Pandemi Covid-19 tak selalu direspons cepat oleh pemerintah mana pun. Termasuk dalam hal komunikasi terkait penanganan penyebaran virus korona baru dan langkah-langkah terkait upaya pencegahan saat mudik mendatang.
Oleh
Anita Yossihara dan Nina Susilo
·6 menit baca
Menteri Sekretaris Negara Pratikno tiba-tiba mengirim pranala berita sebuah media online ke grup percakapan Whatsapp pada Kamis (2/4/2020) petang. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu pun menyampaikan pesan untuk meluruskan berita yang berisi pernyataan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman.
”Rekan-rekan wartawan, yang benar adalah: Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik. Dan pemerintah menyiapkan bantuan sosial yang diperbanyak penerima manfaatnya dan diperbesar nilainya kepada masyarakat lapisan bawah. Hal ini sejalan dengan keputusan Presiden tentang PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” tulis Pratikno dalam pesan singkat yang dikirim ke grup Whatsapp berisi para wartawan peliput Istana Kepresidenan dan para menteri.
Pranala yang dikirim Pratikno berisi berita berjudul, ”Istana: Mudik Boleh Tapi Wajib Isolasi Mandiri dan Berstatus ODP”. Berita itu berisi keterangan tertulis Fadjroel yang menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak melarang mudik Lebaran 2020. Tetapi, para pemudik wajib menjalani isolasi mandiri selama 14 hari dan berstatus ODP (orang dalam pemantauan) yang diawasi pemerintah.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keterangan resmi yang dikeluarkan Fadjroel. Sebab, sebenarnya pemerintah memang tak melarang mudik meski tetap melakukan berbagai upaya untuk menekan arus mudik Lebaran. Namun, sekilas, jika melihat judul rilis yang dikeluarkan juru bicara memang terkesan pemerintah memperbolehkan mudik.
Karena itulah Pratikno merasa perlu meluruskan dengan menyampaikan bahwa pemerintah mengajak, bahkan melakukan berbagai upaya, agar masyarakat tidak mudik ke kampung halaman. Tak hanya memperbanyak jumlah penerima bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), juga bantuan langsung tunai (BLT), pemerintah juga mulai membagikan kartu prakerja. Tak hanya itu, khusus untuk 4,1 juta keluarga tidak mampu di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Raya, dan Bekasi, pemerintah juga menyiapkan bantuan sosial khusus berupa bahan pangan senilai Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan berturut-turut.
Pratikno merasa perlu meluruskan dengan menyampaikan bahwa pemerintah mengajak, bahkan melakukan berbagai upaya, agar masyarakat tidak mudik ke kampung halaman.
Terkait mudik di tengah wabah Covid-19, Presiden Jokowi juga mempertimbangkan untuk menggeser hari libur nasional untuk Lebaran ke bulan lain setelah pandemi mereda. Tidak hanya itu, pada hari yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menyampaikan upaya untuk mengatur kapasitas penumpang angkutan umum guna menekan arus mudik. Jumlah penumpang angkutan umum akan dibatasi sehingga konsekuensinya harga tiket akan naik.
Sementara itu, Jumat (3/4/2020), Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan akan meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram mudik. Permintaan itu disampaikan berdasarkan hasil audiensi dengan sejumlah gubernur yang menyatakan mudik sangat membahayakan karena dapat mengakibatkan penyebaran Covid-19 semakin meluas.
Di daerah, para gubernur juga sibuk mengampanyekan imbauan kepada warganya di perantauan agar tidak mudik Lebaran. Kampanye secara masif itu setidaknya dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pada ratas membahas antisipasi mudik, Senin (30/3/2020), Presiden meminta para kepala daerah melakukan langkah-langkah yang lebih tegas untuk mencegah pergerakan orang. Ini karena imbauan yang disampaikan pemerintah untuk tidak mudik ternyata tidak mempan. Buktinya, satu pekan terakhir pada Maret, terdapat 876 armada bus antarprovinsi yang membawa sekitar 14.000 penumpang dari Jabodetabek ke kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pernyataan Presiden pun disambut dengan dikeluarkannya surat edaran Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang memutuskan penghentian operasional semua layanan bus antarkota antarprovinsi dan antar jemput antarprovinsi dengan trayek asal dan tujuan DKI Jakarta. Namun, surat itu kemudian dianulir oleh pemerintah pusat.
Tak hanya itu, pada ratas kedua di hari yang sama, Presiden Jokowi menyampaikan pilihan yang diambil pemerintah adalah pembatasan sosial berskala besar dengan kebijakan darurat sipil.
