Pembahasan RUU Cipta Kerja Semakin Kehilangan Legitimasi
Satu lagi fraksi di DPR memutuskan tidak ikut dalam Panja RUU Cipta Kerja DPR. Selain itu, penolakan atas RUU kian kuat. Salah satunya muncul dari 92 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Oleh
Rini Kustiasih/Nina Susilo/Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja semakin kehilangan legitimasi. Hal ini menyusul bertambahnya fraksi di DPR yang memutuskan tidak masuk dalam keanggotaan panitia kerja yang membahas regulasi dengan metode omnibus law tersebut. Ditambah lagi, kian kuatnya penolakan publik terhadap rancangan regulasi itu.
Pada Rabu (22/4/2020), Fraksi Partai Demokrat memutuskan keluar dari keanggotaan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja DPR yang bertugas membahas RUU itu dengan pemerintah.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan, sikap fraksi itu sejalan dengan sikap Demokrat sejak awal, yang meminta pembahasan RUU tak dilakukan di tengah kesulitan rakyat menghadapi pandemi Covid-19.
”Sejak awal sudah kami minta untuk menunda pembahasan dan sebaiknya kita semua fokus menangani Covid-19. Saat ini, waktunya tidak tepat,” kata Hinca.
Tak sebatas itu, Wakil Ketua Umum Demokrat yang juga anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, meminta Presiden Joko Widodo ikut menarik diri dalam pembahasan RUU dan fokus menangani pandemi Covid-19.
”Kalau Covid-19 sudah berlalu, kita kembali berkonsentrasi dan fokus membahas RUU, yakni saat suasana lebih tenang dan pikiran terbuka juga sehingga terbuka ruang terjadinya diskursus publik terhadap RUU,” ujarnya.
Sikap Demokrat itu diambil setelah fraksi ini mengirimkan tiga nama untuk masuk dalam keanggotaan Panja RUU Cipta Kerja. Ketiganya adalah Bambang Purwanto, Hinca Panjaitan, dan Benny K Harman.
Sebelum Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah lebih dulu memutuskan untuk tidak masuk dalam Panja RUU Cipta Kerja. Alasannya pun karena RUU tidak pantas untuk dibahas di tengah pandemi Covid-19.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi mengatakan, panja akan tetap bekerja. ”Masih tujuh fraksi di dalam panja dan itu sudah memenuhi kuorum,” katanya.
Hal ini selaras dengan permintaan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Ia beralasan, keberadaan regulasi itu dibutuhkan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi.
Penolakan juga muncul dari Komite I dan III Dewan Perwakilan Daerah, Kompas (19/4/2020). Penolakan yang muncul dari publik pun kian kuat. Sebanyak 92 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi menolak RUU tersebut.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti saat jumpa pers, Rabu, menyatakan, pembahasan di tengah pandemi telah melanggar etika. Selain itu, ia melihat pembahasan RUU melanggar asas keterbukaan dan minim partisipasi publik sehingga dinilai mengamputasi demokrasi.
Dalam pertemuan tiga pemimpin serikat buruh dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, para pemimpin serikat buruh juga menyampaikan penolakan atas RUU tersebut.
Seusai pertemuan, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban meminta Presiden menggunakan hak prerogatifnya, meminta DPR menghentikan pembahasan hingga pandemi berlalu.
Menurut Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, setelah draf RUU disampaikan ke DPR, pemerintah menyerahkan seluruh pembahasan ke DPR. ”Sejauh ini belum ada pembicaraan untuk menarik RUU. Sebab, semua sudah diserahkan ke DPR. Saya tidak tahu persis untuk hal ini,” katanya.
Menyusul semakin kuatnya penolakan dari publik, DPD, dan dari internal DPR sendiri, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat, pembahasan RUU sudah semakin kehilangan legitimasi.
”Dan, menurut saya, dari sembilan fraksi di DPR, jika ada dua fraksi yang menarik diri, saya kira secara prosedural formal proses pembahasannya sudah cacat. Jika DPR tetap ngotot, bisa diduga tentu bukan tanpa kepentingan,” katanya. (EDN/NAD)