Tiga Dimensi Gotong Royong Dibutuhkan Lawan Covid-19
Menghadapi pandemi Covid-19, masyarakat bisa membantu dengan bergotong royong pada tiga dimensi. Tiga hal itu adalah mencegah, membantu menghadapi pandemi, dan membantu sesama yang kehidupannya terdampak Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO dan N ARYA DWIANGGA M
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melawan pandemi Covid-19 yang penyebarannya meluas diperlukan gotong royong dari semua pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Setidaknya diperlukan gotong royong di tiga dimensi perlawanan terhadap penyebaran virus korona baru.
Laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, hingga Sabtu (28/3/2020), wabah sudah menyebar di 29 provinsi dengan jumlah orang yang positif korona di Indonesia mencapai 1.155 kasus, 59 sembuh, dan 102 meninggal. Angka ini bertambah signifikan dibandingkan sehari sebelumnya sebesar 1.046 kasus, 46 sembuh, dan 87 meninggal.
Pelaksana Tugas Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Desiminasi Informasi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro dihubungi dari Jakarta, Sabtu , menyampaikan, gotong royong itu sekurang-kurangnya ada tiga dimensi.
Pertama, gotong royong dalam mencegah penyebaran Covid-19. Caranya, masyarakat secara sadar dan aktif saling mengingatkan agar menjaga jarak. Selain itu juga dengan tidak keluar rumah jika tidak ada kepentingan mendesak serta kampanye kesehatan dengan mencuci tangan dengan sabun.
Dimensi kedua, gotong royong dalam hal membantu penanganan wabah ini. Mereka yang mampu secara ekonomi bisa membantu menyediakan alat pelindung diri atau alat kesehatan lain yang dibutuhkan rumah sakit. Tak hanya itu, individu yang memiliki keahlian di bidang kesehatan juga bisa menjadi relawan membantu sejumlah rumah sakit dalam menangani wabah ini.
Dimensi ketiga, katanya, gotong royong dalam membantu sesama warga masyarakat jika akibat wabah ini menyebabkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga lainnya, misalnya dalam pemenuhan kebutuhan sehari hari.
”Pemerintah mendorong kepala daerah agar bisa memimpin dan mengoordinasikan di daerah sampai tingkat paling bawah,” kata Juri.
Karantina wilayah
Di tengah upaya menghadapi Covid-19, muncul usulan agar Indonesia menerapkan karantina kewilayahan, bukan hanya penjarakan sosial (social distancing). Terkait hal itu, Juri mengatakan, keputusan karantina kewilayahan sebaiknya menunggu peraturan pemerintah (PP), yang saat ini tengah disusun sebagai turunan dari UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Lagi pula, lanjut Juri, tanpa karantina kewilayahan, pemerintah daerah sebenarnya juga sudah bisa menerapkan status darurat bencana.
Dengan status darurat bencana itu, pemda bisa menjalankan kebijakan apa saja yang dianggap perlu dan penting untuk mencegah penyebaran virus korona, seperti merawat warga yang sudah terpapar serta mengedukasi masyarakat untuk bersama-sama mencegah penyebaran virus tersebut.
”Sebaiknya kita tunggu bagaimana perkembangannya, termasuk soal PP itu,” ujar Juri.
Sebelumnya, Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah tengah menyusun payung hukum berupa peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaan karantina kewilayahan. Karantina kewilayahan tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh akses transportasi dan perdagangan, tetapi tetap ada pengawasan oleh pemerintah setempat.
Sementara itu, pengajar Fakultas Hukum di Universitas Mataram, Hayyan Ul Haq, berpandangan, pemerintah telah memiliki landasan normatif untuk membuat peraturan pemerintah tentang karantina kewilayahan, yakni konstitusi dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut dia, hal yang kemudian perlu dilakukan adalah pertimbangan teknis operasional untuk menjamin agar karantina wilayah tersebut nantinya berjalan sukses. Persoalan karantina tidak hanya mengenai pintu-pintu moda transportasi, tetapi juga kesiapan lembaga-lembaga terkait, sistemnya, serta sumber daya manusia atau aparatnya.
Menurut Hayyan, dalam penyusunan regulasi tersebut yang penting adalah keterbukaan pemerintah. Sebab keberlakuan sebuah aturan mengandaikan adanya moralitas internal, atau aturan yang hendak diberlakukan itu harus diketahui masyarakat sebagai yang terkena dampak dari peraturan.
”Maka, intinya adalah transparansi, mengapa sampai pada keputusan itu. Dengan demikian, masyarakat akan percaya pada kebijakan yang diambil pemerintah,” kata Hayyan.
Peneliti Pusat Studi Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Herlambang Perdana Wiratraman, berpandangan, pemerintah mestinya tidak hanya melihat pembatasan wilayah berdasarkan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Dampak tersebut misalnya hilangnya pekerjaan atau mata pencarian masyarakat.
”Maka, apakah cukup payung hukumnya berupa UU Kekarantinaan Kesehatan? Jadi yang harus dipikiarkan tidak hanya soal pembatasan, tetapi juga dampaknya,” kata Herlambang.
Menurut Herlambang, kebijakan pembatasan yang diupayakan pemerintah harus menegaskan status kedaruratan, sekaligus harus dinyatakan secara terbuka kepada publik. Pemerintah juga harus mendayagunakan kekuasaan pembatasan tersebut memenuhi standar hak asasi manusia (HAM).
Secara terpisah, Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, pihaknya terus berupaya menyosialisasikan kepada masyarakat agar menghindari kerumunan massa. Selain itu, masyarakat pun diharapkan tidak melakukan perjalanan atau pergi keluar rumah jika keadaan tidak mendesak.
”Kesadaran dan disiplin masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga jarak (dengan orang lain). Apabila memang harus keluar rumah itu untuk kepentingan yang memang harus dikerjakan,” kata Agus.