Banyak cara bisa diambil untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan tanpa harus melepaskan narapidana korupsi. Melepaskan napi korupsi hanya akan lukai rasa keadilan masyarakat.
Oleh
EDN/PDS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak cara bisa diambil pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan tanpa harus melepaskan narapidana korupsi. Melepaskan napi korupsi hanya akan melukai rasa keadilan masyarakat.
Demikian pendapat sejumlah ahli hukum yang dihubungi Kompas, Jumat (3/4/2020), menanggapi wacana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 guna mencegah penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan). PP itu mengatur pengecualian pemberian potongan hukuman, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi napi korupsi, terorisme, dan narkotika.
Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, lapas dan rutan yang melebihi kapasitas bukan karena narapidana korupsi, melainkan karena perkara-perkara tindak pidana ringan selalu berakhir dengan pemenjaraan.
Selain itu, banyaknya kasus pidana narkotika yang melibatkan pencandu (bukan pengedar) yang berakhir di penjara. Padahal, rehabilitasi lebih layak untuk mereka. Karena itu, jika ingin mengurangi kepadatan di lapas atau rutan untuk mencegah penyebaran Covid-19, lebih baik para pencandu yang dipenjara dialihkan ke pusat-pusat rehabilitasi.
Lapas dan rutan yang melebihi kapasitas bukan karena narapidana korupsi, melainkan karena perkara-perkara tindak pidana ringan selalu berakhir dengan pemenjaraan.
Opsi lain, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, bisa dengan mengalihkan untuk sementara napi korupsi ke tahanan rumah atau kota.
Yang jelas, dia menekankan, bukan dengan mempercepat pembebasan mereka. Sebab, jika hal itu ditempuh, akan melukai rasa keadilan masyarakat.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, perlakuan terhadap koruptor tak bisa disamakan dengan narapidana tindak pidana lain. Ini agar efek jera timbul dan membuat orang takut korupsi.
Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, menambahkan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, perlakuan terhadap koruptor tak bisa disamakan dengan narapidana tindak pidana lain. Ini agar efek jera timbul dan membuat orang takut korupsi.
Sebelumnya, dalam rapat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dengan Komisi III DPR, Rabu lalu, wacana revisi PP No 99/2012 muncul karena narapidana tindak pidana umum banyak yang dipercepat pembebasannya untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lapas atau rutan. Adapun napi korupsi dan tindak pidana khusus lainnya terganjal oleh PP tersebut. Perbedaan ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi.