Pembahasan RUU Cipta Kerja Dinilai Melanggar Tata Tertib DPR
DPR dianggap terbawa arus pemerintah yang menginginkan pembahasan RUU Cipta Kerja dipercepat sehingga melanggar tata tertib yang dibuat sendiri oleh para wakil rakyat itu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto hadir dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja oleh panitia kerja yang dibentuk oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dinilai berpotensi menyalahi tata tertib DPR dalam pembahasan RUU. Berdasarkan tatib DPR yang telah disempurnakan dan disetujui dalam rapat paripurna, 2 April 2020, pembahasan RUU dimulai dengan rapat kerja dengan pemerintah selaku pengusul beserta penyerahan dan pembahasan RUU berdasarkan daftar inventarisasi masalah atau DIM yang dibuat oleh fraksi-fraksi.
Pada Senin (20/4/2020), panitia kerja (panja) pembahasan RUU Cipta Kerja resmi terbentuk dengan 40 anggota dari perwakilan fraksi-fraksi. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya delapan fraksi yang menyerahkan nama wakilnya di dalam panja.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap pada sikapnya untuk tidak menyerahkan nama di dalam panja karena berkeberatan pembahasan RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law itu dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Rapat panja yang dilakukan secara tertutup tersebut membahas tentang opsi nama-nama narasumber yang akan dimintai masukan dan pendapatnya, baik yang pro maupun kontra terhadap RUU Cipta Kerja. Rapat panja menyepakati agar setiap fraksi bisa mengusulkan dua narasumber tambahan. Penyerapan aspirasi publik itu dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU), yang dijadwalkan berlangsung mulai Rabu ini.
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto hadir dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/4/2020).
Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi, yang dihubungi dari Jakarta, Senin, mengatakan, tata tertib DPR yang baru saja direvisi pada dasarnya mengatur hal yang tidak jauh berbeda dengan tatib sebelumnya dalam hal mekanisme pembahasan RUU.
Pada pembahasan tingkat pertama, yang antara lain dilakukan melalui rapat kerja (raker) antara pemerintah dan DPR, seharusnya sudah ada daftar inventarisasi masalah yang dijadikan bahan pembahasan. Jika pengusul adalah pemerintah, seharusnya DIM diserahkan oleh fraksi-fraksi di DPR. Sebaliknya, jika pengusul adalah DPR, DIM diserahkan oleh pemerintah.
”RUU Cipta Kerja ini usulan pemerintah sehingga DIM seharusnya berasal dari DPR. Namun, dalam raker 14 April lalu dengan pemerintah, tidak ada DIM yang diserahkan, dan itu tidak sesuai dengan tatib DPR. Dengan arti lain, DPR bisa dikatakan belum siap dengan DIM sehingga pembahasan RUU tidak dapat dilakukan. DPR pun seharusnya tidak memaksakan pembahasan dengan membentuk panja,” tuturnya.
Dalam kondisi DIM belum siap, menurut Fajri, ada kemungkinan fraksi-fraksi di DPR sebenarnya merasa draf yang diserahkan oleh pemerintah itu belum lengkap atau masih ada kekurangan. Dalam mekanisme negara demokrasi yang menerapkan prinsip check and balance, semestinya DPR berani bersikap untuk mengembalikan draf itu kepada pemerintah untuk dilengkapi. Setelah draf dilengkapi oleh pemerintah, barulah diserahkan kembali ke DPR dan masing-masing fraksi membuat DIM.
”Momentum darurat Covid-19 ini sebenarnya menjadi waktu yang tepat bagi DPR untuk menunda saja pembahasan karena mereka belum siap dengan DIM. Sayangnya, DPR mengikuti ritme pemerintah yang mengikuti pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara cepat. Hal ini membuat DPR kehilangan peran representasinya karena tidak mewakili kepentingan publik, tetapi mengikuti keinginan pemerintah,” kata Fajri.
