunya ditopang oleh panjangnya pengalaman dia di militer dan pemerintahan. Hal ini berbanding terbalik dengan Agus yang belum memiliki pengalaman di pemerintahan sekalipun kariernya cukup cemerlang di TNI AD.
”Wibawa pengalaman itu sudah melekat pada SBY. Saat itu, SBY sudah tampil sebagai figur yang sangat populer hingga terpilih menjadi presiden,” katanya.
Baca juga: Struktur Kepengurusan Baru Demokrat di Bawah Komando AHY Ingin Penuhi Harapan Rakyat
Untuk mendongkrak popularitas, tidak mudah bagi Agus karena ia saat ini tidak memiliki ”panggung” yang strategis. Ia, misalnya, bukan kepala daerah atau menteri yang kiprahnya bisa dinilai langsung oleh masyarakat, dan jika penilaiannya baik, dapat mendongkrak popularitas Agus dan juga partainya, Demokrat.
Adapun untuk masuk dalam pemerintahan juga tidak mudah. Sebab, pasca-Pemilu 2019, Demokrat berada di luar koalisi parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kemudian Demokrat seperti diketahui memiliki hubungan yang ”tidak harmonis” dengan PDI-P, partai asal Presiden Jokowi dan partai pengusung utama pemerintahan Jokowi-Amin.
Dosen Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Alfan Alfian, menambahkan, terpilihnya Agus sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pun memunculkan keraguan pada kapasitasnya.
Sebab, tak sedikit yang melihat, dia bisa terpilih karena statusnya sebagai putra SBY. Apalagi gelaran kongres seperti tak membuka peluang kader Demokrat lainnya untuk maju dalam pemilihan.
Dengan masih adanya pandangan itu, menjadi tantangan bagi Agus untuk membuktikan bahwa ia tak sekadar mengandalkan modalitas politik dinasti, tetapi autentisitas kepemimpinan politik.
”Itu akan banyak ditentukan oleh tampilan dan efektivitas kepemimpinan Agus dalam mengelola partainya,” tambahnya.
Prospek elektoral lain terletak pada sejauh mana khalayak menilai kinerja para anggota DPR/MPR yang berasal dari Demokrat. Dengan posisi partai di luar pemerintahan, Demokrat diharapkan mampu menjadi penyeimbang atau mengawasi pemerintah secara kritis, tetapi juga memberikan solusi.
Baca juga: Kian Banyak Ketua Umum Parpol Terpilih Aklamasi, Demokratisasi di Parpol Bermasalah
Agus saat mengumumkan ”kabinet”-nya di DPP Demokrat, 15 April 2020, memahami beratnya tantangan Demokrat di bawah kepemimpinannya. Untuk mengatasinya, salah satu caranya, ia memilih para kader Demokrat yang berusia relatif masih muda untuk menjadi pembantunya. ”Dari 200 orang pengurus pleno, rata-rata usia pengurus adalah 42 tahun, hampir sama dengan usia saya,” katanya.
Hal itu, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Jansen Sitindaon, berkorelasi dengan target Demokrat untuk merebut suara pemilih muda ke depan.
Baca juga: AHY Terpilih Jadi Ketua Umum Demokrat, SBY: Pemimpin Lama Tak Akan Pergi
Ia melanjutkan, kapasitas para kader muda di kepengurusan DPP Demokrat itu akan berkolaborasi dengan pengalaman kader-kader senior Demokrat yang sebagian di antaranya duduk di struktur Majelis Kehormatan dan Dewan Pakar Demokrat. Tak terkecuali SBY, yang menjabat Ketua Majelis Tinggi Demokrat. Kolaborasi itu pula yang diyakini bisa mendorong transformasi Demokrat menjadi lebih adaptif dan gesit dalam menghadapi perubahan zaman.
Namun, Alfan mengingatkan, kesan muda dan pintar saja tidak cukup dalam dinamika dan kontestasi politik elektoral. Yang paling penting, kedekatan dengan rakyat, dipercaya rakyat, dan mampu diandalkan.