Desakan agar DPR menunda pembahasan sejumlah RUU bermasalah di tengah pandemi Covid-19 kian menguat. Kenegarawanan DPR diuji.
Oleh
Anita Yossihara/Rini Kustiasih/Nikolaus Harbowo/Edna C Pattisina
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (02/04/2020). Rapat paripurna tersebut antara lain meminta persetujuan terhadap tindak lanjut pembahasan RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan meminta persetujuan dan pengambilan keputusan tentang tata tertib DPR.
JAKARTA, KOMPAS - Desakan agar Dewan Perwakilan Rakyat menunda pembahasan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah di tengah kesulitan rakyat menghadapi Covid-19 terus disuarakan. Ini saatnya sikap kenegarawanan ditunjukkan anggota DPR. Sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya menunjukkan solidaritas dan keberpihakan di tengah kesulitan rakyat, bukan justru menambah berat beban rakyat.
”Di tengah kesulitan rakyat, ditambah lagi petugas medis, menghadapi Covid-19, sesungguhnya ujian kenegarawanan dan sensitivitas elite politik di DPR sangat diuji. Saat inilah sesungguhnya status dan atribut wakil rakyat itu seharusnya betul-betul mencerminkan denyut nadi penderitaan rakyat,” tutur Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat dihubungi Kompas, Jumat (3/4/2020).
Pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (2/4), surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja dibacakan. Pembacaan surpres membuka jalan pembahasan RUU yang dibentuk dengan metode omnibus law itu. Padahal, RUU ini banyak dipersoalkan publik, di antaranya kalangan buruh.
Rapat Paripurna DPR juga menyetujui RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan dilanjutkan pembahasannya ke tingkat II atau persetujuan pengesahan menjadi UU di Rapat Paripurna DPR. Kedua RUU itu termasuk di antara sejumlah RUU kontroversial yang ditentang publik sehingga memicu unjuk rasa besar-besaran di sejumlah daerah, akhir September 2019.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas medis melakukan yel-yel saat akan mengikuti simulasi penanganan pasien Covid-19 di rumah sakit darurat Covid-19 di Desa Kemiri, Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (3/4/2020). RS darurat tersebut memanfaatkan bangunan rusunawa yang belum dihuni di atas lahan seluas 7.777 Meter persegi. Pengerjaan rusunawa menjadi RS darurat dikebut selama tujuh hari dan RS itu ditargetkan dapat digunakan pada Senin (6/4/2020) mendatang.
Haedar melanjutkan, jika DPR justru memanfaatkan situasi darurat saat ini untuk mengambil keputusan yang menimbulkan kontroversi, kenegarawanan mereka dipertanyakan.
”Di mana tanggung jawab politik kerakyatan dan kepentingan bangsa yang lebih luas mau diletakkan oleh para anggota DPR? Di sinilah saya percaya DPR betul-betul mendengarkan suara rakyat dan nasib bangsa kita,” ujarnya.
Di mana tanggung jawab politik kerakyatan dan kepentingan bangsa yang lebih luas mau diletakkan oleh para anggota DPR? Di sinilah saya percaya DPR betul-betul mendengarkan suara rakyat dan nasib bangsa kita.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj juga mendorong agar DPR lebih fokus pada penanganan Covid-19 dan menunda pembahasan ketiga RUU bermasalah tersebut. ”Mari kita semua fokus bersama-sama melawan virus korona. Kita tidak boleh kalah dan harus melawan,” katanya.
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Minggu (29/3/2020).
Tak ada solidaritas
Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Paulus Christian Siswantoko Pr, pembahasan sejumlah RUU bermasalah di tengah pandemi Covid-19 merefleksikan pengabaian terhadap penderitaan rakyat.
”Kalau DPR dan pemerintah ngotot membahas regulasi bermasalah tersebut, rakyat melihat tidak ada rasa solidaritas dari wakil rakyat untuk rakyat yang sedang menderita. Saat ini, kan, yang dibutuhkan solidaritas,” ujar Siswantoko.
Juru Bicara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Iftitahsari, mengatakan, menunda pembahasan RUU akan menunjukkan keberpihakan DPR dan pemerintah kepada rakyat.
Sebaliknya, apabila tetap dibahas, menurut peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, akan muncul anggapan DPR dan pemerintah mencuri kesempatan dalam kesempitan ketika seluruh bangsa tengah fokus menghadapi Covid-19.
Mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut rencana pengesahan sejumlah RUU dibatalkan. RUU dimaksud, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan.
Kesepakatan fraksi
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan, pembacaan surpres RUU Cipta Kerja dan persetujuan tindak lanjut pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, di paripurna merupakan keputusan seluruh fraksi dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Rabu lalu. Khusus surpres RUU Cipta Kerja, kewajiban pimpinan membacakan setiap surat yang diterima pimpinan di paripurna.
Mengenai kuatnya desakan publik agar DPR menunda pembahasan ketiga RUU tersebut, Azis mengatakan, penundaan pembahasan merupakan kewenangan fraksi-fraksi.
”Tidak masalah apakah mau dibahas dalam sebulan, dua bulan, atau setelah pandemi berakhir, itu tergantung kepada sikap fraksi-fraksi,” katanya.
Akan tetapi, Badan Legislasi (Baleg) DPR yang ditugaskan untuk membahas RUU Cipta Kerja tampaknya akan tetap melanjutkan pembahasan. Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan akan segera menyusun jadwal pembahasan. Kemudian dilanjutkan uji publik. ”Uji publik dengan semua pihak,” katanya.
Terkait desakan agar omnibus law itu ditunda pembahasannya, Supratman berdalih, pada masa persidangan DPR kali ini, Baleg belum akan masuk ke pembahasan inti, tetapi masih mengutamakan uji publik.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Buruh dari berbagai elemen berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di Jalan A Yani, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/3/2020).
Adapun terkait RKHUP dan RUU Pemasyarakatan, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Hery membantah kedua RUU yang sudah disetujui disahkan menjadi UU di tingkat pertama oleh DPR periode 2014-2019 itu bakal langsung dibawa ke paripurna.
”Masih harus dilanjutkan pembahasannya di Komisi III. Artinya, beberapa pasal krusial harus dibicarakan atau disosialisasikan dulu. Tidak pernah ada pembicaraan pembahasan hanya satu pekan di Komisi III, baik di anggota maupun pimpinan, lalu langsung dibawa ke paripurna,” katanya.
Hal senada disampaikan juga oleh Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni. Menurut dia, pembahasan ulang penting karena masih ada sejumlah pasal yang bermasalah. ”Maka itu, perlu pembahasan kembali,” ucapnya.