Rakyat Menanti Kepekaan Pemerintah dan DPR
Badan Legislasi DPR akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas RUU Cipta Kerja, Selasa (14/4/2020). Masyarakat sipil berharap muncul kesepakatan untuk menunda pembahasan hingga wabah Covid-19 teratasi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bisa mencederai hati rakyat bila Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode undang-undang sapu jagat (omnibus law), dan RUU lainnya yang problematik dipaksakan untuk dibahas di tengah pandemi Covid-19. Kedua lembaga negara itu diharapkan bersikap bijak dan menunjukkan kepekaan terhadap krisis yang sedang terjadi.
Pada Selasa (14/4/2020), Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat dijadwalkan mengadakan rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait pembahasan RUU Cipta Kerja.
Rapat itu akan menentukan kelanjutan pembahasan RUU Cipta Kerja karena Baleg DPR selain mendengarkan pemaparan pemerintah tentang RUU itu juga akan menanyai kesiapan dan kesanggupan pemerintah membahas RUU yang terdiri atas 11 kluster tersebut. Alasannya, RUU Cipta Kerja merupakan salah satu usulan regulasi yang diinisiasi pemerintah, dan RUU tersebut telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2020.
Baca juga: Surat untuk Yang Terhormat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Senin (13/4), saat dihubungi dari Jakarta, menegaskan, langkah DPR yang memutuskan terus membahas sejumlah RUU kontroversial, seperti RUU Cipta Kerja dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mencederai perasaan publik. Sebagai wakil rakyat, seharusnya DPR tak mengambil kebijakan yang melukai hati rakyat. Terlebih lagi, saat ini rakyat sedang mengalami kesusahan di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Bijak pula jika langkah penundaan pembahasan itu diambil oleh pemerintah selaku pengusul.
”Seharusnya DPR lebih sensitif dan sebagai wakil rakyat memprioritaskan kerjanya untuk ikut membantu penyelesaian masalah aktual yang dihadapi publik atau rakyat, yakni wabah korona. Jika DPR terus membahas RUU-RUU tersebut, mereka benar-benar tidak punya sense of crisis,” ujarnya.
DPR sebaiknya berinisiatif meminta secara tegas kepada pemerintah untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja mengingat RUU itu adalah usulan dari pemerintah. Sebaliknya, bijak pula jika langkah penundaan pembahasan itu diambil oleh pemerintah selaku pengusul.
”Kalau mau benar, DPR meminta kepada Presiden Jokowi (Joko Widodo) agar menunda pembahasan. Bijak pula jika Presiden Jokowi menarik, membatalkan, atau menunda pembahasan RUU itu di DPR,” katanya.
Jika pemerintah tidak meminta penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja, kata dia, seharusnya DPR yang menunda apabila masih memiliki nurani dan nalar sehat. ”Idealnya, kedua belah pihak bijak dan punya sense of crisis. Jika tidak, minimal salah satu lembaga tinggi negara itu ada yang masih memiliki nurani, entah itu DPR atau Presiden Jokowi,” ujarnya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, ada dua hal yang akan dilakukan di dalam raker, Selasa. Pertama ialah pemaparan pemerintah tentang apa saja yang akan dibahas dalam RUU yang dibentuk dengan metode undang-undang sapu jagat itu. Kedua, kesiapan pemerintah dalam membahas RUU tersebut.
Willy mengatakan, DPR memutuskan terus membawa pembahasan RUU Cipta Kerja ini ke dalam tahapan raker dengan pemerintah karena ingin menanyakan kesiapan pemerintah sebagai pengusul RUU tersebut. Lagipula, DPR beralasan pembahasan RUU Cipta Kerja ini tidak dilakukan dengan mekanisme sebagaimana biasa.
Biasanya dalam setiap raker dengan pemerintah akan langsung diikuti pendapat atau pandangan fraksi-fraksi dan mini fraksi, serta daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh fraksi.
”Namun, karena kondisi darurat, mekanisme pembahasan sedikit diubah, yakni dengan mengedepankan paparan pemerintah, sedangkan DIM tidak perlu disertakan dulu. Pembahasan DIM akan dilakukan setelah Baleg DPR selesai menerima masukan dari publik,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, mekanisme uji publik akan lebih dikedepankan oleh Baleg DPR dalam tahapan pembahasan RUU Cipta Kerja mengingat kondisi darurat Covid-19. DPR ingin mendengar sebanyak mungkin masukan, kritisi, dan saran perbaikan dari publik yang berkepentingan dengan RUU Cipta Kerja.
