Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat Hingga Usia 70 Tahun
DPR akan merevisi UU MK. Poin-poin revisi dinilai sama sekali tidak menyentuh substansi permasalah di MK, tetapi lebih fokus mengatur masa jabatan hakim konstitusi dan ketua/wakil ketua MK.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Presiden Joko Widodo berfoto dengan para hakim konstitusi usai mengikuti Sidang Pleno Penyampaian Laporan Tahunan 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/1/2020). Sidang berisikan paparan kinerja MK yang menjadi bagian dalam upaya MK untuk mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai lembaga negara dn lembaga peradilan konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS – Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang pada 2 April 2020 lalu disepakati menjadi RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, disoroti oleh masyarakat sipil. Sebab, revisi kedua UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut tidak menyentuh substansi permasalahan yang ada di tubuh badan peradilan konstitusi tersebut. Revisi undang-undang itu justru lebih banyak mengatur tentang masa jabatan, baik hakim konstitusi maupun ketua dan wakil ketua MK.
Koordinator Publik Interest Lawyer Network (PILNET) Indonesia Erwin Natosmal Oemar, Rabu (8/4/2020) dihubungi dari Jakarta, mengatakan, revisi UU MK memang dibutuhkan. Namun, substansi revisi yang sebaiknya diatur bukan seperti draf revisi UU MK yang beredar di sejumlah kalangan saat ini.
Pasal 4 draf revisi itu mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun. Ketentuan ini hendak mengubah pasal yang sama di dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 24/2003 diatur bahwa masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan.
Selain itu, draf tersebut juga akan mengubah syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Apabila di dalam UU sebelumnya diatur usia minimal hakim konstitusi adalah 47 tahun, maka di dalam draf revisi diatur bahwa untuk menjadi hakim konstitusi harus berusia setidaknya 60 tahun.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kemenkumham Agus Hariadi, mewakili Presiden/Pemerintah, memberikan keterangan dalam sejumlah perkara persidangan tentang pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (19/11/2019). Persidangan tersebut juga mendengarkan keterangan dari DPR.
Draf RUU tersebut juga menghapus Pasal 22 UU No 23/2004 yang mengatur tentang masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan itu diganti dengan Pasal 87 Huruf c draf revisi, yang menyebutkan "Apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 (enam puluh) tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun."
Menurut Erwin, revisi UU MK sebenarnya memang dibutuhkan, khususnya untuk mengatur tentang kesamaan standar seleksi hakim konstitusi, pengawasan hakim, dan hukum acara persidangan. Ketiga masalah tersebut merupakan persoalan krusial di MK.
Mengenai standar seleksi hakim konstitusi misalnya, selama ini dilakukan dengan berbeda-beda cara dan standar oleh lembaga pengusul (DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung). Seleksi yang dilakukan pemerintah dinilai Erwin relatif terbuka sebab pemerintah membentuk panitia seleksi yang melibatkan publik di dalam proses seleksinya. Berbeda dengan Mahkamah Agung yang selama ini cenderung tertutup.
“Selama ini belum ada standar seleksi hakim konstitusi yang sama dan konsisten. Ini harus dibenahi supaya tidak banyak hakim konstitusi dengan seleksi sembarangan yang akhirnya melakukan pelanggaran,” ujar Erwin.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dari Presiden Harjono (tengah) didampingi dua anggota Pansel Calon Hakim MK Maruarar Siahaan (kiri) dan Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) memberikan kata pengantar sebelum dimulainya ujian seleksi Hakim MK di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara, Cipete, Jakarta Selatan, Senin (2/11/2019). Ada 17 nama yang mendafar sebagai calon hakim konstitusi untuk menggantikan posisi I Dewa Gede Palguna yang akan mengakhiri masa baktinya pada 7 Januari 2020. Pansel dijadwalkan akan menyerahkan nama calon hakim konstitusi pengganti I Dewa Palguna pada 18 Desember 2019 kepada Presiden Joko Widodo.
Selain itu, aturan yang perlu dimasukkan dalam revisi UU MK itu adalah pengawasan hakim yang lebih efektif. Selama ini, pengawasan hakim konstitusi masih dilakukan secara internal oleh Dewan Etik MK. Hasil pengawasan pun berupa kebijakan yang sifatnya rekomendatif. Sehingga, netralitas dan obyektivitas pengawasan kerap dipertanyakan. Mekanisme seperti ini dinilai tidak cukup untuk membentuk iklim yang sehat dalam pengawasan hakim MK. Diperlukan pengawasan yang kuat dan mengikat dengan melibatkan pihak independen di luar MK.
Selain itu, juga terkait hukum acara persidangan di MK. Menurut Erwin, selama ini tafsir mengenai hukum acara di MK diserahkan langsung ke MK. Dari pengalaman sengketa pemilihan presiden misalnya, banyak masalah muncul yang disebabkan oleh hukum acara MK. DPR seharusnya dapat mengatur hukum acara sehingga tidak memunculkan masalah di kemudian hari.
“Tiga hal substantif itu justru tidak ada dalam revisi UU MK. Yang ada justru malah soal perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua dan mekanisme syarat hakim konstitusi yang tadinya 40 tahun menjadi 60 tahun. Urgensinya apa?,” kata Erwin.
Sementara itu, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, sebelum UU MK direvisi, MK sudah banyak dimintai banyak pendapat terkait beberapa hal terutama praktik hukum acara. Masukan dari MK tersebut sudah diberikan saat pembahasan draft RUU beberapa tahun yang lalu. Setelah itu, prosesnya diserahkan kepada pembentuk UU. Sebab, MK tidak terlibat dalam proses legislasi.