Seluruh elemen bangsa perlu fokus pada satu upaya, yaitu menangani wabah Covid-19. Di luar agenda itu, seperti keinginan-keinginan untuk membahas RUU omnibus law dan RKUHP oleh DPR sebaiknya ditunda dahulu.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Bangsa ini termasuk bangsa di dunia yang tengah memasuki masa sulit. Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sistem. Sistem keuangan lunglai dan sistem kesehatan menanggung beban berat. Layanan sistem kesehatan tidak sanggup menghadapi badai pandemi. Berburu rumah sakit menjadi pekerjaan yang amat-amat sulit. Karena itu, upayakan jangan sakit di era sekarang ini.
Tradisi keagamaan yang telah hidup berabad-abad pun harus menyesuaikan diri. Jabat tangan sebagai tanda silaturahmi dalam sistem sosial, misalnya, tak lagi dianjurkan karena bisa mendatangkan bencana. Ciri manusia Indonesia yang komunal pun harus dihadapkan pada kenyataan baru, yakni individualistis dan isolasionis. Mudik Idul Fitri yang selalu menjadi ritual tahunan pun kini dianjurkan tidak lagi dilakukan.
Dunia seakan berhenti berputar untuk menemukan new normal, yang belum bisa diketahui kapan situasi normal yang baru itu akan terjadi. Sebagaimana ditulis Yuval Noah Harari dalam The Financial Times, ”Badai pasti berlalu, umat manusia akan tetap bertahan, tetapi dunia tempat kita tinggal akan berbeda.”
Namun, dunia seperti apa, negara bangsa seperti apa, tergantung pada bagaimana pemimpin menangani badai pandemi. Dalam situasi krisis seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah kecepatan bertindak dan kejujuran akan data. Kejujuran akan data akan ikut menentukan kebijakan yang diambil. Di Indonesia justru isunya adalah perdebatan soal akurasi data. Perbedaan data pusat dan daerah. Padahal, bagi masyarakat, semua itu, ya, sama: pemerintah.
Masalah yang terjadi pada sebagian elite bangsa ini, terlalu banyak drama yang terjadi. Drama terjadi karena, dalam bahasa wartawan senior Jakob Oetama, bangsa ini tengah memasuki masyarakat yang tidak tulus. Drama juga terjadi karena faktor rivalitas politik. Masyarakat pun terbelah menjadi penghamba berlebih dan pembenci berlebih. Akal sehat pun hilang. Drama juga terjadi karena komunikasi teks dilepaskan dari konteksnya. Drama juga terjadi karena bahan komunikasi, apakah itu rekomendasi atau saran, bocor duluan di media sosial. Kehebohan pun terjadi.
Presiden Joko Widodo kadang juga memberikan keterangan tidak lengkap. Misalnya, saat mengaitkan pembatasan sosial berskala besar dengan darurat sipil. Kontroversi pun terjadi. Ada lagi isu penutupan jalan tol yang membingungkan publik, padahal belum ada keputusan apa-apa. Ada lagi diskursus soal kaya-miskin dalam pandemi Covid-19. Sebuah blunder komunikasi yang tidak perlu. Ketika krisis belum ketahuan kapan akan berakhir, saatnya drama elite itu diakhiri. Di sinilah, menjadi penting apa yang ditulis Hadisudjono Sastrosatomo, seorang penulis Surat Kepada Redaksi Kompas, (Kamis, 2/4/2020), yakni keberpihakan pada masa sulit.
Masyarakat pun terbelah menjadi penghamba berlebih dan pembenci berlebih. Akal sehat pun hilang.
Pemimpin pusat dan daerah harus memiliki satu sikap untuk menunjukkan keberpihakannya. Keberpihakan kepada keselamatan masyarakat adalah hukum tertinggi. Apabila prinsip itu dipegang tanpa ada masalah rivalitas politik personal, bangsa ini akan dapat melalui masa-masa sulit. Drama ini harus segera diakhiri, kemudian membangun gerakan sosial yang menggelorakan semangat gotong royong. Berbela rasa harus ditunjukkan kepada para petugas kesehatan yang bertaruh nyawa demi kemanusiaan, berbela rasa kepada mereka yang ”dihinggapi” korona, dan mereka yang terimbas dampak pandemi.
Gotong royong sebagai istilah yang khas Indonesia ditekankan kembali oleh Duta Besar Korea Selatan Kim Chang-beom dalam artikelnya di harian Kompas, Jumat (3/4), berjudul ”Peduli Sesama dan Bergotong Royong sebagai Kunci”. ”Indonesia tidak sendirian, Korea Selatan bersedia bahu-membahu menghadapi pandemi ini,” tulis Dubes Kim. Sebuah sikap simpatik.
Jiwa gotong royong itu ada dan nyata. Masyarakat sipil telah bergerak dan menunjukkan keberpihakannya. Media massa menggalang dana dan menyalurkannya kepada yang membutuhkan. Konser amal digelar untuk bersimpati kepada tenaga kesehatan. Ada lagi gerakan menyalurkan nasi bungkus kepada orang yang sangat terdampak. Gerakan itu ada pada level masyarakat dan dunia usaha. Akan tetapi, gerakan bersama membangun solidaritas itu justru belum terlalu tampak di kalangan partai politik. Partai justru terasa hilang ketika badai pandemi terjadi. Paripurna DPR dibuka dan akan membahas RUU Perpajakan dan Cipta Kerja. Seperti asyik dengan agenda politiknya sendiri. Ada diskoneksi di sana.
Yang justru harus menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana rantai penularan virus dipotong. Strategi Korsel mengajarkan trace (lacak), test (uji), dan treat (obati). Apa pun strateginya, arahnya harus dipusatkan ke pemutusan rantai penularan. Yang harus dilakukan sekarang bagaimana mendukung tenaga medis memenuhi alat pelindung dirinya. Bagaimana sistem kesehatan masih bisa menopang jika pasien positif melonjak tajam. Bagaimana memberikan dukungan dana untuk membentuk jaring pengaman sosial (social safety net). Itulah tindakan politik!
Tindakan politik itulah yang harus ditunjukkan DPR, sebagai bagian dari sistem demokrasi negara. DPR harus ikut menunjukkan arah dan bersuara ke mana bangsa ini harus dibawa. DPR harus bersikap dengan rencana kelanjutan pemindahan ibu kota. Fokus pada inti masalah mengatasi pandemi. Pandemi Covid-19 adalah ujian pada eksistensi negara bangsa. Dunia yang berbeda yang dikatakan Harari akan ditentukan oleh bagaimana kita menyikapinya sekarang. Fokus pada penanganan korona. Yang lain minggir dulu, termasuk usul mengesahkan RUU KUHP yang beberapa waktu lalu ditolak publik.