Revisi UU MK diusulkan oleh Ketua Badan Legislatif DPR Supratman Andi Atgas. Ia mengaku tak memiliki kepentingan apa pun dengan mengusulkan revisi itu. Ia hanya ingin menyamakan aturan pensiun hakim agung dan hakim MK.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kawat berduri untuk pengamanan terpasang di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Minggu (21/7/2019). Pengamanan ketat oleh petugas kepolisian ini terkait masih berlangsungnya sidang perselisihan hasil Pemilu Legislatif 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ternyata diusulkan oleh perseorangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat selaku pengusung tunggal. Demikian pula dengan isi draf revisi beserta naskah akademiknya, juga disusun dan dibantu oleh tenaga ahli anggota DPR bersangkutan.
Pengusung tunggal RUU tersebut, Supratman Andi Agtas, yang juga adalah Ketua Badan Legislasi DPR, Kamis (9/4/2020), saat dihubungi dari Jakarta, mengaku menggunakan hak inisiatif anggota DPR untuk mengusulkan suatu RUU dan hal itu dibolehkan. ”Soal RUU MK, ya, itu memang usulan saya. Usulan personal saya secara pribadi sebagai anggota DPR,” katanya.
Ia membantah jika ada tudingan atau kecurigaan terkait motivasi atau kepentingan pribadi tertentu di balik pengusulan RUU MK tersebut. ”Enggak, tidak ada motivasi atau kepentingan pribadi sama sekali. Ada kepentingan pribadi apa saya dengan mengajukan RUU itu, tidak ada itu,” kata Supratman.
Tidak ada motivasi atau kepentingan pribadi sama sekali. Ada kepentingan pribadi apa saya dengan mengajukan RUU itu, tidak ada itu.
Sebelumnya, pada rapat paripurna, 2 April 2020, DPR menyetujui RUU MK menjadi salah satu RUU inisiatif DPR. Motif pengusulan RUU itu dipertanyakan, antara lain karena diusulkan saat momentum negara dalam kondisi darurat penyakit Covid-19. Sejumlah pihak menyoroti substansi RUU tersebut yang juga tidak menyasar kebutuhan publik ataupun institusi MK sebagai penjaga konstitusi. Selain itu, ada kecenderungan DPR ingin memuluskan paket UU yang kontroversial di masyarakat, seperti saat mereka memuluskan revisi UU KPK (Kompas, 9/4/2020).
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Atgas, di Malang, Jumat (29/11/2019).
Supratman mengatakan sudah ada kesepakatan dengan pemerintah untuk mengusulkan RUU MK sejak masa sidang sebelumnya. Bahkan, ketika itu pemerintah ingin menjadi pengusung.
”Tetapi, saya bilang enggak. Saya berkepentingan untuk menjadi pengusul MK. Dari dulu saya selalu berpendapat perlu ada perlakuan yang sama antara hakim agung di Mahkamah Agung dan hakim konstitusi,” katanya.
Perlakuan yang sama itu ditunjukkan dengan usulan masa pensiun hakim konstitusi hingga 70 tahun, sebagaimana hakim agung. Di sisi lain, draf yang disusun oleh Supratman itu juga mengusulkan agar syarat untuk menjadi hakim konstitusi ialah 60 tahun. Alasannya, usia 60 tahun dinilainya bisa menjadi patokan untuk memastikan sifat kenegarawanan seseorang.
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, lanjut Supratman, perlu direvisi karena ada beberapa putusan MK terkait UU itu yang belum ditindaklanjuti. Beberapa kali hasil uji materi terhadap UU MK itu akan disisir kembali dan dimasukkan substansinya ke dalam pembahasan RUU MK di DPR.
”MK itu, kan, dalam beberapa putusannya terkait dengan UU MK membatalkan sejumlah norma. Sebab, UU MK juga pernah diuji dan putusan soal itu perlu kita sesuaikan untuk masuk di dalam pembahasan RUU MK. Karena itulah, RUU ini masuk ke dalam RUU kumulatif terbuka,” katanya.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Persidangan lanjutan di Mahkamah Konstitusi terhadap enam permohonan pengujian formal dan material Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (4/3/2020), berfokus pada keterangan tiga ahli. Salah satu yang dibahas ialah tentang prosedur sebagai jantung hukum.