Membingungkan
Meskipun sudah diluruskan, kesalahpahaman publik telanjur ada. Perbedaan pernyataan itulah yang akhirnya membuat sebagian masyarakat bingung meski ada juga yang akhirnya paham.
”Bukan bingung lagi, tapi bingung banget. Kalau dari kami pelaku bisnis, seharusnya pemerintah itu do something dari kemarin-kemarin. Kalau mau lockdown, ya, dari awal saja,” kata Danang, profesional muda yang berkantor di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, tanpa merinci makna lockdown tersebut.
Perbedaan pernyataan serta silang pendapat di depan publik terkait penanganan Covid-19 memang sering terjadi. Tak jarang, para pejabat juga menyampaikan pernyataan yang blunder.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat, setidaknya sudah 37 kali pernyataan blunder atau kekeliruan dalam berkomunikasi yang dibuat para pejabat pemerintahan.
”Dalam tempo kurang dari 100 hari sejak wabah korona menjadi isu dan ancaman Indonesia sejak akhir Januari, telah ada 37 pernyataan blunder yang dikeluarkan Jokowi dan kabinetnya dalam penanganan Covid-19,” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto dalam diskusi daring membahas Blunder Komunikasi Politik Kabinet Jokowi di Era Pandemi, Senin (6/4/2020).
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, menyampaikan, inkonsistensi pesan pemerintah pusat menunjukkan banyak ”noise” dalam pola komunikasi pemerintah, tetapi sedikit ”voice”. Hiruk pikuk, tetapi pesannya jadi tak jelas.
Hal ini, dalam analisis Gaffar, bisa disebabkan ketidaktahuan pemerintah yang sejak awal tidak menganggap serius Covid-19. Namun, perbedaan pernyataan itu bisa jadi merupakan petunjuk tentang adanya kekuatan-kekuatan politik yang bersaing di pemerintahan. Persaingan bisa saja terjadi antara kekuatan politik sektoral yang sudah terjadi sejak lama dan bisa juga kekuatan politik yang muncul akibat tarik-menarik beragam kepentingan dalam koalisi.
”Dalam sebuah koalisi selalu ada kebutuhan menengahi untuk menyatukan langkah dan menjaga posisi partai di depan konstituen. Tapi, upaya memuaskan konstituen selalu berkonflik dengan upaya menyatukan langkah ini. Akhirnya selalu ada cara untuk menunjukkan dirinya paling bagus di antara pihak-pihak yang ada dalam koalisi,” tutur Gaffar. Hal ini diperparah kebutuhan untuk membangun popularitas dan elektabilitas menjelang pilkada, bahkan Pemilu 2024.
Karena itu, saat menghadapi wabah Covid-19 yang terus mengakibatkan banyak warga meninggal, termasuk dokter dan tenaga medis lainnya, semestinya para elite dan politisi mengesampingkan perbedaan-perbedaan cara pandang dalam menyiapkan kebijakan.
Dalam krisis seperti ini, ujar Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES, aspek-aspek komunikasi sangat penting. Harus ada agen yang tegas dan bisa mewakili pemerintah dalam menyampaikan kebijakan-kebijakan penting. Pesannya pun tak perlu menutup-nutupi atau membantah kenyataan pahit. Justru dengan menyampaikan kenyataan secara terbuka dan langkah mitigasi yang dilakukan, komunikasi akan berjalan efektif serta manfaatnya akan segera terasa.
Dalam sebuah koalisi selalu ada kebutuhan menengahi untuk menyatukan langkah dan menjaga posisi partai di depan konstituen. Tapi, upaya memuaskan konstituen selalu berkonflik dengan upaya menyatukan langkah ini.
Empati pun diperlukan untuk menyertai komunikasi dalam krisis. Sayangnya, tak banyak pesan yang diawali dengan permintaan maaf karena salah memberikan informasi, apresiasi, atau pesan-pesan lain yang menyentuh kemanusiaan.
Semakin berlarut-larut komunikasi, semakin tak jelas kebijakan pemerintah dalam menanggulangi Covid-19. Sebab, menurut Wijayanto, masyarakat bisa memilih pesan mana yang bisa dipercaya. Apabila subyek tak kredibel, pesan tak fokus, gestur tidak simpatik; masyarakat bisa mencari saluran lain untuk mendapatkan informasi. Masalahnya, apakah informasi ini yang dipercaya masyarakat benar-benar sahih atau malah hoaks?