Jubir Presiden: Masyarakat Masih Abai Pembatasan Sosial
Untuk mengatasi penyebaran penyakit Covid-19 yang disebabkan virus korona baru, warga dinilai masih abai menerapkan pembatasan sosial. Karena itu, penerapan pembatasan sosial mutlak dilakukan untuk menghentikannya.
Oleh
INA, NTA, DAN NAD
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan kepada wartawan dengan telekonferensi seusai meninjau rumah sakit darurat penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Presiden memastikan bahwa rumah sakit darurat ini siap digunakan untuk karantina dan perawatan pasein Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS â Implementasi pembatasan sosial atau social distancing dengan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah perlu dilakukan untuk mengatasi penyebaran penyakit Covid-19 yang disebabkan virus korona baru ini. Semua warga negara diharapkan berpartisipasi dan mematuhinya. Namun, diakui, sebagian warga masih abai dengan imbauan pemerintah itu.
Hal itu diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman dalam siaran pers, Jumat (27/3/2020), di Jakarta. Menurut Fadjroel, sebagai negara demokrasi, pemerintah memiliki kewenangan menegakkan sistem yang telah dibangun dalam konteks penanganan krisis sepanjang dilakukan untuk kepentingan umum. Karena itu, Polri sebagai bagian dari sistem Gugus Tugas Covid-19 mengeluarkan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona pada 19 Maret 2020.
Adapun pembubaran kerumunan yang dilakukan Polri didasarkan pada Pasal 212, 214, 216 Ayat 1, dan 218 KUHP. Dengan pasal tersebut, Polri bisa menindak tegas aktivitas massa dan kerumunan. âSampai 26 Maret telah dilakukan 1.731 kali pembubaran massa dan kerumunan. Pendekatan tindakan tegas Polri sampai saat ini masih dalam tingkat sangat demokratis, yaitu dialog dan ajakan,â kata Fadjroel.
Sampai 26 Maret telah dilakukan 1.731 kali pembubaran massa dan kerumunan. Pendekatan tindakan tegas Polri sampai saat ini masih dalam tingkat sangat demokratis, yaitu dialog dan ajakan.
Sejauh ini, pemerintah dan aparat keamanan di sejumlah daerah baru sebatas membubarkan kerumunan warga. Langkah ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus korona baru. Pembubaran kerumunan warga masih dilakukan secara persuasif.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Presiden Joko Widodo meninjau ruang perawatan rumah sakit darurat penanganan Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Presiden memastikan rumah sakit darurat ini siap digunakan untuk karantina dan perawatan pasien Covid-19.
Upaya untuk meminta warga tetap berdiam di rumah salah satunya terpantau di Jalan Pedurenan Depok, Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (23/3/2020). Menggunakan pengeras suara, sejumlah anggota Polri dan TNI mengimbau warga agar mengurangi aktivitas di luar rumah serta menghindari kerumunan.
Sebelumnya, Minggu (22/3/2020) malam, 250 personel gabungan empat direktorat Polda Metro Jaya berpatroli di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Barat. Dalam patroli yang dipimpin Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Komisaris Besar Marsudianto itu, warga yang berkerumun diimbau untuk bubar dan kembali ke rumah. Hal serupa dilakukan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, termasuk imbauan kepada warga untuk memakai masker.
Kerumunan warga juga dijumpai di Taman Lamandau, Blok M, Kemang, dan Mampang Prapatan. Adapun di Jakarta Pusat, tim menemukan banyak warga yang nongkrong di kawasan Gajah Mada karena banyaknya pedagang kaki lima. Secara umum, pembubaran kerumunan berjalan tertib (Kompas, 23/3/2020).
Bisa dikriminalisasi
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, pemerintah semestinya menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam mengatasi wabah Covid-19. Menggunakan aturan pidana dalam membubarkan kerumunan dikhawatirkan hanya menimbulkan kriminalisasi warga dan memicu masalah baru.
Kompas/Priyombodo
Personel polisi menyampaikan imbauan kepada warga yang berkumpul di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Rabu (25/3/2020). Patroli ke pusat-pusat keramaian oleh polisi bersepeda motor ini merupakan upaya mengedukasi masyarakat agar mengurangi aktivitas di luar. Warga juga diminta menghindari pusat keramaian serta menjaga jarak sosial sebagai upaya menghindari pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru.
Dikhawatirkan penggunaan pasal-pasal pemidanaan dalam pembubaran warga yang berkumpul oleh Polri akan menimbulkan masalah-masalah baru. Selain akan terjadi kriminalisasi, penahanan menggunakan KUHP berarti akan ada proses penyidikan dan peradilan yang panjang. Ini akan berimplikasi lebih kompleks pada penyebaran Covid-19.
