Dalam Badan Musyawarah DPR sebelumnya, tak dibahas alat kelengkapan Dewan mana yang akan membahas dua RUU omnibus law, yakni Cipta Kerja dan Perpajakan. Kemungkinan dua RUU itu belum akan dibahas di masa sidang ketiga.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua Rancangan Undang-Undang yang dibentuk dengan metode omnibus law, yakni RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan, belum diagendakan untuk masuk dalam pembahasan tingkat pertama bersama DPR. Dari 50 RUU yang merupakan Program Legislasi Nasional prioritas, tahun 2020, hanya empat RUU yang diumumkan untuk masuk ke pembahasan tingkat pertama di DPR pada masa sidang ketiga ini.
Empat RUU itu ialah RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara, RUU Daerah Kepulauan, dan RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama Bidang Pertahanan. Empat RUU itu dibacakan di dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang ketiga, Senin (30/3/2020).
Wakil Ketua Badan Legislasi Achmad Baidowi di Jakarta, Selasa (31/3/2020), mengatakan, tidak dibahasnya dua RUU dengan metode omnibus law itu tidak berarti rancangan regulasi itu tidak menjadi prioritas dari DPR. Demikian halnya dengan 46 RUU lain yang tidak disebutkan di dalam pembukaan masa sidang ketiga. DPR tetap membahas RUU lainnya sesuai dengan mekanisme yang ada.
Menurut dia, RUU yang lain, seperti RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, RUU Kefarmasian yang merupakan RUU carry over, yakni dibahas sejak periode DPR sebelumnya, tetap dibahas dengan ketentuan yang berlaku. Demikian pula halnya dengan RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Pekerja Rumah Tangga yang sudah diharmonisasikan di Baleg untuk menjadi RUU usulan atau inisiatif DPR.
”Jadi semua normal saja dan bukan mengesampingkan yang lain,” katanya.
Namun, dalam kondisi tertentu, kata dia Achmad Baidowi, perlu dilihat kembali urgensi pembahasannya. Sebab, dalam kondisi darurat pandemi Covid-19, situasi menjadi tidak ideal. Hal ini tidak hanya untuk pembahasan legislasi, tetapi juga untuk kerja DPR lainnya.
”Tentu hal ini akan berpengaruh terhadap waktu dan mekanisme pembahasan. Kalau biasanya selesai dalam satu minggu, sekarang mungkin butuh waktu lebih lama. Kalau dalam pembahasan biasa perlu rapat dengar pendapat umum melibatkan banyak orang, mungkin kini hanya perlu perwakilan dua orang saja di dalam rapat fisik dan sisanya mengikuti dalam rapat virtual,” katanya.
Tata tertib DPR mengenai persidangan dan rapat virtual itu masih akan disempurnakan dan dibahas di dalam Baleg, untuk memberikan landasan bagi pelaksanaan rapat virtual. Selama ini, pelaksanaan rapat virtual belum diatur di dalam tatib DPR dan hanya berupa kesepakatan di masa darurat Covid-19.
Masih di meja pimpinan DPR
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan, sampai Selasa, dua RUU dengan metode omnibus law itu masih berada di meja pimpinan. Pimpinan DPR mengatakan akan membahas omnibus law dengan mekanisme yang berlaku.
Artinya, setelah dari pimpinan, omnibus law itu harus dibawa ke Badan Musyawarah untuk dijadwalkan pembacaan surat presidennya dalam rapat paripurna. Ketika sudah dibacakan surat presidennya di paripurna, RUU dibawa kembali ke Bamus untuk ditentukan alat kelengkapan Dewan (AKD) mana yang bisa membahasnya, yakni Komisi, Baleg, atau Panitia Khusus.
”Dalam situasi seperti ini, di mana dalam bamus-bamus sebelumnya tidak dibahas juga AKD mana yang akan membahas omnibus law, maka kemungkinan dua RUU itu belum akan dibahas dalam masa sidang ketiga ini,” kata Willy.
Baleg sendiri memiliki mekanisme evaluasi enam bulan sekali, yakni untuk menentukan mana RUU di dalam Prolegnas yang efektif dibahas dan mana yang kurang efektif.
Sebelumnya, peneliti Pusat Studi Kebijakan dan Hukum Indonesia, Fajri Nursyamsi, mengatakan, sebaiknya untuk RUU yang memerlukan kajian mendalam, seperti RUU Cipta Kerja, pembahasannya tidak dipaksakan di tengah wabah Covid-19. Sebab, pembahasan RUU itu memerlukan pelibatan publik secara luas. Dampak dari RUU itu pun sangat luas karena merupakan RUU yang meliputi banyak kluster.