DOKUMEN ISTIMEWA
Daftar nama-nama anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja. Dari sembilan fraksi di DPR, hanya satu fraksi yang tidak mengirimkan nama, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Adity mengatakan, mekanisme untuk membahas DIM belakangan telah disepakati di dalam rapat pleno Baleg, 7 April 2020. Pada raker dengan pemerintah juga telah disepakati hal yang sama. Pemerintah menyerahkan mekanisme pembahasan RUU itu kepada DPR dan tidak keberatan pembahasan DIM dilakukan belakangan setelah panja melakukan RDPU.
”Mekanisme itu dilakukan karena kami ingin menyerap aspirasi publik. Bukankah pembahasan ini diharapkan bisa menyerap aspirasi publik seluas-luasnya,” kata Willy.
Untuk mengurangi risiko penolakan dan kompleksitas persoalan di tengah Covid-19, panja menggelar RDPU terkait kluster-kluster yang tidak problematik. Dalam rapat panja, kemarin, disepakati RDPU akan membahas mulai dari konsideran RUU hingga bab I yang berisi tentang Ketentuan Umum.
Willy mengatakan, hasil dari RDPU itu antara lain yang akan dijadikan bahan oleh fraksi di DPR menyusun DIM. Di samping itu, masing-masing fraksi juga dapat menyerap aspirasi publik secara internal di fraksi mereka dengan melibatkan pakar dan kelompok berkepentingan lainnya.
”Kami baru membahas RDPU dulu karena yang dikedepankan adalah penyerapan aspirasi publik dulu. Nanti baru dibentuk DIM setelah RDPU dilakukan. Mereka yang diundang adalah ahli, pakar, dan kelompok yang terkait dengan RUU ini,” katanya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P Rieke Dyah Pitaloka saat mengikuti rapat dengan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/4/2020).
Di dalam rapat panja, usulan untuk membahas mulai dari konsideran muncul dari Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka. Rieke mengusulkan agar pembahasan itu lebih detail dengan menelisik dan mendalami mulai dari landasan filosofis, yuridis, hingga sosiologis RUU itu dibentuk. Sebelumnya, usulan yang muncul di dalam rapat panja menginginkan agar pembahasan dimulai dari Bab I Ketentuan Umum.
Rieke juga mengusulkan pembahasan dilakukan dengan menyandingkan pasal di dalam RUU Cipta Kerja dengan UU yang ada. ”Tenaga ahli (TA) DPR sebaiknya menyiapkan psaal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja dan disandingkan dengan UU yang ada sehingga bisa diketahui ada berapa banyak pasal yang mengalami perubahan dan soal apa saja perubahan itu,” katanya.
Dalam pembahasan bab selanjutnya, termasuk untuk kluster investasi, PDI-P mengusulkan agar perwakilan dari asosiasi koperasi, petani, dan nelayan juga dilibatkan. Dengan demikian, dapat diperoleh pandangan yang lebih holistik mengenai kluster investasi. Kluster terkait dengan UMKM dan investasi menjadi kluster selanjutnya yang akan dibahas oleh panja setelah Bab Ketentuan Umum. Alasannya, investasi dan UMKM relatif tidak banyak penolakan dari publik.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Buruh dari berbagai elemen berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di Jalan A Yani, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020).
Firman Soebagyo dari Fraksi Golkar mengusulkan agar pengusaha, pelaku UMKM, dan kelompok mahasiswa juga dimintai masukan.
”Tidak kalah pentingnya yang agak kontroversi juga kita dengarkan. Semua masukan ini tidak mengikat sehingga tidak harus diakomodir. Kalau memang itu untuk kebaikan bangsa, bisa kita akomodir,” katanya.
Terkait dengan keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, Firman mengatakan, hal itu dimungkinkan dan sudah pernah dilakukan oleh DPR sebelumnya. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menyebutkan DPD dapat dilibatkan dalam pembahasan RUU yang terkait dengan kewenangannya, antara lain hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
”Pengalaman DPR sebelumnya, DPD dilibatkan dalam pembahasan yang memang terkait dengan fungsi dan kewenangannya. Namun, DPD tidak bisa mengambil putusan. DPD bisa memberikan masukan, tetapi untuk pengambilan putusan nanti tergantung kepada pembahasan antara pemerintah dan DPR,” kata Firman.