Di tengah kesibukan mendukung penanganan wabah Covid-19, Polri tetap mewaspadai pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan untuk melakukan tindak pidana, seperti aksi terorisme, kejahatan narkotika, dan pidana siber.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian memastikan tetap mencermati kemungkinan munculnya kejahatan serius yang dilakukan pihak tertentu dengan memanfaatkan situasi wabah Covid-19, seperti terorisme. Selain terorisme, kejahatan terkait peredaran narkotika dan kejahatan siber juga berpotensi terjadi.
Dalam rapat kerja virtual Komisi III DPR dengan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Idham Azis, Selasa (31/3/2020), di Jakarta, Kapolri memastikan pengejaran terhadap terduga teroris akan terus dilakukan. Terakhir, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mengamankan lima terduga teroris di Batang, Jawa Tengah, yang merupakan bagian dari jaringan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Menurut Idham, penangkapan dilakukan karena kelompok tersebut tengah menyiapkan aksi teror. ”Karena itu sudah sangat berbahaya. Jadi, (mereka) sudah menyiapkan bom,” katanya.
Idham memastikan kepolisian tetap siaga menghadapi kemungkinan kejahatan yang dilakukan pihak-pihak tertentu di tengah terjadinya wabah Covid-19, yakni terorisme dan peredaran narkotika. Dalam keterangan tertulis, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono menambahkan, sampai saat ini kelima terduga teroris tersebut masih dalam pemeriksaan intensif oleh Densus 88 Antiteror.
Secara terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, salah satu ciri yang paling kuat dari para teroris adalah memanfaatkan kelengahan, terutama aparat keamanan. Jika terdapat sebuah peristiwa atau kegiatan besar yang menyedot perhatian banyak orang, mereka akan mengambil kesempatan di sela-selanya, semisal ketika dilaksanakan pemilihan umum, dan kegiatan olahraga. Wabah Covid-19 yang terjadi saat ini bisa jadi akan dimanfaatkan.
”Jadi, mereka melihat peluang apa yang bisa dilakukan untuk memperlemah negara,” kata Al Chaidar.
Meski demikian, mereka memerlukan dalil tertentu untuk melakukan aksi teror. Semisal, pemilu adalah bagian dari demokrasi yang dianggap sebagai sistem dajal. Dengan mendasarkan pada dalil-dalil tertentu, mereka akan melakukan aksi teror.
Demikian pula dengan kondisi saat ini, menurut Al Chaidar, di kalangan mereka sudah beredar rencana-rencana untuk memanfaatkan situasi. Sebab, Covid-19 dianggap sebagai tentara Imam Mahdi dan saat ini menjadi kesempatan untuk bergabung atau menjadi bagian darinya.
”Bagi mereka, publik atau masyarakat boleh dikorbankan atau jadi sasaran. Mereka tidak begitu peduli mendapat simpati atau tidak karena mereka berharap hanya kelompok merekalah yang nantinya berkuasa atau ketika meninggal masuk surga. Di luar kelompok mereka, mereka tidak peduli,” ujarnya.
Oleh karena itu, katanya, aparat keamanan diharapkan tidak boleh lengah. Di tengah sumber daya kepolisian banyak difokuskan untuk menangani wabah Covid-19, kelompok-kelompok antiteror lainnya juga mesti waspada, termasuk TNI.
Sementara itu, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Aris Arif Mundayat, berpandangan, pascaperang di Marawi, Filipina, jaringan yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) memindahkan aksi dan pendanaannya ke Afrika. Oleh karena itu, jaringan tersebut di kawasan Asia Tenggara semakin melemah, termasuk di Indonesia.
Meskipun demikian, menurut Aris, bukan berarti teror berkurang. Mereka tetap berpotensi melakukan aksi teror dalam kelompok kecil atau secara individu. Untuk aksi teror oleh individu, mereka akan menyasar pejabat atau orang-orang penting tertentu.
Baca juga : Keluarga Terduga Teroris di Batang Tertutup sejak Pulang dari Malaysia
Selain aksi terorisme, katanya, tindakan lain yang dapat menimbulkan kepanikan masyarakat adalah serangan siber. Jika tidak diantisipasi, serangan siber dapat menimbulkan kekacauan dan kepanikan, mulai dari penyebaran berita bohong, peretasan laman pemerintah, hingga peretasan sistem perbankan.
”Yang disasar adalah kepanikan orang. Ini harus lebih dijaga karena secara psikologis orang Indonesia itu mudah panik, terutama termasuk setelah membaca informasi di internet,” kata Aris.
Menurut Argo, sampai 31 Maret, kepolisian telah menangani 63 kasus berita bohong atau berita tidak benar yang terkait dengan Covid-19. Para pelaku tersebar di sejumlah kepolisian daerah.