Kebijakan pembebasan napi untuk menekan laju penyebaran wabah Covid-19 dapat dipahami. Namun, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi meningkatnya kriminalitas seiring melemahnya kondisi ekonomi.
Oleh
TOPAN YUNIARTO/Litbang Kompas
·5 menit baca
Kebijakan pembebasan napi untuk menekan laju penyebaran wabah Covid-19 dapat dipahami. Namun, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi meningkatnya kriminalitas seiring melemahnya kondisi ekonomi.
Hasil jajak pendapat Kompas secara daring pekan lalu menangkap adanya kegelisahan publik terkait kebijakan pembebasan narapidana tindak pidana umum di tengah penyebaran Covid-19 ini. Sebagian besar responden (71,2 persen) menyatakan tidak setuju jika narapidana kasus-kasus kriminal umum dibebaskan untuk mencegah penularan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara yang padat.
Meskipun demikian, publik cukup memahami kebijakan pembebasan ini tidak lepas dengan kondisi daya tampung lembaga pemasyarakatan yang sudah tidak ideal lagi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menerbitkan Peraturan Menkumham (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Napi dan Anak, serta Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04/2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Napi dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi.
Hingga 8 April 2020, narapidana dewasa dan anak yang dikeluarkan melalui Program Asimilasi dan Integrasi oleh Kemenkumham ini berjumlah 35.676 orang dan diperkirakan masih akan bertambah (Kompas, 9/4/2020). Hal ini disebabkan masih terdapat 23 provinsi yang lembaga pemasyarakatannya kelebihan penghuni.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah narapidana dan tahanan di Indonesia per 11 April 2020 mencapai 225.176 orang, sementara total daya tampung penjara hanya untuk 132.107 narapidana dan tahanan.
Jika dirata-rata, terdapat kelebihan penghuni 70 persen se-Indonesia. Tingkat kelebihan penghuni di LP dan rutan di Provinsi DKI Jakarta yang memiliki kasus Covid-19 terbanyak, mencapai 193 persen.
Publik jajak pendapat melihat pentingnya upaya pembebasan narapidana umum ini disertai dengan pengawasan dan pembinaan yang ketat saat narapidana kembali ke masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kekhawatiran publik atas dampak kerentanan aspek sosial dan keamanan selepas para pelaku kriminal tersebut bergerak bebas di masyarakat.
Selain itu, publik juga ragu bahwa upaya pembebasan ini akan efektif dalam mencegah penyebaran dan penularan Covid-19.
Sebagian besar responden (86,8 persen) menyatakan tidak yakin pembebasan narapidana akan mampu mencegah penularan Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan.
Kriminalitas
Banyaknya responden yang tidak setuju dengan kebijakan pembebasan narapidana umum ini tidak lepas oleh adanya kekhawatiran mereka akan dampak yang muncul dari kebijakan ini.
Hampir semua responden (91,5 persen) menyatakan khawatir dengan dibebaskannya narapidana yang belum habis masa tahanannya akan memunculkan tindak kriminal baru di masyarakat.
Nantinya, narapidana yang baru keluar dari LP atau rutan akan langsung berhadapan dengan kondisi perekonomian yang sedang lesu akibat wabah Covid-19. Menurunnya aktivitas perekonomian akibat wabah Covid-19 menjelang bulan puasa dan Lebaran akan mengakibatkan potensi ganda ancaman bagi stabilitas sosial dan keamanan dalam masyarakat.
Bukan mustahil angka kriminalitas akan kembali meningkat. Biasanya, dalam situasi normal sekalipun tindak kriminalitas, terutama kasus pencurian dan kriminal ringan, cenderung meningkat menjelang hari raya.
Sebelumnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia memastikan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) selama pandemi Covid-19 relatif kondusif. Polri mencatat angka kejahatan selama pandemi ini turun 11 persen.
Berdasarkan Statistik Kriminal dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sejumlah tindak kriminal, yaitu pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, pencurian dengan kekerasan, pencurian tanpa kekerasan, narkotika, penganiayaan, penipuan, penggelapan, dan korupsi.
Di antara jenis tindak kriminalitas tersebut, kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir. Sementara jenis kriminalitas lainnya cenderung menurun.
Terkait telah diterapkannya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah berlaku di sejumlah wilayah, terutama di DKI Jakarta, tentu proses pembimbingan narapidana menghadapi tantangan tersendiri, terutama dengan protokol kesehatan yang diberlakukan.
Polemik
Upaya pembebasan napi ini sempat menjadi polemik dan tarik ulur di DPR. Pasalnya, kebijakan Menkumham dinilai diskriminatif oleh DPR karena tidak mengikutsertakan narapidana korupsi. DPR kemudian mencari cara agar dapat mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
PP ini mengatur pengetatan pemberian remisi dan asimilasi serta pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana khusus. Mereka adalah narapidana korupsi, teroris, dan bandar narkoba, serta pelanggar HAM berat.
Upaya DPR itu terlihat dari desakan Komisi III agar Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan segera disahkan. Namun, sejumlah elemen masyarakat sipil menolak RUU ini karena dinilai tidak tepat, yaitu terdapat norma yang akan membatalkan norma dalam PP No 99/2012.
Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan merevisi PP No 99/2012 dan menyatakan pembebasan hanya untuk narapidana umum (Kompas, 6/4/2020). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga menegaskan, alasan tidak mencabut PP No 99/2012 didasarkan pada kondisi LP dan rutan yang ditempati napi korupsi tidak padat. Selain itu, korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur berbeda. Korupsi, terorisme, bandar narkoba, dan pelanggar HAM berat merupakan kejahatan luar biasa.
Kekhawatiran akan lahirnya kasus-kasus kriminalitas seiring dengan kebijakan pembebasan narapidana ini menjadi dilema tersendiri bagi publik.
Jika dibiarkan, penyebaran wabah Covid-19 berpotensi semakin merajalela. Di sisi lain, pembebasan narapidana seiring dengan wabah Covid-19 ini juga harus menjadi momentum bagi negara untuk membenahi manajemen dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan.
Kebijakan pemerintah yang memberikan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi diharapkan tidak akan menjadi bumerang bagi rasa aman masyarakat. Rencana pembimbingan dan pengawasan oleh petugas Balai Pemasyarakatan kiranya bisa dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.