Kerja legislasi DPR sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan rakyat saat ini yang tengah menghadapi wabah Covid-19. Daripada membahas RUU Cipta Kerja, RKUHP, atau RUU Pemasyarakatan, DPR bisa mulai membahas RUU BNPB.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fungsi legislasi yang diemban oleh Dewan Perwakilan Rakyat idealnya difokuskan pada pembahasan rancangan undang-undang yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam kondisi darurat penyakit Covid-19 daripada membahas sejumlah RUU yang problematik dan memantik keriuhan di tengah-tengah publik. Peran legislasi pun dapat dialihkan tidak hanya membentuk peraturan perundang-undangan baru, tetapi juga melakukan harmonisasi antara RUU dan UU yang sudah ada.
Rapat Paripurna DPR, Kamis (2/4/2020), di Jakarta, menyerahkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Selain itu, paripurna juga menyetujui tindak lanjut pembahasan RUU Pemasyarakatan dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ke tingkat II atau rapat paripurna, dan tinggal menunggu koordinasi dengan Komisi III DPR. Dalam rapat yang sama, DPR menyetujui untuk menjadikan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) dan RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjadi RUU usulan dari DPR.
Dengan adanya rencana pembahasan sejumlah RUU tersebut, DPR dinilai tidak memiliki empati dengan kesulitan yang dialami rakyat saat ini. Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengatakan, sejumlah RUU yang disebutkan di dalam rapat paripurna, Kamis lalu, tidak mendesak untuk dibahas. Padahal, prinsip utama dalam pembentukan suatu UU itu ialah untuk menjawab kebutuhan publik.
”Publik saat ini tidak membutuhkan omnibus law Cipta Kerja dan RUU lainnya. Semua RUU yang urgensinya tidak penting ditunda dulu. DPR fokus saja pada fungsi pengawasan dan anggaran, jangan membahas legislasi di tengah kondisi darurat, seolah-olah ingin memanfaatkan kondisi ini untuk memuluskan kepentingan tertentu,” kata Charles, Sabtu (4/4/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
DPR fokus saja pada fungsi pengawasan dan anggaran, jangan membahas legislasi di tengah kondisi darurat, seolah-olah ingin memanfaatkan kondisi ini untuk memuluskan kepentingan tertentu.
Sejumlah anggota Baleg dari berbagai fraksi pun menangkap aspirasi publik yang berkembang dan menilai perlunya mendengarkan masukan serta aspirasi tersebut untuk memastikan kerja-kerja legislasi DPR tidak bertentangan dengan kebutuhan rakyat.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki, menuturkan, fraksinya sepakat untuk berkonsentrasi dulu membantu pemerintah mengatasi pandemi Covid-19. Kondisi yang ada sekarang, yakni dengan pertambahan jumlah warga positif Covid-19 yang dibarengi dengan angka kematian yang cukup tinggi dari hari per hari, menunjukkan kondisi belum berangsur membaik.
Di sisi lain, disadari kerja-kerja legislasi harus tetap berjalan. Namun, sebaiknya kerja-kerja legislasi itu dialihkan atau diarahkan untuk membahas RUU yang terkait erat dengan kebutuhan darurat saat ini. Dari 50 Program Kerja Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, tahun 2020, misalnya, ada RUU Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sekiranya bisa didorong untuk dibahas terlebih dulu dalam kondisi darurat ini.
”RUU BNPB itu masuk menjadi satu dari 50 RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020. Sebaiknya, RUU ini yang dikedepankan untuk dibahas sehingga ada ruang memperkuat kewenangan BNPB dalam menghadapi bencana sejenis. Kalaupun tidak bisa diterapkan untuk saat ini, tetapi penguatan kewenangan kepada BNPB dapat bermanfaat untuk mengatasi kondisi sejenis di masa depan. Saya pikir ini bisa menjadi solusi dan sejalan dengan kondisi masyarakat saat ini,” katanya.
Di samping itu, menurut Zainuddin, kerja-kerja pengawasan atau pengawalan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah sebelumnya ataupun kebijakan stimulus ekonomi Rp 405,1 triliun dalam Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, dinilai perlu lebih dikedepankan. Hal ini untuk mencegah stimulus ekonomi yang besar itu disalahgunakan atau tidak tepat sasaran. Apalagi, ada norma di dalam perppu yang mengatur bahwa mereka yang melakukan kebijakan itu tidak dapat dikenai gugatan pidana atapun perdata.
