PAN memasuki tahapan baru dimana nama pendiri PAN, Amien Rais, tidak ada dalam struktur kepengurusan. Namun, hal itu tidak berarti PAN tidak solid sebab dua anak Amien Rais tetap masuk dalam jajaran kepengurusan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Untuk kali pertama sejak Partai Amanat Nasional atau PAN didirikan tahun 1998, sosok Amien Rais tak ada di jajaran struktural PAN. Ada yang menilai hal ini dapat berdampak negatif. Namun, ada pula yang menilai, melepaskan Amien Rais berarti membuka kans PAN memperluas basis suara dan meningkatkan suara PAN yang stagnan dalam dua pemilu terakhir.
Ketua umum PAN Zulkifli Hasan mengumumkan ”kabinet” baru PAN yang akan membantunya memimpin PAN hingga 2025, Rabu (25/3/2020). Kabar yang beredar sebelumnya bahwa Amien Rais tak ada lagi dalam jajaran struktural PAN terbukti kebenarannya. Nama pendiri PAN itu tidak termasuk di antara yang diumumkan Zulkilfi.
Dengan demikian, sejarah baru diukir PAN. Sebab, untuk kali pertama, Amien tak ada dalam jajaran struktural PAN.
Untuk diketahui, setelah tidak lagi menjabat Ketua Umum PAN (1998- 2005), Amien masih menduduki posisi penting di PAN. Dia pernah dua periode menjabat Ketua Majelis Pertimbangan PAN, dan terakhir menjabat Ketua Dewan Kehormatan PAN (2015-2020).
Sejumlah elite PAN pun ramai-ramai menepis anggapan, ketiadaan Amien di struktural PAN adalah tanda keretakan di tubuh PAN yang muncul saat pemilihan ketua umum PAN 2020-2025 dalam Kongres V PAN pada pertengahan Februari lalu. Saat itu, seperti diketahui, Amien Rais mendukung Mulfachri Harahap untuk menjadi ketua umum. Namun, dalam pemilihan, Mulfachri kalah oleh petahana, Zulkifli Hasan.
Menurut Sekretaris Jenderal DPP PAN M Eddy Dwiyanto Soeparno, dinamika yang terjadi saat kongres adalah hal biasa dan telah disikapi secara dewasa oleh kader PAN. Demikian pula terkait tidak masuknya Amien Rais ke dalam kepengurusan DPP PAN bukan berarti PAN tidak solid.
Meskipun nama Amien Rais tidak ada lagi dalam struktural PAN, Eddy menekankan, kedua anaknya tetap masuk dalam kepengurusan DPP PAN. Hanafi Rais ditunjuk untuk kembali menjabat wakil ketua umum, sedangkan Mumtaz Rais mengisi posisi salah satu ketua.
Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo menambahkan, posisi yang diduduki anak-anak Amien Rais itu bukan posisi sembarangan. Posisi tersebut termasuk posisi strategis di PAN. Selain itu, tugas yang diberikan kepada kedua anak Amien tersebut juga tidak akan dapat diemban tanpa didahului restu Amien Rais.
”Karena itu, Pak Amien dan Bang Zul tidak usah dipertentangkan. Seperti kata Bang Zul, Pak Amien adalah pendiri PAN, pendiri utama, jadi Pak Amien spesial di PAN. Bagaimana nanti formalnya? Saya rasa hanya masalah waktu saja. Saya yakin, pada saatnya nanti, beliau berdua akan duduk bersama membahas perjuangan PAN ke depan,” tutur Dradjad.
Terlepas dari bantahan elite-elite PAN itu, pengajar di Departemen Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, melihat, hilangnya nama Amien Rais merupakan buah dari konflik saat Kongres V PAN. Konflik di internal PAN bahkan dilihatnya sudah muncul karena perbedaan pilihan politik saat Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
Sebenarnya, menurut Airlangga, konflik itu dapat dihindari jika pascapilpres ada titik temu untuk mengakomodasi kecenderungan PAN yang mendekat ke pemerintah dengan tanpa meninggalkan Amien Rais. Namun, karena dialog yang mulus tidak berjalan, yang tampak ke publik adalah cara penyelesaian yang lebih kasar.
Menurut Airlangga, orientasi politik maupun pemikiran Amien Rais selama ini telah mewarnai arah dan kebijakan politik PAN. Arah yang membuat PAN jauh dari pemerintah atau menjadi oposisi. Dengan tersingkirnya Amien Rais, posisi politik PAN itu bisa berubah, menjadi lebih lunak pada pemerintah, bahkan bisa saja PAN merapat ke pemerintah.
