Pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 terkait keuangan negara di tengah pandemi Covid-19, masih menunggu kepastian rapat pimpinan DPR.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 terkait keuangan negara di tengah pandemi Covid-19 masih menunggu kepastian rapat pimpinan DPR. Namun, jika mengacu pada tenggat penyerahan perppu, kemungkinan besar pembahasan baru bisa dilakukan di masa sidang selanjutnya.
Anggota Badan Anggaran DPR dari Partai Demokrat, Didik Mukrianto, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (19/4/2020), mengatakan, Perppu No 1/2020 secara resmi diajukan ke DPR pada 2 April 2020. Hal itu artinya perppu tersebut diterima DPR setelah pembukaan masa sidang III pada 30 Maret.
Berdasarkan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, perppu tersebut baru bisa dibahas di masa sidang berikutnya yang disertai dengan Rancangan Undang-Undang Penetapan Penerimaan Perppu.
”Kalau mendasarkan hal itu, harusnya pembahasan perppu di DPR belum dilakukan pada masa sidang saat ini,” ujar Didik.
Kalau mendasarkan hal itu, harusnya pembahasan perppu di DPR belum dilakukan pada masa sidang saat ini.
Sebagai catatan, masa sidang III DPR akan berakhir pada 12 Mei mendatang, lalu memasuki masa reses. Masa sidang selanjutnya kemungkinan dibuka pada Juni 2020.
Didik menjelaskan, pembahasan Perppu No 1/2020 di DPR akan didahului dengan rapat Badan Musyawarah. Di rapat Bamus tersebut akan ditentukan alat kelengkapan Dewan yang berwenang membahas perppu, baik di komisi, panitia khusus (pansus), maupun Badan Anggaran (Banggar).
Didik menilai, secara substansi, dirinya dapat memahami bahwa para pihak yang mengajukan uji materi terhadap Perppu No 1/2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada beberapa pengaturan yang bisa dikategorikan berpotensi melanggar konstitusi.
Di antaranya, perppu tersebut dapat menghilangkan fungsi anggaran DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A juncto Pasal 23 UUD 1945, serta ada pengaturan yang memberikan impunitas kepada pihak-pihak tertentu, baik kewenangan, tanggung jawab, maupun kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Didik sepakat, Perppu No 1/2020 melanggar prinsip-prinsip negara hukum, prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), serta tidak memenuhi kaidah penyusunan perundang-undangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam UU No 12/2011.
”Seharusnya pembuatan perppu tidak boleh ditujukan untuk memberikan keistimewaan pihak-pihak tertentu termasuk tanggung jawab hukum dan institusional. Saya melihat Perppu No 1/2020 adalah perppu omnibus law sistem keuangan,” tutur Didik.
Meski demikian, lanjut Didik, pengajuan uji materi tersebut harus dipertimbangkan waktunya mengingat bahwa keputusan akhir perppu sangat tergantung dari proses penerimaan atau penolakan oleh DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UU No 12/2011.
Demi pemulihan ekonomi
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Partai Golkar DPR Muhidin Mohammad Said menyampaikan, Banggar siap membahas Perppu No 1/2020. Menurut dia, pembahasan bisa sangat cepat karena menyangkut pemulihan ekonomi negara dan masyarakat.
Kami di Banggar sepakat bagaimana mempercepat ini. Ini, kan, enggak mungkin tertunda karena bagaimanapun juga ini satu hal yang ditunggu-tunggu untuk pemulihan ekonomi dan bagaimana memberi bantuan ke masyarakat yang terdampak.
”Kami di banggar sepakat bagaimana mempercepat ini. Ini, kan, enggak mungkin tertunda karena bagaimanapun juga ini satu hal yang ditunggu-tunggu untuk pemulihan ekonomi dan bagaimana memberi bantuan ke masyarakat yang terdampak,” tutur Muhidin.
Meski diproses dengan cepat, Muhidin menyampaikan, di dalam rapat Banggar akan dibahas mengenai pengetatan pengawasan pelaksanaan Perppu No 1/2020.
”Jadi, menurut saya, ini tidak bisa lagi diperdebatkan terlalu panjang karena rakyat menunggu, dunia usaha menunggu, ini langkah yang harus diambil, tak boleh ditawar-tawar lagi. Yang perlu digarisbawahi adalah mari bersama-sama mengawasi, buat rambu-rambunya, kami akan minta KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) buat rambu-rambu sehingga tidak terjadi moral hazard (penyimpangan) yang lebih banyak,” tutur Muhidin.