KPU memiliki empat landasan filsafat hukum untuk menunda Pilkada 2020. Penundaan pilkada di tengah wabah virus korona juga dinilai memberi kepastian hukum.
Oleh
Rini Kustiasih, Nikolaus Harbowo, dan Ingki Rinaldi
·3 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Siaran langsung melalui media sosial penyampaian keterangan komisioner Badan Pengawas Pemilu terkait antisipasi penyebaran Covid-19 pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah 2020 di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (17/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan cepat untuk menunda keseluruhan tahapan pilkada serentak tahun 2020 akibat wabah Covid-19 akan memberikan kepastian hukum bagi bakal calon peserta pilkada, calon pemilih, dan penyelenggara pemilu. Hal ini juga bisa membuat perhatian masyarakat dan aparatur pemerintahan lebih fokus pada upaya menghentikan pandemi Covid-19.
Komisi Pemilihan Umum pekan lalu telah menunda empat tahapan Pilkada 2020 yang sedianya berlangsung pada Maret-Mei. Namun, dalam surat keputusan penundaan itu, tidak dicantumkan batas waktu penundaan.
Sementara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan status keadaan tertentu darurat bencana Covid-19 dari 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020. Adapun pemungutan suara Pilkada 2020 dijadwalkan digelar pada 23 September.
Direktur Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (26/3/2020), mengatakan, saat ini tidak bisa ditentukan sampai kapan wabah Covid-19 akan berakhir sehingga sebaiknya pilkada ditunda.
Konstitusi sudah menyediakan desain berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga sebaiknya opsi penundaan itu diambil untuk memberikan kepastian hukum kepada penyelenggara, peserta, dan pemilih. Di sisi lain, keselamatan warga menjadi pertimbangan utama.
”Saat ini sebaiknya fokus menangani wabah Covid-19,” katanya.
Empat landasan
Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan, tim hukum KPU mengkaji kemungkinan penundaan Pilkada 2020 sebagai bahan rapat pleno yang akan diadakan KPU pekan depan. Kemungkinan penundaan akan dibahas di rapat tersebut.
Menurut Hasyim, ada empat landasan filsafat hukum yang digunakan dalam melihat kemungkinan penundaan pilkada akibat wabah Covid-19. Pertama, kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan. Kedua, salah satu tujuan berhukum ialah memelihara kelangsungan hidup manusia. Karena itu, tidak dibenarkan upaya-upaya yang berakibat pada hilangnya keberadaan manusia. Ketiga, menghindari keburukan harus diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Keempat, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Untuk menunda pilkada, kata Hasyim, bisa melalui dua pintu, yakni revisi terbatas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau penerbitan Perppu terhadap UU No 10/2016. Sebab, ketentuan penyelenggaraan pilkada dijadwalkan pada September 2020 termaktub dalam Pasal 201 Ayat (1) UU Pilkada.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, untuk mencegah penyebaran virus korona, penundaan Pilkada 2020 dinilai menjadi opsi yang paling tepat. Saat DPR kembali bersidang, pekan depan, Komisi II akan memprioritaskan pembahasan Pilkada 2020 dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu. Apabila semua pihak sepakat menunda pilkada, menurut Doli, langkah selanjutnya yang paling memungkinkan adalah penerbitan perppu untuk menunda pemilihan.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, perppu merupakan subyektivitas presiden. Namun, dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan tiga syarat dikeluarkannya perppu. ”Tiga syarat untuk terpenuhinya perppu sudah cocok dengan kondisi saat ini,” katanya.
Syarat-syarat itu adalah terjadinya kekosongan hukum sehingga memerlukan perppu. Lantas, ada hukum tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah sehingga membutuhkan perppu. Ketiga, jika pun kekosongan hukum itu mau dipenuhi dengan membentuk UU baru, metode biasa pembentukan UU tidak bisa dilakukan. Pasalnya kondisi yang ada memerlukan kecepatan penanganan.