Padahal, kata Airlangga, kedekatan sebuah partai dengan pemerintah tidak menjamin basis sosial partai akan menguat selain menjadi ajang tarik ulur untung-rugi (trade-off).
Mengganggu PAN
Sebaliknya, sosok Amien Rais memiliki keterkaitan dengan kalangan Muhammadiyah. Dari hasil survei Litbang Kompas pada Maret 2019, terdapat 11 persen responden berlatar Muhammadiyah yang menyatakan memilih PAN.
Meski itu bukan yang terbesar, preferensi pilihan politik itu menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara PAN dan Muhammadiyah. Oleh karena itu, dengan tak ada lagi Amien Rais di PAN, bisa jadi basis suara PAN di Muhammadiyah itu bakal terdampak.
Adanya anak-anak Amien di jajaran kepengurusan PAN dan menjabat anggota DPR, ditambah ada pula yang menjabat anggota DPRD Yogyakarta dari PAN, dinilai belum cukup untuk menggantikan sosok Amien Rais. Oleh karena itu, yang penting untuk dinantikan adalah sikap Amien Rais terhadap jajaran struktural PAN yang baru, apakah mengarah pada rekonsiliasi atau justru resistan.
”Tanpa kehadiran Amien Rais dan selama belum ada pernyataan politik bahwa Amien Rais tidak menolak kepengurusan terhadap DPP PAN yang baru, maka hal itu dapat mengganggu dan jadi masalah baru bagi PAN,” kata Airlangga.
Terlebih yang tampak belakangan, sejumlah kader PAN yang menolak Zulkifli bersuara ingin membentuk partai baru, yaitu PAN Reformasi.
Memperluas suara
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurut dia, keberanian Zulkifli Hasan untuk melepaskan Amien Rais merupakan cara untuk melepaskan PAN dari stagnasi elektoral.
”Selama ini PAN tidak berkembang karena bergantung pada Amien Rais. Betul beliau adalah tokoh reformasi 98. Tetapi, dalam berjalannya waktu, PAN diidentikkan sebagai partai milik Amien Rais. Saya melihat sentralisasi sosok Amien Rais sudah hilang,” katanya.
Sebagai tokoh reformasi 98, kata Yunarto, suara Amien Rais yang selalu menentang penguasa sangat didengarkan oleh masyarakat saat itu. Namun, dalam perkembangan sekarang, posisi Amien Rais yang anti-Jokowi dan pemerintah justru membuat posisi PAN menjadi sulit. Jika tidak diantisipasi, hal ini akan berdampak pada basis suara PAN ke depan.
Pada dua pemilu terakhir, jumlah suara PAN cenderung tidak berubah atau stagnan. Pada Pemilu Legislatif 2014, PAN mendapatkan suara sebanyak 9.481.621 suara atau sekitar 7,59 persen dari total suara. Adapun pada Pemilu 2019, PAN meraih 9.572.623 suara. Meski jumlah suara meningkat, secara persentase menurun menjadi 6,84 persen.
Dengan melepaskan Amien Rais, Yunarto melanjutkan, PAN justru dapat masuk ke ceruk suara lain yang lebih luas, selain kalangan Muhammadiyah. PAN pun dapat memosisikan kembali sebagai partai modern, partai nasionalis-religius, dan partai intelektual. Hal itu relevan dalam mempersiapkan Pemilu 2024 yang akan didominasi pemilih muda, kaum milenial yang membawa nilai transparansi, akuntabilitas, dan erat dengan digital.
Selain itu, sikap PAN yang tak menggantungkan partai pada figur tertentu, dalam hal ini Amien Rais, sebenarnya juga selaras dengan preferensi pemilih PAN. Hasil survei Litbang Kompas tahun lalu mencatat, 33,3 persen dari responden memilih menjatuhkan pilihan pada PAN karena program partai, bukan karena figur tertentu di partai.
”Jika PAN berani menjadi partai terbuka yang tidak bergantung pada satu sosok saja, PAN bisa menjadi partai besar. Tetapi, kalau hanya menjadi partainya Zulkifli Hasan saja, misalnya, PAN menjadi partai yang kerdil,” ujar Yunarto.
Jadi, akankah partai berlambang matahari ini kembali bersinar tanpa kehadiran Amien Rais? Atau justru sebaliknya, sinarnya meredup? Waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas, PAN kini menjalani babak baru, babak tanpa Amien Rais.