RUU kumulatif terbuka artinya RUU MK bukan termasuk RUU prioritas di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU itu bisa kapan pun dibahas jika diperlukan.
Supratman mengatakan, penyusunan draf dan naskah akademik RUU MK itu pun sepenuhnya berasal darinya bersama dengan tenaga ahli anggota DPR.
”Penyusunan draf dan naskah akademiknya memerlukan waktu sehingga baru sekarang bisa diusulkan dan akhirnya disetujui untuk menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, sejak dari masa sidang yang lalu sudah diusulkan dan disepakati dengan pemerintah. Jadi, ini bukan RUU yang tiba-tiba muncul,” katanya.
Sementara waktu pembahasan RUU MK, menurut Supratman, menunggu respons dari pemerintah. Presiden memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surat presiden (surpres) dan menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Setelah surpres diterima, baru pembahasan dapat dilakukan dengan memulai rapat kerja antara DPR dan pihak-pihak terkait.
Mantan Wakil Ketua MK Abdul Mukhtie Fadjar mengatakan, UU MK yang ada sekarang masih memadai dan tidak mendesak untuk diubah. Dengan UU yang ada sekarang, MK masih bisa bekerja dengan baik dan tidak memiliki kendala apa-apa. Oleh karena itu, usulan untuk membahas RUU MK itu pun dipandang tidak mendesak sama sekali.
”Tidak ada urgensinya membahas RUU itu. MK tidak ada ruginya kalau RUU itu tidak dibahas oleh DPR. Masyarakat juga tidak ada untungnya kalau RUU itu dibahas sekarang,” katanya.
Tidak ada urgensinya membahas RUU itu. MK tidak ada ruginya kalau RUU itu tidak dibahas oleh DPR. Masyarakat juga tidak ada untungnya kalau RUU itu dibahas sekarang.
Jikalau yang dimaksud pengusul ialah untuk memperbaiki mekanisme perekrutan hakim konstitusi, menurut Mukhtie, tidak perlu juga diatur di dalam UU MK. Pemerintah, MA, dan DPR seharusnya membuat peraturan pelaksana yang bisa menerjemahkan mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang transparan dan partisipatif.
Mengenai masa pensiun hakim konstitusi yang diusulkan hingga usia 70 tahun, Mukhtie mengatakan, usulan itu berlebihan. ”Sudah cukuplah lima tahun atau dua kali saja dipilih kembali. Kalau kelamaan duduk jadi hakim konstitusi, nanti lupa berdiri. Yang harus dilakukan ialah memastikan sirkulasi hakim konstitusi itu berjalan dengan baik. Berilah kesempatan kepada anak bangsa terbaik lainnya,” ujarnya.
Mantan hakim MK lainnya, Maruarar Siahaan, mengatakan, usulan untuk merevisi UU MK itu boleh saja dilakukan dengan segala alasannya. Namun, sangat tidak tepat sekali kalau pembahasannya dilakukan saat darurat penyakit Covid-19.
Kompas
Hakim konstitusi Maruarar Siahaan
”Pembahasan RUU MK itu bisa menunggu, tetapi kalau virus ini tidak bisa menunggu. Kita harus perang total melawan virus ini. Sebaiknya seluruh energi dikerahkan untuk mengatasi virus ini. DPR ini, kan, wakil rakyat sehingga harus bersama-sama rakyat melawan virus ini,” ujarnya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, pembahasan RUU MK itu memerlukan pelibatan publik secara luas. Draf RUU itu pun memantik banyak perdebatan sehingga untuk bisa benar-benar membahas RUU itu dengan mendalam, sebaiknya DPR tidak melakukannya di tengah-tengah kondisi darurat.
”Tidak fair kalau pembahasannya dilakukan sekarang. Sebab, pembahasannya harus melibatkan banyak pihak, seperti MK, akademisi, dan publik yang lebih luas. Oleh karena itu, kenapa semua mesti dikejar-kejar dalam kondisi seperti ini,” ujarnya.
UU MK yang ada saat ini pun, lanjut Veri, masih relevan dan MK masih bisa bekerja dengan baik berdasarkan payung hukum tersebut.