âKalau menggunakan status karantina, ada aturannya. Membubarkan (kerumunan) dan mendisiplinkan warga juga boleh saja, tetapi tidak menggunakan (aturan) pidana. Penggunaan aturan pidana ini menunjukkan negara gagal menggunakan metode lain atau panik,â tutur Erasmus.
ICJR menilai, penggunaan aturan pidana ini bisa menakut-nakuti warga dan bertentangan dengan semangat pembatasan sosial itu sendiri. Semestinya pemerintah memaksimalkan cara lain untuk mengedukasi masyarakat demi mencegah penyebaran Covid-19.
Pemerintah seharusnya menjelaskan informasi komprehensif tentang Covid-19 dan dampaknya kepada masyarakat berbagai tingkatan sesuai dengan peran setiap aparatur negara. Dalam aturan perundang-undangan tersebut ada konsekuensi yang harus dijalani negara apabila menetapkan status karantina. Sebab, dalam aturan tersebut ditegaskan, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya selama karantina.
Adapun Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, ketika dihubungi pada Jumat (27/3/2020), mengatakan, Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Korona (Covid-19) tetap menjadi pedoman bagi kepolisian dalam pelaksanaan di lapangan. Maklumat Kapolri tersebut juga segaris dengan kebijakan dari pemerintah ataupun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
âSetiap satuan tugas di daerah telah diarahkan untuk melaksanakannya sebagaimana kebijakan pemerintah dan maklumat Pak Kapolri,â kata Agus.
Menurut dia, hal penting dari Maklumat Kapolri tersebut adalah menghindari kerumunan massa atau menjaga jarak dengan orang lain jika terpaksa harus keluar rumah untuk suatu hal. Meskipun petugas kepolisian terus melakukan sosialisasi, hal itu juga sangat tergantung pada kesadaran dan disiplin masyarakat.
Terkait dengan adanya warga yang mudik ke kampung halaman, kata Agus, hal itu di luar kewenangan polisi. Demikian pula terkait dengan karantina wilayah sebagaimana terjadi di beberapa daerah di Indonesia, hal itu sebenarnya merupakan wewenang pemerintah pusat.
âBapak Kapolri mengimbau kepala kepolisian daerah melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah setempat agar tidak mengambil kebijakan parsial yang bukan merupakan kewenangan mereka,â ujar Agus.
Pidana berita bohong
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, sampai saat ini Polri telah menangani 51 kasus berita bohong terkait Covid-19. Modus operandi yang digunakan para pelaku adalah iseng, bercanda, ataupun ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Para pelaku akan dikenai Pasal 45 dan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana 6 tahun penjara serta Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
âAgar masyarakat menahan diri apabila menerima berita dari media sosial, agar disaring terlebih dahulu sebelum dibagikan ke media sosial, sehingga tidak menjadi pelaku penyebar berita bohong yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain,â kata Argo.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah untuk segera melakukan karantina wilayah secara terbatas di daerah-daerah yang sudah dikategorikan sebagai daerah merah untuk mencegah semakin meluasnya penyebaran Covid-19.
âPenyebaran virus ini ditentukan oleh pergerakan orang. Kalau orang bolak-balik dari wilayah Jabodetabek ke daerah-daerah di Jawa, virus akan berputar terus dan tidak akan selesai. Padahal, semakin lama aktivitas ekonomi semakin terganggu,â kata komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab.
Sebelumnya, dalam keterangan pers pada Senin (16/3/2020) di Istana Bogor, Jawa Barat, Presiden Jokowi menyampaikan, kebijakan karantina wilayah (lockdown) baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah adalah kebijakan pemerintah pusat yang hingga saat ini belum terpikirkan.
Kompas/Priyombodo
Petugas Transjakarta memanfaatkan fasilitas cuci tangan di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (25/3/2020). Memasuki pekan kedua masa isolasi diri di rumah untuk mengantisipasi penyebaran virus korona baru, suasana Jakarta relatif lengang. Meski demikian, masih dijumpai warga yang beraktivitas di luar. Upaya untuk menghimbau warga agar mengurangi aktivitas di luar rumah terus dilakukan oleh aparat di lapangan, seperti petugas satuan polisi pamong praja dan polisi.
Kebijakan ini tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah dan sampai saat ini kita tidak ada pikiran ke arah kebijakan lockdown.
âKebijakan ini tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah dan sampai saat ini kita tidak ada pikiran ke arah kebijakan lockdown,â kata Jokowi. Pemerintah sejauh ini mengupayakan langkah pembatasan sosial, yaitu mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang yang membawa risiko besar pada penyebaran Covid-19.
âKebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah perlu terus kita gencarkan untuk mengurangi tingkat penyebaran Covid-19 dengan tetap mempertahankan pelayanan kepada masyarakat, baik itu urusan kebutuhan pokok, layanan kesehatan, maupun layanan-layanan publik lainnya,â ujar Presiden Jokowi pada saat itu (Kompas, 17/3/2020).