”Kerja DPR tetap dapat dilakukan di tengah situasi darurat, tetapi persentase fokusnya harus dipikirkan. Misalnya, 70 persen konsentrasi kerja dilakukan untuk pengawasan, 10 persen untuk kerja penganggaran, dan sisanya 20 persen untuk menjalankan fungsi legislasi. Fungsi legislasi bukan berarti vakum, tetapi bisa berjalan dengan membahas legislasi yang lebih mendukung percepatan penanganan Covid-19, seperti penguatan kewenangan BNPB,” ujarnya.
Anggota Baleg dari Fraksi Demokrat, Herman Khaeron, mengatakan, setiap anggota Baleg adalah juga anggota komisi di DPR. Oleh karena itu, setiap anggota Baleg tentu memiliki fokus masing-masing di komisi mereka untuk mengatasi dampak penyakit Covid-19 ini. Segala daya upaya, pikiran, dan sumber daya di DPR saat ini sebaiknya diarahkan untuk menangani wabah tersebut. Fraksinya, dalam kesempatan pertama rapat di Baleg, akan menyampaikan hal ini kepada pimpinan Baleg.
”Hal-hal yang bisa ditunda, sebaiknya ditunda dulu. Kalau, misalnya, pembahasan dan pengesahan dilakukan terhadap RUU ASN, RUU MK, dan RUU lainnya, termasuk omnibus law, di masa darurat seperti ini tentu akan terjadi persoalan. Kekhawatiran masyarakat tidak hanya harus dijawab oleh pemerintah, tetapi juga DPR,” katanya.
Herman mengingatkan, kerja Baleg tidak terbatas pada pembahasan RUU baru karena ada peran harmonisasi RUU, sosialisasi peraturan perundang-undangan yang juga dapat dikerjakan oleh Baleg. Anggota Baleg dapat mendalami satu per satu RUU yang masuk dalam Prolegnas prioritas dan membahas urgensinya. Namun, selain itu, juga dapat melakukan harmonisasi sejumlah RUU supaya tidak ada pengulangan atau pertentangan dengan UU lain yang sudah ada.
”Tugas harmonisasi RUU itu juga pekerjaan berat. Misalnya, dari sekian RUU Prolegnas, kita bahas dari sisi substansinya, apakah sudah harmonis ataukah belum dengan UU dan peraturan lainnya. Hal itu bisa menjadi kegiatan reguler Baleg di masa darurat ini,” katanya.
Terdapat RUU BNPB yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Kalau memang dinilai pembahasannya lebih mendesak daripada RUU lain, sebaiknya RUU ini yang didahulukan.
Di sisi lain, senada dengan Zainuddin, terdapat RUU BNPB yang masuk ke dalam Prolegnas prioritas. Kalau memang dinilai pembahasannya lebih mendesak daripada RUU lain, sebaiknya RUU ini yang didahulukan.
”Pengalaman kita menghadapi virus bukan hanya kali ini saja karena pada 2012 juga pernah terjadi flu burung. Wabah akan selalu ada dan karena itu harus dipikirkan regulasi yang bisa menguatkan antisipasi serta penanganan wabah di masa depan,” katanya.
Anggota Baleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hendrawan Supratikno, mengatakan, fraksinya mendengarkan masukan dan aspirasi publik terkait dengan kerja legislasi. Utamanya dalam pembahasan omnibus law yang merupakan regulasi yang akan berdampak luas bagi kepentingan banyak pihak. Di satu sisi, pemerintah menilai RUU Cipta Kerja akan menjadi solusi bagi sejumlah kendala yang dialami Indonesia, misalnya dalam hal daya saing dan produktivitas ekonomi. Namun, PDI-P juga mendengar ada pendapat RUU itu akan berpengaruh besar terhadap kelompok kecil atau wong cilik yang menjadi konstituen PDI-P.
Pembacaan surat presiden (surpres) RUU Cipta Kerja di dalam rapat paripurna, Rabu lalu, menurut Hendrawan, hanyalah prosedur formal yang harus dilakukan oleh DPR ketika menerima surat apa pun dari lembaga lain. Surat itu harus dibacakan di dalam rapat paripurna. Namun, untuk pembahasan RUU Cipta Kerja sendiri akan berkembang di dalam internal Baleg.
”Dinamikanya akan luar biasa di dalam Baleg. Teman-teman fraksi tentu akan menyuarakan aspirasi konstituennya, termasuk PDI-P,” katanya.