Selain Vonis Terpidana Korupsi Ringan, Kerugian Negara yang Dikembalikan Juga Kecil
Rata-rata vonis penjara bagi koruptor di tahun 2019 ialah 2 tahun 7 bulan. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari temuan tahun 2018 dengan vonis penjara rata-rata 2 tahun 5 bulan. Namun, vonis itu dinilai masih rendah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rata-rata vonis pidana penjara bagi terpidana korupsi di Indonesia pada 2019 dinilai ringan, yakni hanya 2 tahun 7 bulan. Selain itu, kerugian negara sepanjang tahun 2019 hanya dapat dipulihkan sebesar Rp 748,1 miliar atau sekitar 6,2 persen dari total kerugian Rp 12 triliun.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, dalam laporan tentang ”Tren Vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Selama 2019”, Minggu (19/4/2020), di Jakarta, mengatakan, pada 2019, setidaknya terdapat 1.019 perkara tindak pidana korupsi yang disidangkan di berbagai tingkatan pengadilan dengan 1.125 orang terdakwa.
Dari tiga ranah pengadilan, yakni tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi ataupun peninjauan kembali di Mahkamah Agung, didapatkan rata-rata vonis penjara bagi koruptor selama 2 tahun 7 bulan. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari temuan tahun 2018 dengan vonis penjara rata-rata 2 tahun 5 bulan.
”Tentu ini vonis yang sangat ringan karena sebenarnya beberapa pasal di Undang-Undang (Nomor 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan terdakwa divonis maksimal, yakni 20 tahun sampai seumur hidup,” kata Kurnia.
Adapun ICW mengategorikan hukuman pidana penjara menjadi tiga, yakni ringan (0-4 tahun), sedang (4-10 tahun, dan berat di atas 10 tahun. Namun, menurut Kurnia, yang lebih mengecewakan adalah sepanjang 2019, pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan menjatuhkan putusan lepas bagi 13 terdakwa.
Jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan 2018, yakni membebaskan 27 terdakwa dan pada 2017 membebaskan 35 terdakwa. Sebaliknya, jumlah terdakwa pada kasus korupsi yang divonis dengan kategori berat atau diatas 10 tahun hanya sebanyak 9 orang atau 0,8 persen.
Selain mengenai vonis pidana penjara, kata Kurnia, masalah lain yang juga terkait penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah pengembalian kerugian negara yang masih rendah. Pada tahun 2019, total kerugian negara dikalkulasikan mencapai Rp 12 triliun. Namun, total uang pengganti hanya Rp 748,1 miliar atau sekitar 6,2 persen.
Menurut Kurnia, hal itu disebabkan masih minimnya tuntutan pidana bagi terdakwa korupsi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tercatat hanya delapan terdakwa yang dijerat dengan UU tersebut.
”Harapan kami penegak hukum selalu memasukkan tindak pidana pencucian uang. Tapi, faktanya tidak selalu demikian. Kami kecewa karena penegak hukum tidak berani mendakwa terdakwa dengan pasal pencucian uang,” kata Kurnia.
Ke depan, kata Kurnia, pihaknya berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan semakin banyak menjerat terdakwa pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. Sebab, dalam rezim kejahatan elektronik ke depan, hasil kejahatan korupsi akan lebih banyak disimpan di luar negeri.
Secara terpisah, pengajar hukum Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih, mengatakan, jika tidak menggunakan pasal-pasal dalam UU 8/2010, kemungkinan besar vonisnya akan ringan. Selain itu, upaya pelacakan hasil kejahatan juga lemah.
”Kalau menggunakan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang, sebenarnya baik vonis dan uang pengganti bisa lebih tinggi. Dengan tindak pidana pencucian uang, upaya aktif ada pada penegak hukum. Mereka yang mengejar, menyita, dan merampas,” kata Yenti.
Jika seorang terpidana korupsi hanya dijerat dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menurut Yenti, dia akan berpikir untuk tidak mengembalikan hasil korupsi dan memilih penambahan hukuman penjara. Padahal, akan lebih baik jika dia dihukum penjara meski tidak hukuman maksimal, tetapi seluruh hasil korupsi dikembalikan ke negara.
Menurut Yenti, kapasitas dan kualitas penegak hukum baik di Kejaksaan maupun Kepolisian telah mencukupi untuk dapat menerapkan tindak pidana pencucian uang. Namun, terdapat persoalan lain yang membuat proses penuntutan dalam sebuah perkara korupsi tidak menggunakan tindak pidana pencucian uang sehingga putusannya tidak maksimal.