Salah satu yang paling banyak meminta audiensi dengan DPR ialah kalangan buruh. DPR juga menjanjikan pembahasan dilakukan seterbuka mungkin dengan berbagai sarana yang ada, seperti dengan memanfaatkan telekonferensi dan rapat virtual. ”Semua pihak silakan memantau pembahasan ini, termasuk media,” kata Supratman.
Willy menambahkan, karena mengutamakan uji publik dalam tahapan pembahasan undang-undang sapu jagat, DIM dari fraksi-fraksi tidak ditargetkan selesai dalam waktu tertentu. Fraksi diberi keleluasaan untuk membahas DIM di internal fraksi dengan pembedahan masalah setiap kluster.
”Pembahasannya nanti akan mendulukan kluster-kluster yang tidak rumit atau problematik, seperti UMKM dan investasi. Adapun untuk kluster yang yang problematik, seperti ketenagakerjaan, akan dibahas belakangan,” katanya.
Sikap dipertanyakan
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, mengkritik DPR yang seolah tidak berani mengambil inisiatif menunda pembahasan undang-undang sapu jagat dan menunggu raker dengan pemerintah. Dalam kondisi darurat seperti ini, DPR yang seharusnya wakil rakyat menunjukkan visi dan sikap mereka sebagai representasi publik.
Peran representasi itu semestinya ditunjukkan dengan kebijakan yang mendekat dengan rakyat, memahami persoalan rakyat di kala susah, dan tidak malah membuat kebijakan yang tidak berkaitan dengan kebutuhan rakyat saat ini.
Apakah sense of crisis DPR ini sudah hilang atau lebih buruk lagi rasionalitas mereka hilang dengan terus menjalankan tahapan pembahasan RUU yang problematik di DPR.
”Apakah sense of crisis DPR ini sudah hilang atau lebih buruk lagi rasionalitas mereka hilang dengan terus menjalankan tahapan pembahasan RUU yang problematik di DPR. Ini (Covid-19) adalah tragedi bersama sehingga harusnya bersama-sama rakyat menghadapi ini. Cepat atau lambat, dampaknya juga akan ikut mereka rasakan,” kata Mada.
Upaya menjalankan fungsi DPR, yang meliputi legislasi, pengawasan, dan penganggaran, lanjut Mada, bisa diteruskan dengan memfokuskan pada penanganan Covid-19. Pembahasan legislasi sebaiknya dilakukan dengan memilih legislasi terkait kebutuhan rakyat pada masa darurat.
Pembahasan sejumlah RUU yang tak ada korelasinya dengan kebutuhan rakyat pada masa darurat, tidak hanya mengabaikan tiga prinsip pembuatan kebijakan publik, yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Namun, kata dia, hal tersebut juga cacat secara etis.
Sementara itu, hanya beberapa fraksi di DPR yang tegas menyatakan sikapnya untuk menunda pembahasan. Sikap itu, antara lain, disuarakan Partai Demokrat. Adapun partai lainnya, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menekankan agar pembahasan DIM dari fraksi-fraksi di DPR dilakukan setelah wabah Covid-19 tertangani.
Wakil Ketua Fraksi PKS Netty Prasetiyani mengatakan, pihaknya akan menanyakan kesiapan pemerintah membahas RUU Cipta Kerja dalam kondisi pandemi Covid-19. ”Kalaupun tetap membahas RUU itu dengan dibentuk panitia kerja (panja), kerja panja di awal hanya mendengarkan semua masukan dari pakar atau publik dan semua pemangku kepentingan seluas-luasnya tanpa DIM fraksi-fraksi,” katanya.
”Intinya kami berempati pada situasi Covid-19 ini. Seharusnya kita semua berkonsentrasi pada upaya percepatan penanganan wabah yang berbasis darurat kesehatan. Pembahasan RUU Cipta Kerja tidak secara korelatif berkaitan dengan penyelesaian wabah Covid-19,” ujar Netty.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, partainya tegas meminta pembahasan RUU Cipta Kerja itu ditunda di dalam kondisi darurat penyakit Covid-19.