Hasil survei dalam jaringan Litbang ”Kompas” menunjukkan, 91,8 persen responden setuju semua tahapan Pilkada 2020 ditunda. KPU akan membahas alternatif tahapan setelah KPU menunda empat tahapan pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Tampak baliho sebagian para bakal calon yang maju pada Pilkada 2020 Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, di salah satu ruas jalan protokol di daerah itu, Minggu (23/2/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat mendukung rencana penundaan Pemilihan Kepala Daerah 2020 akibat pandemi Covid-19. Selain untuk melindungi warga negara dari bahaya penularan virus, penundaan itu menjadi penting untuk menjaga kualitas pemilu.
Hasil survei dalam jaringan (online) Litbang Kompas pada 24-25 Maret 2020 menunjukkan, 91,8 persen responden setuju semua tahapan Pilkada 2020 ditunda. Sementara itu, 2,5 persen responden menjawab tak setuju dan 5,7 persen menjawab tak tahu. Survei melibatkan 1.315 responden dari 27 provinsi di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan nirpencuplikan lebih kurang 3,2 persen.
Sebelumnya, dari wawancara Kompas, 6 dari 9 fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat cenderung setuju pilkada ditunda dari jadwal 23 September 2020. Tiga fraksi akan melihat perkembangan penanganan Covid-19 terlebih dulu. Adapun Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menunda empat tahapan pilkada yang sedianya berlangsung Maret-Mei 2020.
Hasil survei yang sama menunjukkan, 88 persen responden bersedia mengikuti pilkada susulan. Hanya 1 persen responden menyatakan tak bersedia. Sisanya menjawab tidak tahu dan tak menjawab.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/3/2020), mengatakan, penundaan Pilkada 2020 merupakan keputusan yang bijak di tengah pandemi Covid-19. Itu karena melihat kecenderungan negara-negara yang memutuskan melanjutkan tahapan pemilu pada saat wabah virus ternyata berdampak pada penurunan tingkat partisipasi pemilu.
”Kalau kita memutuskan untuk melanjutkan meski dengan disiplin protokol kesehatan ketat, ternyata tetap saja ada risiko pada kekhawatiran, kecemasan, yang diikuti dengan penurunan partisipasi pemilu,” ujar Titi.
Dari hasil survei Litbang Kompas, risiko penurunan tingkat partisipasi pemilu ini juga terbaca apabila serangkaian proses Pilkada 2020 tetap dipaksakan berjalan sesuai dengan jadwal pada 23 September. Ada 15 persen responden merasa khawatir bertemu petugas KPU saat proses pendataan pemilih meskipun 80 persen menyatakan bersedia bertemu dengan menjaga jarak.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Titi Anggraini
Titi menyampaikan, di tengah wabah Covid-19, sebenarnya kecemasan dan kekhawatiran tak hanya ada di tingkat masyarakat, tetapi para penyelenggara pemilu hingga di tingkat terkecil.
”Kalau pemilu tetap dipaksakan, ini bisa menurunkan kualitas penyelenggara karena penyelenggara sangat mungkin bekerja di bawah tekanan ketakutan dan kekhawatiran,” tuturnya.
Rapat pleno
Anggota KPU, Viryan Aziz, menyampaikan, dalam rapat pleno, Senin (30/3), KPU akan fokus membahas aspek teknis penyelenggaraan pemilu. Tim sekretariat sedang membuat alternatif-alternatif tahapan setelah KPU memutuskan menunda empat tahapan pilkada yang seharusnya berlangsung Maret-Mei 2020.
Viryan menjelaskan, apabila wabah Covid-19 bisa diatasi pada pertengahan April sehingga awal Mei bisa dilaksanakan dan dilanjutkan tahapan pilkada, masih memungkinkan pemungutan suara digelar pada 23 September mendatang.
Namun, apabila beranjak dari keputusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait dengan masa status keadaan tertentu darurat Covid-19 hingga tanggal 29 Mei, tahapan penyelenggaraan pilkada tertunda sekitar 72 hari atau baru bisa dilanjutkan pada awal Juni. Dengan asumsi itu, pemungutan suara baru bisa digelar pada sekitar awal Desember.
”Mau tidak mau harus dilakukan pengunduran waktu pemungutan suara,” ucap Viryan.
Namun, apabila masa status darurat diperpanjang dan mengambil satu bulan untuk masa pemulihan psikologis masyarakat, kondisi yang paling kondusif untuk pelaksanaan pilkada sekitar Februari sampai dengan Maret 2021.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Anggota KPU, Viryan Aziz.
Oleh karena itu, menurut dia, sebaiknya peraturan pemerintah pengganti undang-undang dikeluarkan dengan mengubah jadwal pemungutan suara dilaksanakan selambat-lambatnya pada September 2021.
”Pemerintah bisa fokus dalam menangani wabah ini. Apalagi, pilkada ini adalah ajang mobilisasi sosial paling besar, banyak orang terlibat,” katanya.