Kemenkumham perlu mengantisipasi potensi kerusuhan di LP/rutan lain menyusul kebijakan pembebasan napi dan anak untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kebijakan itu memicu kecemburuan napi lain yang juga berharap dibebaskan
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pemasyarakatan beserta kepala lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara perlu mengantisipasi ketidakpuasan atau kecemburuan narapidana yang tidak mendapatkan asimilasi dan integrasi dalam rangka penanganan Covid-19. Pengelola LP/rutan perlu lebih sensitif dalam melihat kondisi- kondisi yang bisa memicu timbulnya kerusuhan.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, menilai, potensi kerusuhan mestinya sudah disadari pemerintah sedari awal ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan pembebasan narapidana melalui asimilasi dan hak integrasi. Terlebih lagi jika muncul persepsi pembebasan itu dilakukan secara tak transparan kepada warga binaan. Pemerintah pun diharapkan lebih antisipatif karena kerusuhan di LP Kelas IIA Manado, Sulawesi Utara, dapat terjadi dan menular di LP lain.
Sabtu (11/4/2020), narapidana dan tahanan di LP Kelas IIA Manado merusak dan membakar gedung LP. Kerusuhan dipicu dari permintaan napi narkoba untuk dibebaskan sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Selain adanya kecemburuan, pembakaran tersebut terjadi karena petugas LP tidak mengizinkan salah satu warga binaan untuk melayat orangtuanya yang meninggal. Izin tidak diberikan karena khawatir akan penyebaran wabah Covid-19.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Andi Rio Idris Padjalangi, menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut. Apalagi, perusakan dan pembakaran gedung LP tersebut disebabkan kebijakan asimilasi dan integrasi yang dilakukan pemerintah.
”Yang mendapat asimilasi dan integrasi itu tidak semua warga binaan dan tidak serta-merta semua jenis pidana mendapatkannya,” kata Andi.
Andi mengatakan, timbulnya ketidakpuasan atau kecemburuan memang wajar. Namun, pengelola rutan atau LP mestinya lebih memperhatikan kemungkinan timbulnya masalah yang dipicu persoalan-persoalan kecil di dalam LP. Sebab, persoalan kecil atau perbedaan perlakuan yang tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan masalah besar sebagaimana terjadi di LP Manado.
Di sisi lain, Andi menyoroti adanya napi yang dibebaskan, tetapi malah kembali tersangkut masalah hukum, misalnya karena mencuri. Hal semacam itu terjadi karena mereka belum memiliki pekerjaan yang dapat menjadi sumber penghidupan.
Terkait dengan hal itu, Andi meminta agar pemerintah memikirkan secara lebih serius agar dampak negatif semacam ini ke depan tidak terulang kembali. Napi yang dibebaskan perlu disiapkan agar memiliki keterampilan atau diberi bantuan modal.
Hingga kini, ada 36.554 orang yang sudah dikeluarkan melalui asimilasi dan dibebaskan lewat program integrasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sebanyak 34.707 orang dikeluarkan melalui program asimilasi dan 1.847 orang dibebaskan dengan program integrasi.
Terkait kerusuhan, menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti, pihaknya masih menginventaris kerusakan dan kerugian akibat pembakaran gedung oleh napi atau tahanan di LP Kelas IIA Manado.
Peristiwa perusakan dan pembakaran LP Kelas IIA Manado bukanlah kasus pertama. Sebelumnya, insiden serupa juga pernah terjadi, misalnya di Rumah Tahanan Kelas IIB Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Rabu (12/2). Napi mengamuk setelah dijatuhi hukuman disiplin. Selain itu, jumlah napi di rutan tersebut juga melebihi kapasitas (Kompas, 13/2/2020).
Pada Mei 2019, narapidana di Lapas Narkotika Kelas III Langkat, Sumut, membakar sejumlah ruangan. Kerusuhan dipicu kekerasan yang dilakukan petugas LP terhadap napi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, ketika dihubungi, Minggu (12/4/2020), mengatakan, kerusuhan yang terjadi di LP Kelas IIA Manado adalah puncak gunung es dari persoalan kelebihan penghuni LP di Indonesia yang mencapai 105 persen.
”Wabah Covid-19 hanya menambah lensa bagi kita bahwa masalah sebenarnya lebih jelas, yakni penghuninya berlebih. Kalau tidak ada Covid-19 tetap akan terjadi kerusuhan dengan pemicu lainnya,” kata Erasmus.
Menurut Erasmus, kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri No 10/2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulanganan Penyebaran Covid-19 sudah tepat dalam kondisi darurat seperti saat ini. Yang menjadi alasan mendasar adalah kemanusiaan.
Oleh karena itu, kata Erasmus, perlu dipahami bahwa mereka yang diikutkan program tersebut adalah mereka yang sudah akan menjalani dua pertiga masa hukuman pada Desember mendatang. Mereka memang akan mendapatkan pembebasan bersyarat.
Kerusuhan yang dilakukan warga binaan narkotika di LP Kelas IIA Manado, kata Erasmus, berakar dari masalah makin sesaknya penjara. Terlebih, kerusuhan dilakukan oleh narapidana narkotika yang memang mendominasi penghuni LP dan rutan di Indonesia. Mestinya, penyalahguna atau pengguna narkoba tidak melulu harus dihukum penjara. Namun, sistem pidana di Indonesia masih belum memberikan alternatif pidana lainnya.
Berlebihnya penghuni LP dan rutan juga menyebabkan proses pembinaan tidak berjalan. Sebab, seorang petugas mesti mengawasi sampai ratusan warga binaan. Oleh karena itu, dalam kondisi darurat pandemi Covid-19, asimilasi dan integrasi yang dilakukan pemerintah mesti berdasarkan tingkat kerentanan, seperti berdasarkan usia, ibu hamil, ibu dengan anak, dan kejahatan yang sifatnya kerugiannya terbatas, seperti penyalahguna atau pengguna narkotika.
Lebih mendasar, menurut Erasmus, pemerintah perlu memperbaiki politik hukum pidana di Indonesia. Bentuk pidana penjara dapat diganti dengan alternatif pidana lainnya, semisal kerja sosial, rehabilitasi, atau dikembalikan kepada orangtua.
Terkait kondisi saat ini, kata Erasmus, pemerintah mesti memperkuat protokol proses asimilasi dan integrasi bagi warga binaan. Sebab, harapan yang timbul akibat kebijakan pemerintah tersebut dapat memicu kerusuhan di lapas atau rumah tahanan lain lain jika tidak ditangani dengan hati-hati.